Refleksi : Untuk apa kapok, kalau saling  cinta bercinta untuk hidup 
bersama-sama sehidup semati. .

http://tokohindonesia.com/berita/opini/2009/index.shtml

Koalisi Pilpres

PDIP Tak Kapok Dipermainkan Golkar


Oleh Ch Robin Simanullang*: Ada rasa prihatin melihat kemampuan PDIP 
berpolitik. Partai yang dipimpin Ibu Megawati Soekarnoputri ini terkesan kerap 
kali dipermainkan partai lain, terutama Partai Golkar. Tapi, sepertinya PDIP 
tidak merasa dipermainkan atau terkesan pasrah, sangat lugu. Tak kapok-kapok 
dipermainkan Partai Golkar. Hal ini bisa berakibat munculnya kegundahan dan 
kejengkelan rakyat, terutama konstituen PDIP.

Para petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam berbagai 
kesempatan terlihat seperti gagah dan hebat-hebat. Hal ini, tampaknya terbaca 
oleh partai lain, terutama Partai Golkar yang sudah berpengalaman memanfaatkan 
berbagai situasi demi kekuasaan. Dengan memuji sedikit, para petinggi Golkar 
bisa memanfaatkan situasi tersanjung yang dialami para petinggi PDIP. 
Setidaknya, hal ini menurut pengamatan saya selama puluhan tahun sebagai 
jurnalis yang meminati game politik dan profil (rekam jejak) para pelakunya. 
Saya berharap mudah-mudahan hanya saya yang berpandangan demikian.

Tapi, baiklah saya kemukakan alasan kenapa mengira PDIP tak kapok-kapok 
dipermainkan Golkar. Pertama, PDIP mempunyai sejarah getir pada masa kekuasaan 
Golkar selama 32 tahun Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto. Penyederhanaan 
partai (organisasi politik) menjadi cukup tiga dengan memaksa beberapa partai 
berfusi telah melahirkan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi 
Indonesia mendampingi Golkar (yang tak mau disebut partai tapi organisasi 
sosial politik saja).

Tujuan menjadikan cukup hanya tiga organisasi politik di Indonesia, itu 
sebenarnya sangat ideal. Tapi, sayang terjadi upaya masif, sistemik bahkan 
memaksa membonsai PPP dan PDI. Golkar dengan segala akal, yang baik maupun yang 
buruk, harus selalu memenangkan Pemilu.

Ketika Megawati, yang berpembawaan sebagai ibu rumah tangga yang baik, 
dibiarkan penguasa Orba mulai aktif di PDI, terasa ada tambahan nafas bagi PDI. 
Terutama setelah 'Si Ibu Rumah Tangga' mulai menunjukkan jati dirinya dengan 
kesediaan memimpim PDI, untuk menggantikan pemimpin PDI bentukan (boneka) 
pemerintah. Pemerintahan Golkar, kala itu, berusaha 'mematikan' langkah politik 
Megawati. Tetapi, Megawati dengan gagah berani, bahkan kala itu bisa dianggap 
nekat, melakukan perlawanan (perjuangan).



Sesungguhnya, inilah awal genderang reformasi ditabuh. Megawati tampil membawa 
obor perlawanan (perjuangan) kepada rezim yang merantai demokrasi, tatkala 
tokoh yang lain masih rajin membungkuk-bungkuk mencium tangan Pak Harto. 
Muncullah PDI-Perjuangan. PDI pembawa obor perjuangan.

Obor perjuangan itu telah menyalakan nyali banyak orang, baik tokoh maupun 
kalangan muda, mahasiswa, untuk merapatkan barisan melakukan perlawanan: 
Reformasi! Sampai akhirnya era kekuasaan Orde Baru (Golkar) berakhir, ditandai 
dengan lengsernya Pak Harto dari kursi kepresidenan dan disusul takluknya 
Golkar pada Pemilu 1999, yang dimenangkan PDIP.

Tapi, disadari atau tidak, Golkar atau Partai Golkar, tetaplah sama: Ingin 
selalu berkuasa, atau paling tidak selalu ada dalam lingkaran kekuasaan. 
Kendati PDIP memenangkan Pemilu, Partai Golkar (yang semula didominasi pengaruh 
militer telah menjadi lebih didominasi ICMI) melakukan berbagai manuver bersama 
Poros Tengah (partai berbasis Islam) untuk menjegal Megawati, asal bukan 
Megawati, jadi presiden. Inilah pengalaman pertama PDIP berhasil dipermainkan 
(power game) Partai Golkar di era reformasi.

Permainan kedua. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mulai mengambil 
sikap tegas menyingkirkan kader Partai Golkar dan Poros Tengah dari lingkaran 
kekuasaan (menteri), Golkar dan Poros Tengah berbalik berbondong-bondong ke 
rumah Megawati. Kegagahan (emosi) PDIP dan Megawati berhasil diangkat-angkat, 
selain karena Laksamana Sukardi (kader PDIP kala itu) ikut digusur Gus Dur dari 
jabatan Menteri Negara BUMN, juga dengan tujuan mendudukan Megawati di kursi 
RI-1.

Tapi, bersamaan dengan itu, Golkar dan poros tengah, kembali mendominasi 
kekuasaan (menteri). Nasib wong cilik, yang menjadi basis massa PDIP, kurang 
mendapat perhatian. Sampai-sampai menjelang Pemilu 2004 pun masih terjadi 
penggusuran wong cilik di berbagai kota, terutama Jakarta yang mendapat sorotan 
pemberitaan media sangat luas. Hasilnya, pada Pemilu 2004, Golkar menjadi 
kampiun. Perolehan suara PDIP merosot tajam dari lebih 33 persen menjadi 18 
persen.

Game ketiga pun dimulai. Setelah putaran pertama Pemilu Presiden berakhir 
dengan kekalahan Capres Golkar Wiranto (hanya di urutan ketiga), secara resmi 
Partai Golkar merapatkan barisan membentuk Koalisi Kebangsaan dengan PDIP 
mengusung Mbak Mega-Hasyim Muzadi (urutan dua) sebagai Capres bersaing dengan 
SBY-JK (urutan pertama) pada Pilpres putaran kedua. Secara ril, sebenarnya saat 
itu Golkar memasang dua kaki yakni yang satu bersama Mbak Mega satu kaki lagi 
(JK) bersama Pak SBY. Mega pun kalah. Sampai di sini masih terlihat wajar, 
sebab kebersamaan JK dan SBY tidak atas restu resmi Golkar.

Tetapi, setelah dalam sidang-sidang pemilihan dan pengambilan keputusan tentang 
pimpinan DPR dan MPR, Partai Golkar memainkan permainan setelah terpilih kader 
Golkar, Agung Laksono menjadi Ketua DPR, dan disepakati kader PDIP akan 
memimpin MPR, ternyata dalam pemilihan, kader PDIP kalah, dikalahkan kader PKS, 
Hidayat Nur Wahid, yang tergabung dalam Koalisi Kerakyatan dalam blok SBY-JK. 
Padahal jumlah kursi Koalisi Kebangsaan (PDIP-Golkar, dll) di DPR-MPR jauh 
lebih banyak.

Anehnya, PDIP sepertinya tidak merasa sedang berada dalam pusaran permainan 
politik Partai Golkar. Partai Golkar yang secara terang-terangan sering 
mengatakan akan selalu memilih berada dalam lingkaran kekuasaan, tidak menjadi 
bahan pelajaran bagi PDIP. Bukankah itu berarti bahwa Partai Golkar akan selalu 
berpihak kepada pemenang?

Ada pepatah (nasihat) orang-orang tua Batak kepada anak-anaknya: Unang ho 
situnjang nagadab (Janganlah menjadi pemijak orang yang jatuh, terjerembab). 
Pepatah lainnya: Molo ho monang marjuji, sude mandok lae. Alai molo talu, sude 
mandok te. (Kalau kamu pemenang, semua, banyak, orang menjadi teman. Tapi kalau 
kalah, semua menjauh, bilang bau seperti tai). Itulah memang yang seringkali 
dipertontonkan dalam kehidupan, terutama dalam permainan politik oleh 
orang-orang yang memeperagakan kotornya politik.

Masalahnya, untuk tidak menjadi selalu terbawa dalam lingkaran arus permainan 
orang lain, kita harus lebih cerdik dan tulus, cerdas dan bijaksana (bisuk). 
Ada pepatah, seekor rusa (saja) tidak mau terperosok ke dalam lubang yang sama. 
Seharusnya, apalagi manusia (yang berpikir cerdas), tidak akan terperosok dalam 
lubang yang sama.

Game keempat, yang terkini! Tampaknya sedang dimainkan hari-hari ini. Ketika 
menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, Partai Golkar menyatakan merasa 
terhina karena seorang kader Partai Demokrat menyatakan SBY belum tentu 
berpasangan kembali dengan JK, karena bisa mungkin Partai Golkar hanya meraih 
2,5 persen suara.

