Cuplikan Sejarah Satu Mei di Indonesia
ShareYesterday at 10:09pm

Cuplikan Sejarah Satu Mei di Indonesia

Oleh : I Gusti Agung Anom Astika



Hari ini Satu Mei, 2009, kaum buruh di berbagai belahan dunia kembali
lancarkan berbagai perlawanannya terhadap kapitalisme. Bukan sekedar
peringatan dan perayaan atas kemenangan leluhur pejuang kelas buruh
yang berhasil memperjuangkan 8 jam kerja pada tahun 1886 di Haymarket,
Chicago, Amerika Serikat. Bukan juga sebatas keberhasilan kelas buruh
di Indonesia melakukan mobilisasi yang terus menerus meningkat
kuantitas massanya setiap tanggal tersebut diperingati. Tetapi karena
sejarah perjuangan rakyat di Indonesia adalah sejarah perjuangan rakyat
pekerja. 



Semenjak awal abad ke XX ketika masih berada di bawah pemerintahan
kolonial Hindia Belanda, rakyat Indonesia telah dijadikan 'sapi perah'
bagi perkebunan dan industri kolonial. Sehingga seorang pemikir Jerman,
Engels berkata dalam surat kepada Kautsky temannya, bahwa Rakyat di
pulau Jawa ditahan dalam kebodohan primitif dan 70 juta Mark (tahun
1884) setiap tahunnya didapat oleh kas kolonial Belanda. Tidak aneh
jika organisasi modern yang pertama di Indonesia lahir pada tahun 1905,
yaitu Serikat Pekerja Kereta api (SS Bond). Tiga tahun kemudian baru
berdiri organisasi politik pertama yaitu Boedi Oetomo, dan tahun 1912
berdiri partai politik pertama yaitu Indische Partij yang beranggotakan
orang orang demokrat progresif Belanda dan Indonesia. Tetapi nasib
ketiga organisasi ini di bawah politik kolonial juga tidak nyaman
nyaman betul. Ada banyak represi, dan ada banyak pembatasan terhadap
berbagai aktivitas politik, termasuk terhadap organisasi organisasi
yang berdiri sesudahnya seperti Sarekat Islam, Perkumpulan Sosial
Demokratis Hindia, Perserikatan Guru Hindia Belanda, Perserikatan
Pegadaian Pribumi, Serikat Buruh Pekerjaan Umum, Serikat Buruh Pabrik
Gula, Serikat Buruh Percetakan, Sarekat Postel, Serikat Pegawai
Kehutanan, dan Serikat Buruh Kereta Api (VSTP).



Hampir semua organisasi tersebut di muka berusaha memperjuangkan
kehidupan rakyat Indonesia yang kian lama kian memburuk akibat politik
kolonial dan krisis ekonomi pada periode Perang Dunia I. Masa itu
adalah masa kelaparan bagi rakyat Hindia Belanda. Tepatnya pemelaratan
mutlak, kesengsaraan yang demikian besar, dan merajalelanya keresahan
sosial. Tidak aneh jika pada tahun 1916 terjadi pemberontakan spontan
yang besar di Jambi, yang membuat kaum kolonialis kalang kabut dan
hanya dapat memadamkannya dengan pengerahan polisi dan tentara kolonial
secara besar besaran. Semuanya ini mendorong rakyat Indonesia untuk
meningkatkan perjuangannya, mulai dari tuntutan pengurangan pajak,
kenaikan upah, dan tuntutan perbaikan nasib lainnya hingga tuntutan hak
hak demokratis sebagai bagian dari perjuangan menuntut kemerdekaan.
Atas kenyataan ini pemerintah kolonial berusaha meredam gerakan politik
ini dengan membentuk “Dewan Rakyat”, yang anggota-anggotanya ditunjuk
dan diangkat oleh pemerintah kolonial, pada tahun 1917. Rakyat
Indonesia menolak eksistensi dari Dewan Rakyat ini karena tidak
mewakili rakyat, dan sejumlah organisasi seperti Sarekat Islam, Budi
Utomo, Insulinde, Pasundan dan Perkumpulan Sosial Demokratis Hindia
membentuk Konsentrasi Radikal pada tahun 1918. Sebagai perlawanan
lanjutan di lapangan politik, gabungan serikat serikat buruh tersebut
di muka melancarkan aksi mogok total pada tanggal 1 Mei 1918. Itulah
saat pertama kali hari buruh sedunia diperingati oleh rakyat Hindia
Belanda/Indonesia, dan itulah saat pertama kali hari buruh diperingati
di Asia. Selanjutnya hampir setiap tahun sampai dengan tahun 1926 hari
buruh diperingati dengan berbagai macam acara oleh serikat serikat
buruh. 



Mulai tahun 1927 sampai periode kemerdekaan hari buruh sulit untuk
diperingati. Baik karena kebijakan kolonial yang merepresi semua
organisasi politik, maupun kebijakan pemerintah pendudukan Jepang yang
menangkapi semua aktivis gerakan buruh. Baru pada tahun 1946 hari buruh
kembali diperingati oleh rakyat Indonesia. Itulah kesempatan pertama
kaum buruh dan rakyat Indonesia merayakannya di alam kemerdekaan, yang
sepenuhnya didukung dan difasilitasi oleh pemerintah. Di
sekolah-sekolah, murid-murid dikumpulkan dan berlatih menyanyi
Internasionale. Di Kantor-kantor, perusahaan, dan pabrik diadakan
berbagai macam perayaan. Bahkan di desa desa acara peringatan dipimpin
oleh Lurah atau orang orang pergerakan lama yang masih hidup. Seorang
pejuang rakyat Indonesia, almarhum Hardoyo, menulis “Yang menarik
selain bagaikan pesta rakyat, juga permainan tarik tambang, memanjat
tiang licin berminyak pelumas utk meraih hadiahnya di atas, petandingan
sepak bola dan badminton ada di mana mana, termasuk satuan satuan
tentara dan kelasykaran semua ikut, dan jangan lupa acara kesenian
seperti lomba nyanyi kroncong dan lomba koor atau paduan suara terbaik.
Jangan lupa semua acara ini termasuk acara khusus bagi anak anak SD”.
Penting diperhatikan bahwa pada tanggal yang sama dan untuk tujuan
peringatan yang sama pula Barisan Boeroeh Wanita yang dipimpin oleh S.K
Trimoerti membuka pelatihan dua bulan untuk calon pimpinan buruh
perempuan. 



Melihat realitas yang demikian ini, tentunya tidak aneh jika 1 Mei di
tahun 1948 dua ratus hingga tiga ratus ribu orang buruh, tani dan
pemuda membanjiri alun alun kota Yogyakarta untuk menghadiri rapat
akbar. Catatan Pramoedya Ananta Toer menunjukkan bahwa Wakil Presiden
dan Jendral Soedirman menghadiri rapat akbar tersebut sembari melakukan
upacara peletakan batu pertama Tugu Pahlawan. Hari buruh pada tahun
tersebut dirayakan di kota kota wilayah Republik, yaitu Magelang,
Purworejo, Madiun, Kediri, Blitar, Cepu, Bojonegoro, Pati, Kutaraja
Banda Aceh, Bukittinggi dan lain lain tempat. Ini tanggal penting bagi
sejarah perjuangan buruh, karena pada 1 Mei 1948 pemerintah Soekarno
melalui UU Kerja no.12/1948 telah menetapkan 1 Mei sebagai tanggal
resmi Hari Buruh. Lebih tepatnya dalam Pasal 15 ayat 2 UU No. 12 tahun
1948 tersebut berbunyi: "Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari
kewajiban bekerja". Artinya, UU tersebut mengakui bahwa 1 Mei sebagai
hari kemenangan kaum buruh. Dan selama pemerintahan Soekarno, 1 Mei
terus diperingati oleh kaum buruh di Indonesia. 



Cuplikan pengalaman sejarah ini menunjukkan bahwa Satu Mei yang hingga
sekarang masih harus terus diperjuangkan sebagai hari buruh, bukanlah
sesuatu yang asing. Ia adalah bagian dari sejarah perjuangan rakyat
Indonesia di dalam mewujudkan kemerdekaan, di dalam mewujudkan
pembebasannya dari cengkeraman kolonialisme, dan mengisi kemerdekaan
tersebut dengan berbagai macam aktivitas. Rejim Orde Baru di bawah
Jendral Soeharto yang menghapus eksistensi dari hari buruh ini, baik
secara praktis maupun secara ideologis. Celakanya, setelah periode
reformasi berlangsung sepuluh tahun mereka yang sekarang duduk di
panggung kekuasaan juga tidak cukup sadar tentang arti penting dari
kaum buruh. Celakanya, dari sembilan partai pemenang pemilu tidak satu
pun yang mengupayakan tanggal 1 Mei sebagai hari perjuangan rakyat
pekerja, sebagai bagian dari hari buruh internasional. Tidak penting
lagi soal ada libur atau tidak ada libur nasional bagi peringatan atas
tanggal 1 Mei. ESENSI SATU MEI DI INDONESIA, ADALAH PERJUANGAN BURUH,
PERJUANGAN RAKYAT INDONESIA DI DALAM MEWUJUDKAN KEBEBASANNYA YANG
PALING MAKSIMAL SEBAGAI SEBUAH BANGSA. Sepanjang 1 Mei tidak pernah dan
tidak ada usaha untuk mengakuinya, berarti tak lama lagi rebana dan
gendang revolusi bertalu-talu!

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke