Dalam perpolitikan seringkali memang tidak dapat dihitung secara pasti seperti matematika, saat Parpol A menjadi pemenang pada pemilu legislatif, sedangkan parpol B memiliki jumlah yg lebih sedikit dari parpol A, tidak berarti kemudian saat Pilpres calon dari partai A yg akan unggul dari calon partai B. Saat ini rakyat indonesia sudah sangat-sangat pandai, rakyat hanya akan memilih mereka yg bener2 memperhatikan rakyatnya Sukses deh ....
Daftarnya GRATIS langsung dapet Cash Money Rp 100.000,- DISINI --- Pada Sel, 5/5/09, sunny <am...@tele2.se> menulis: Dari: sunny <am...@tele2.se> Topik: [wanita-muslimah] Who Get What Kepada: undisclosed-recipi...@yahoo.com Tanggal: Selasa, 5 Mei, 2009, 12:19 PM http://www.waspada. co.id/index. php?option= com_content& task=view& id=85192& Itemid=44 Who Get What Tuesday, 05 May 2009 06:30 WIB Riak gelombang menjelang Pilpres Dinamika keparpolan di Indonesia memang masih berpusar pada masalah who get what. Siapa mendapat apa. Rasanya, hanya dengan dasar inilah kita bisa memahami mengapa Golkar kembali sesumbar untuk enceng dari Demokrat. Padahal beberapa hari lalu, JK menyampaikan bahwa Golkar tidak mengajukan capres karena kurangnya perolehan suara. Pernyataan JK ini ditanggapi sebagai keinginannya untuk kembali ke samping SBY. PKS yang membaca sikap ini langsung bereaksi keras menentang. Keadaan mulai berubah ketika Megawati secara mengejutkan mengundurkan diri dari bursa capres. Boleh jadi, Mega menyadari popularitasnya kalah mencorong, atau karena didekati HB dan merasa lebih pas jika HB diusung sebagai capresnya PDIP. Atau kemungkinan lainnya yang bisa memunculkan isu catung (calon tunggal). Jelasnya, popularitas PD dan SBY memang tak terkejar oleh capres mana pun yang ada sekarang ini. Megawati yang selama ini diperhitungkan sebagai variabel tetap, kini berubah menjadi variabel perubah yang menyebabkan perubahan keseimbangan ekopolitik berubah drastis. Wacana kursi kosong Wacana ini muncul karena jauh-jauh hari, PDIP seperti bulat tekad mengusung Mega sebagai capres. Bahkan sampai detik kemarin, tak ada tanda Mega akan mundur. Karenanya, kemunduran Mega ini bisa menimbulkan bermacam dugaan. Apakah Mega akan memberikan keluangan kepada HB untuk maju sebagai capres, atau Mega sedang menguji publik, seberapa populernya dia. Terlepas dari segala kemungkinan, harus disadari bahwa politik itu bulat. Diputar sedrastis apa pun tetap bulat bentuknya. Dalam permainan, bola tidak pernah diam, selalu bergerak ke segala arah dan mengubah emosi penonton terus menerus. Kadang bersorak kegirangan tak tertahankan (ketika menciptakan gol), kadang tegang sebelum bola bersarang, kadang kecewa karena gagal gol dan yang paling lazim adalah membuat penonton marah sampai membuat kerusuhan. Begitulah, sekarang ini Mega membuat manuver yang membuat penontonnya akar rumput PDIP dan seluruh rakyat Indonesia Ð bertanya-tanya. Mau ke mana bola politik ini dimainkan Mega. Yang jelas, yang pertama mengambil reaksi adalah Golkar, di mana sebelum ini, JK menyatakan bahwa Golkar tak mungkin mengajukan capres. Tetapi di arena Rapimnassus Golkar, JK dan jajaran DPP Golkar justru memanfaatkan kekosongan semu yang ditinggalkan Mega, dengan bermanuver memisahkan diri dari PD dan SBY secara sepihak. Diduga kuat, Golkar akan mengajukan capres untuk mencoba keberuntungan mengadu nasib melawan SBY. Siapa tahu, ada banyak parpol yang mengikut arus dan berkoalisi dengan Golkar. Sebelum ini memang sudah pernah ada silaturahmi politik antara keduanya, tetapi terganjal karena PDIP hanya mengenal satu capres, Megawati. Dan ketika Mega menyatakan mundur dari bursa, Golkar mengambil angin dengan mengumumkan perpisahannya dengan PD dan berharap PDIP (dan parpol lainnya) bisa merapatkan barisan melawan hagemoni PD. Toh selama ini, PPP sudah mengikat diri dengan Golkar dan PDIP dalam ikatan emosional Golden Triangle (GT). Golkar sangat berharap agar arus yang diciptakannya akan memusatkan semua kekuatan parpol Ð kecuali PD Ð dalam satu ikatan semacam oposisi untuk menghadapi PD. Apa pun namanya itu, Golkar (dan parpol lain) lupa atau sengaja melupakan diri, bahwa pilpres Juli mendatang sama sekali tidak tergantung dari seberapa besar perolehan parpol. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan ditentukan oleh koalisi. Dalam iklim reformasi sekarang ini sudah terbukti bahwa rakyat bukanlah konstituen partai. Sedangkan konstituen saja bisa menunjukkan sikap tidak bisa disetir oleh parpol. Jadi, koalisi Ð sebesar apa pun itu Ð tidak akan mempengaruhi rakyat untuk menentukan pilihannya sendiri. Koalisi itu hanya bisa mempersatukan visi sementara dari parpol komponennya. Dalam hal pilpres, maksimal yang dapat diperbuat oleh koalisi hanyalah menentukan capresnya. Hanya sebatas itu, titik. Sehebat apa pun koalisi, tidak akan bisa menentukan presiden terpilih, karena yang memilih adalah rakyat, secara langsung. Di luar itu, koalisi hanya bisa menggiring, membuat opini, atau malahan merusuhi kinerja presiden terpilih. Para parpol bergerak di sebuah domain di mana rakyat tidak ikut di dalamnya. Kekecewaan rakyat terhadap parpol sudah terlalu berat. Jadi, rakyat hanya akan memilih menurut seleranya sendiri. Dan 20 persen selera rakyat itu ada di SBY. Boleh saja koalisi GT menumpukkan suaranya menjadi satu (seandainya Golkar, PDIP, PPP, Gerindra, Hanura, bahkan jika PKS dan PAN terikut rendong mereka, plus seluruh parpol gurem, akan terkumpul 80 persen suara) itu sama sekali tidak berarti 80 persen rakyat akan memilih capres dari GT. Tuh, lihat. Betapa banyak caleg yang memberi bantuan kepada rakyat, tetapi perolehan suaranya sangat minimalis. GT sendiri masih memiliki masalah yang sangat mendasar, yakni menentukan figur capresnya. Kalau dalam waktu dekat gagal menentukan figur capres, bukan tak mungkin SBY akan maju melawan kursi kosong alias berlenggang kangkung. Wacana Catung Seburukburuknya keadaan yang ditimbulkan akibat mundurnya Mega dan berpisahnya Golkar dari PD adalah wacana calon tunggal. Hanya ada waktu dua bulan saja dari sekarang bagi GT untuk segera menentukan siapa figur capresnya. Padahal, menentukan figur capres selama ini adalah hal yang paling krusial, sensitif dan rumit. Semua parpol selalu menghendaki ketumnya sebagai capres, termasuk (selama ini) PDIP. Maka ketika Mega menunjukkan dirinya tidak demikian, peta politik nasional pun jadi berubah arah tanpa pola. Golkar hanya memanfaatkan angin untuk maju memimpin. Tetapi PD terlihat sama sekali tidak goyang. Keputusan sepihak Golkar untuk enceng dari PD kemungkinan besar semakin memperkuat hipotesis bahwa SBY akan mencari cawapres dari kalangan profesional. Meminang cawapres dari parpol sudah terbukti tidak menimbulkan sinergi maksimal, sebaliknya malah menimbulkan fenomena resistensi. Dus, kalau fenomena pembatalan pencapresan Mega (diiringi oleh encengnya Golkar) ini berlanjut, maka wacana catung akan membesar dan semakin menguntungkan PD dan SBY. Sama sekali tidak sulit bagi SBY untuki memilih cawapres dari kalangan mana pun. SBY hanya perlu memasang telinganya untuk mendengar apa kemauan rakyat. Jika SBY memilih cawapres sesuai kehendak rakyat, kemenangannya bisa tidak terbendung, seperti kata Amien Rais. Onani politik para parpol harus segera diakhiri. Para parpol harus mulai menyukai rakyat, mendengarkan suara rakyat, keinginan rakyat, maaf libido dan birahi rakyat. Kalau rakyat kepincut SBY, para parpol harus mencoba mencari duplikasi SBY. Tenang, kalem dan pro rakyat. Dan semua itu tidak ada pada figur Mega, JK, Prabowo, Wiranto, atau siapa pun. Figur itu harus dimunculkan dalam kinerja. Bukan kampanye, promosi atau baliho. Kalau dalam lima tahun ke depan, Gerindra bisa membuktikan kampanyenya Ð sekolah untuk rakyat, air untuk petani, minyak tanah untuk rumah tangga dan janji kampanyenya yang lain Ð dipastikan, lima tahun ke depan rakyat akan mulai menoleh kepadanya. Jika tidak berbuat apa pun Ð karena kalah Ð maka rakyat akan menstempel Gerindra sama saja dengan parpol lain, selain PD. Mata rakyat hanya ada dua. Satu untuk PD dan satu lagi untuk semua parpol selain PD. Ini yang harus dipahami oleh para parpol. Hentikan onani politik sekarang juga. Rakyat sedang pacaran dengan SBY (dan PD). Rakyat tidak butuh pengkritik BLT, rakyat tidak butuh DPT dan pemilu ulang. Rakyat hanya butuh hidup tenang dan berdemokrasi dengan nyaman. Kalau anda bisa menawarkan konsep kehidupan rakyat dalam demokrasi yang tenang dan nyaman, jangan ragu untuk maju dalam pilpres, karena besar kemungkinan anda akan terpilih dan menang mutlak. Sayangnya, rakyat sudah resisten dengan janji dalam segala bentuknya. Untuk menawarkan diri jadi capres, anda hanya harus dikenali dari bukti kinerja bahwa anda memang bisa mengurus dan mengisi 250 juta perut rakyat, dengan nasi, bukan dengan janji. Seandainya saja Sutrisno Bachir menyadari arti kalimat hidup adalah perbuatan, dan kemudian dia berbuat nyata untuk seluruh rakyat Indonesia (bukan hanya bagi keluarganya atau konstituen PAN saja), maka dalam pilpres mendatang dia pasti akan terpilih, atau capres populer akan memilihnya untuk mendampinginya. Detik berikutnya adalah milik SBY dan PD sepenuhnya. PD hanya butuh berkoalisi dengan rakyat. Untuk capresnya, masih banyak tokoh yang mumpuni. Bisa Sri Mulyani, bisa Siti Fadillah Supari, bisa Marisa, Angelina, bisa siapa sajalah. Pendiri Pusat Survey Indonesia, Degi Kartika, sampai sesumbar. 'Dipasangkan dengan pokok pisang saja, SBY bisa menang kok' kata Degi sambil tertawa renyah mengunyah roti bakar sore-sore. Apalagi dengan figur yang diterima rakyat. Hanya itu yang perlu dicari SBY. Tak selalu harus dari parpol. Dan sebagai warga negara yang baik, kita ikuti saja prosesi pilpres yang diselenggarakan awal Juli nanti. Semoga kekurangan pelaksanaan pemilu yang baru lalu bisa segera terkoreksi, sehingga pilpres Juli ini bisa lebih lancar dan legitimate. 'Gitu khan beli Degi ???' (beli artinya 'Bang' dalam bahasa Bali, pen). Penulis adalah Kolumnis Waspada [Non-text portions of this message have been removed] Selalu bisa chat di profil jaringan, blog, atau situs web pribadi! Yahoo! memungkinkan Anda selalu bisa chat melalui Pingbox. Coba! http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/ [Non-text portions of this message have been removed]