Partai Golkar langsung bermain dengan PDIP. Bahkan sampai ditandatangani 
beberapa butir kesepakatan, antara lain untuk memperkuat pemerintahan ke depan. 
Kader PDIP terlihat akrab dan terbahak-bahak dengan kader Partai Golkar. 
Tetapi, saudara-saudari, hanya sehari setelah Pemilu Legislatif dan hasil 
perhitungan cepat menunjukkan Partai Demokrat tampil sebagai pemenang, Partai 
Golkar dan PDIP berada diurutan dua-tiga, JK dan para petinggi Golkar lainnya 
langsung merapat ke SBY-Partai Demokrat, bahkan terkesan mengemis. Dan, dengan 
terbuka menyatakan lebih memilih partai pemenang. PDIP, sepertinya menjadi 
sebuah partai yang berbau busuk, partai yang terjerembab (gadab), yang tidak 
menguntungkan diajak berkoalisi.

PDIP terpelongo sendirian. Telah ditinggal Partai Golkar dan mungkin PPP yang 
sebelumnya berkoar mengumandangkan koalisi segitiga emas. Beruntung, ada 
Parabowo (Partai Gerindra) yang langsung menemui Megawati, disusul Wiranto 
(Partai Hanura). Mereka bahkan berulangkali menemui Megawati, bahkan menggalang 
23 tokoh partai lainnya. Memang, pertemuan mereka yang dipublikasikan ke publik 
adalah menyepakati persoalan carut-marut Pemilu Legislatif untuk diklirkan 
melalui jalur hukum. Tapi, publik merasakan, bahwa di antara ketiga pemimpin 
partai itu telah terjalin komunikasi intensif untuk membangun suatu koalisi 
dalam menghadapi Pilpres.

Sementara itu, dinamika politik permohonan Partai Golkar berkoalisi dengan 
Partai Demokrat, akhirnya menemui jalan buntu. Partai Golkar yang mencoba 
memainkan permainan dalam sanjungan pesta kemenangan Partai Demokrat, berhasil 
ditangkal SBY dengan merilis lima kriteria Cawapres pendampingnya. SBY 
menunjukkan, kini Demokratlah pemegang kendali permainan, siapa yang mau ikut, 
silakan ikuti aturan yang ditetapkan Demokrat. 

Publik merasakan kriteria itu bernada penolakan halus atas kelanjutan SBY-JK. 
Partai Demokrat ingin (mau) berkoalisi dengan Partai Golkar, tapi jangan 
dipaksakan dengan pasangan SBY-JK. Partai Demokrat meminta Golkar mengajukan 
beberapa nama. Bukankah Partai Golkar punya banyak kader? Tapi, Tim Tiga yang 
diutus JK (Partai Golkar) bersikeras hanya mengajukan satu nama, yakni JK. 
Partai Golkar merasa didikte, begitu pula Partai Demokrat. Lalu, SBY bilang 
endapkan dulu. Itu membuat JK dan kawan-kawan mengambil keputusan dalam rapat 
pengurus harian DPP yang dikukuhkan dalam Rapimnasus Golkar, 23 April 2009, 
berpisah dengan Demokrat dan akan mengajukan JK sebagai Capres dan memberi 
mandat kepada JK untuk melakukan komunikasi politik dengan partai lain, eh tak 
tertutup kemungkinan dengan Demokrat. Boleh dibilang, Rapimnasus ini hanya 
mengambil keputusan abu-abu.

Dalam posisi mendapat penolakan dari SBY (Demokrat), Partai Golkar kembali 
memuja-muji PDIP, menyebutnya sebagai sahabat lama. Aneh, bila para petinggi 
PDIP pun kege-eran. Taufik Kiemas malah langsung menambangi JK di rumahnya, 
disusul JK akan menemui Megawati malam ini, empat mata saja. Apakah PDIP akan 
masuk lagi dalam pusaran permainan politik Partai Golkar? Lalu, di tengah 
pusaran Partai Golkar itu, apakah PDIP akan terlena dan meninggalkan Gerindra 
dan Hanura?

Malam ini, dan besok 25 April 2009 dalam Rapimnas PDIP akan ada jawabannya. Apa 
pun jawabannya, itu adalah hak mereka. Mudah-mudahan, saya hanya keliru 
menafsirkan bahwa PDIP seringkali terperosok dalam pusaran permainan politik 
Golkar, dan anehnya tak pernah kapok. (Jakarta, 24 April 2009)
 ? * Pemred Tokoh Indonesia




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke