Jawa Pos
[ Jum'at, 01 Mei 2009 ] 

Ketika Tentara (Berani) Unjuk Rasa 

Oleh : Ridlwan*) 


WAJAH Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso tampak tegang siang kemarin. Jenderal 
asal Solo itu dipanggil presiden ke istana untuk melaporkan kejadian unjuk rasa 
tentara di Sentani, Jayapura. Djoko pantas tegang. Sebab, aksi itu memang luar 
biasa. 

Itulah kali pertama sekitar satu kompi (300 prajurit) berani membangkang, 
melawan, bahkan mencari-cari komandannya dengan anarkis. Dalam disiplin 
militer, perilaku itu melanggar tujuh butir saptamarga, lima sumpah prajurit, 
dan delapan wajib TNI. 

Ketenangan warga di sekitar Danau Sentani nan indah jelas terganggu. Laporan 
adanya intimidasi terhadap jurnalis semakin membuat muka TNI di Papua 
coreng-moreng di mata LSM dan pers internasional yang dalam beberapa bulan ini 
memasang mata tajam di Papua.

Tapi, prajurit-prajurit muda itu tentu punya alasan. Dipicu oleh rasa 
solidaritas karena jenazah teman mereka yang meninggal tak segera 
diberangkatkan ke tanah kelahiran, mereka mulai berontak. Apalagi, meski sudah 
iuran, dana uang lauk-pauk mereka tetap dipotong.

Rasa jengkel, kecewa, dan dongkol berkoalisi dan mentok di ubun-ubun. Apalagi, 
mereka didera tiga beban sekaligus, kondisi Papua yang rawan, kesejahteraan 
yang di bawah standar, dan komandan yang tidak bisa mengayomi anak buah.

Tugas di Bumi Cenderawasih memang berat. Selain faktor geografis, mereka masih 
harus berhadapan dengan sisa-sisa gerilyawan OPM (Organisasi Papua Merdeka) 
yang masih aktif menebar teror. Maret lalu, prajurit Yonif 754/ENK Pratu Ahmad 
Saefuddin tewas ditembak sniper saat bertugas di Puncak Jaya. Beberapa ancaman 
bom dan teror sporadis juga masih terjadi di pedalaman Papua. 

Seorang anggota polisi militer Angkatan Udara yang pernah saya temui di Lanud 
Manuhua, Biak, menjelaskan bahwa penduduk asli Papua belum sepenuhnya bisa 
bersahabat dengan tentara. ''Harus hati-hati dan pintar-pintar bergaul. Jangan 
sampai dianggap sebagai musuh,'' ujar perwira menengah asal Sidoarjo itu. 
Secara psikologis, jelas lebih berat beban serdadu di Papua. 

Lalu, kesejahteraan yang di bawah standar. Itu bukan hal yang baru. Semua juga 
tahu, menjadi tentara sulit kaya raya. Apalagi, yang bertugas di perbatasan. 
Uang lauk-pauk (ULP) memang naik sedikit, menjadi Rp 30 ribu per hari. Namun, 
dengan harga bahan pokok di Papua, jelas uang itu kurang. Apalagi, masih harus 
disunat.

Total anggaran Dephan untuk 2009 adalah Rp 33,4 triliun. Itu digunakan Mabes 
TNI, Mabes AD, AL, AU, dan Dephan sendiri. Khusus TNI-AD mendapatkan jatah Rp 
16,1 triliun. Tetapi, dana itu dialokasikan untuk 129 satuan kerja (satker) di 
seluruh Indonesia.

Saat ini, pangkat prajurit dua (prada) yang merupakan pangkat terendah di 
jajaran TNI mendapatkan gaji sekitar Rp 950 ribu. Dan, prajurit berpangkat 
sersan dua (serda) mendapatkan gaji sekitar Rp 1,8 juta dengan ULP yang 
jumlahnya sama.

***

Dengan keterbatasan yang ada, sangat besar godaan untuk mencari tambahan uang 
di sela waktu kerja. Mulai menjadi tukang ojek hingga tenaga pengamanan bagi 
tamu-tamu asing atau pengusaha yang beroperasi di Papua. Ada juga, beberapa 
oknum, yang sempat mengirimkan beberapa satwa unik khas Papua ke Jakarta dan 
kota-kota besar lain. 

Di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, harga satu ekor ular chondro python asli 
Sorong dengan panjang 50 sentimeter bisa sampai tiga jutaan rupiah. Belum 
termasuk aneka burung seperti kakaktua, nuri, atau cenderawasih yang diawetkan. 
Payahnya lagi, kerja sambilan itu dilakukan di jam kerja harian, yang itu 
berarti mencurangi gaji negara yang ditarik dari uang pajak rakyat. 

Faktor berikutnya, komandan yang tidak bisa mengayomi anak buah. Bisa jadi, 
oknum komandan seperti itu adalah figur pemimpin yang ATS (asal atasan senang). 
Mereka biasanya yes man kepada pimpinan, tapi kurang memedulikan anak buah. 
Tipe pimpinan seperti itu pasti akan dirasani sepanjang waktu, di mana saja, 
kapan saja.

Padahal, loyalitas prajurit berbanding lurus dengan perhatian sang komandan. 
Itu yang pernah dilakukan Prabowo Subianto saat menjabat Danjen Kopassus TNI-AD 
beberapa saat menjelang kejatuhan Orde Baru. 

Seorang perwira menengah Kopassus sempat berbincang dengan penulis sebelum 
prosesi pemakaman putra Pangdam Iskandar Muda dan tiga awak Fokker 27 lainnya 
di TMP Kalibata 7 April lalu. Perwira itu ingat benar saat menjadi anak buah 
Prabowo. ''Saya ikut lomba menembak antarprajurit di kesatuan. Kebetulan 
menang, langsung disodori uang Rp 10 juta. Eh, senior saya kalah, disel 
semalaman,'' katanya. 

Prabowo memang berhasil membangun kebanggaan korps yang luar biasa saat itu. 
Dengan dukungan jaringan yang kuat, prajurit Kopassus saat itu memang 
tertanggung kesejahteraannya. Efeknya, gairah pengabdian dan spiritualitas 
berkarya sangat besar. 

Lantas, bagaimana cara memunculkan antusiasme para prajurit yang mulai memadam 
itu? Barangkali, ini salah satu tugas presiden baru nanti. Mampukah dia 
meningkatkan kesejahteraan prajurit dengan trik-trik cantik. 

Kita belum tahu siapa yang bakal menang. Seorang jenderal bintang dua pernah 
berbisik, ''Kami ini netral. Kami tak pernah yakin, para purnawirawan itu bisa 
menguntungkan TNI. Toh, yang sekarang saja belum bisa.'' 

*) Ridlwan, wartawan Jawa Pos di Jakarta. Meliput di lingkungan Dephan dan 
Mabes T

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke