http://www.sinarharapan.co.id/berita/0905/02/bud01.html

Cerpen 

Perempuan Politik 
Oleh
Syarif Hidayatullah


Inilah kesedihanku, saat meja makan begitu lengang dan kosong. Seperti sebuah 
piring tanpa lauk dan nasi, seperti hatiku pula yang kini mulai ditumbuhi 
rumput-rumput sunyi dan gelisah yang semakin lama semakin meninggi.

Aku tak pernah melarang istriku untuk terjun dalam partai P untuk mencalonkan 
diri sebagai anggota legislatif di kota D. Benar-benar tak begitu masalah 
bagiku, selagi itu bermuara pada hal positif, dan baik bagi dirinya, aku bahkan 
mendukungnya, meski sebetulnya setengah hati saja.

Rasa takutku selalu saja menghantui, tentu saja aku berpikir tentang anakku 
yang masih berumur enam belas tahun dan yang paling kecil baru lima tahun. 
Anak-anakku pasti lebih membutuhkan sosok ibu di rumah ini, terutama bontotku, 
Rasya. Bila ia aktif di partai, lantas siapa yang mengurus mereka?
Seperti kali ini, untung saja anakku Jannah sudah bisa memasak, meski itu hanya 
telur goreng atau mi rebus. Aku tanya pada Jannah saat pulang kerja menjelang 
magrib tadi. Ia menjawab seperti biasa."Ibu belum pulang, dia masih ada acara 
di tempat yatim piatu, katanya mengadakan santunan. Entahlah."

Aku tangkap nada kekecewaan dalam setiap kata-kata yang keluar dari anak 
tertuaku itu. Kasihan betul ia, ia harus merawat Rasya yang masih suka kencing 
sembarangan. Hal ini bukanlah hal mudah bagi Jannah, terutama karena Rasya 
cenggengnya bukan main.

Apa yang harus aku lakukan? Sempat dulu aku melarang istriku untuk ikut masuk 
partai, aku sebutkan alasannya sedetail mungkin tentang anak-anak kami yang 
kelak terbengkalai. Tapi ia malah balik menyerangku dengan kata-kata tajam 
menusuk telinga dan hatiku, ia berkata seperti sedang menghadapi musuh 
politiknya ketimbang aku sebagai suaminya, ia bilang aku tak menghargai 
kemajuan wanita, tak suka melihat istrinya maju, tak bangga memiliki istri yang 
menjadi politisi dan entah kata apalagi yang ia ucapkan. Aku sungguh muak 
mendengarkannya.

Bila tak ada Mpok Asiah, mungkin rumah ini sudah berantakan, kotor dan pakaian 
kotor yang menggunung. Mpok Asiah, pembantu kami itu hanya bekerja pada pagi 
hari, menyapu halaman dan rumah, mengepel lantainya serta mencuci pakaian kami. 
Selanjutnya, istrikulah yang mengerjakannya. Ia menjadi koki yang sangat hebat 
dengan makanan yang ia sajikan yang selalu begitu lezat. Tapi tidak kali ini, 
bahkan di meja ini terasa sunyi sekali.
***
Aku kesal dengan suamiku, mengapa ia tak menghargai perjuanganku untuk 
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif? Apakah salahku? Apakah ia sengaja 
menghalang-halangiku karena ia merasa kedigdayaannya sebagai lelaki di rumah 
ini mulai goyah?

Ah, di mana-mana lelaki tetap sama. Ingin berkuasa, ingin menang sendiri dan 
tentu selalu ingin di atas bahkan untuk sesuatu yang kami lakukan di atas 
kasur. Perempuanlah yang selalu menjadi boneka, dimainkan ke kiri dan ke kanan 
tanpa memedulikan perasaan boneka itu. 
Tetapi kini, aku bukanlah boneka lugumu Mas, aku bukan boneka lugu yang saat 
malam pertama kau cumbu dan dilumat olehmu tanpa berkata apa pun meski sakit 
terasa menggigit tubuh. Aku bukan boneka lagi, bukan boneka perempuan-perempuan 
yang kalah oleh kenyataan pahitnya.

***
Aku menunggu istiriku, Karti. Karti dulu terasa berbeda dengan sekarang. Karti 
dulu begitu lugu dan sangat penurut sekali atas semua kemauanku. Aku begitu 
senang bila Karti seperti itu. Tetapi kini? Ah, haruskah aku menyesali 
keputusanku yang membiarkan Karti masuk partai?

Sudah pukul delapan malam Karti belum juga datang. Aku berniat menunggunya 
sampai ia pulang. Aku ingin bicara dengannya. Mungkin aku tak bisa melarangnya 
untuk tidak masuk partai, tapi mungkin aku bisa memintanya untuk lebih 
memperhatikan keluarganya. Terutama kedua anakku. Mudah-mudahan ia seperti 
kata-katanya yang kukutip pada kain rentang di pinggir jalan yang dihias dengan 
foto cantiknya: MENDENGAR, MELAKSANAKAN DAN BERTANGGUNG JAWAB. 

Mudah-mudahan saja.

***
Aku baru saja pulang. Kulihat suamiku berada di ruang tamu. Aku berlalu begitu 
saja darinya, tapi kemudian ia memanggilku. Aku lelah Mas, kukatakan itu 
padanya kuharap ia mengeti kata-kataku, memahami keadaanku.Tapi Masku memaksaku 
untuk mendengarkanku, bahkan aku disebut sebagai istri yang membangkang. Aku 
kesal dengan kata-katanya, kelelahanku yang menggrogoti tubuhku akhirnya 
kubiarkan untuk pembicaraan sumpah serapah seisi kebun binatang sana.Masku, 
malah memukulku dan berkata aku tak tahu diri. Aku menangis sejadi-jadinya dan 
kemudian berlari menuju kamar. Aku kunci pintunya dan kemudian aku membenamkan 
tangisku pada bantal. Aku benar-benar merasa seperti boneka yang tak dihargai, 
boneka yang terpenjara di dalam jeruji besi.
***

Aku marah besar ketika istriku bahkan tak mau mendengarkanku, ia malah 
menyebutku anjing! 
Aku duduk di sofa rumah dan mulai memikirkan tentang Karti, inikah istriku? Aku 
seperti tak mengenal Karti. Ini bukan Karti, benar-benar bukan Kartiku! Kartiku 
dulu tidak lain seorang gadis desa yang kemayu dan sangat patuh pada suami. 
Tetapi mengapa ia berubah demikian cepatnya? 

Aku menyesali pukulan yang kuhempaskan ke mukanya. Ini pukulan pertamaku selama 
pernikahanku yang menginjak delapan belas tahun. Pukulan pertama yang 
membuatnya menangis dan terisak begitu dahsyat, bahkan aku dapat mendengarnya 
dari kejauhan. Aku tak tega, tapi aku ingin memberikan pelajaran yang berarti 
baginya. Setidaknya, ia harus tetap menghormatiku posisiku sebagai seorang 
suami. Aku tak ingin menjadi suami yang dilangkahi harga dirinya. Bila ini 
terjadi, hanya tinggal menunggu waktu saja hancurnya rumah tangga ini.

Jannah kemudian datang dan menanyakan apa yang terjadi, tapi aku memeluknya 
dengan erat. Aku benar-benar tidak tega kepada anakku. Aku benar-benar kasihan 
pada mereka yang mungkin kini mulai kehilangan sosok ibu. Aku pun mulai 
mengutuk kata-kata pada kain rentang dengan foto cantik wajah Karti. 
Aku muak! Aku benci! 
***
Pagi harinya aku tak menyapa Masku, bahkan aku tak memasak apa pun untuk rumah 
ini. Aku mengurung diriku pagi itu dan kemudian berangkat untuk menghadiri 
sosialisasi partai di kampung B.
Kesibukan seperti inilah yang dapat menghapus masalah keluarga. Aku berusaha 
melupakan kedua anakku untuk sementara, juga pada suamiku yang kini kuusir dari 
ranjangku.
***
Aku kesal dengan tingkah laku istriku, aku semalam tidur di sofa. Aku 
benar-benar berang, aku tak sudi lagi tidur seranjang dengannya. 
Tapi kini ia bahkan tak memasak seperti biasa untuk sarapan kami. Aku kemudian 
memasak mi rebus. Rasya kuraih dan kusuapi sendiri. Sebentar lagi aku akan 
berangkat ke kantor dan barangkali aku akan menitipkan Rasya pada tetangga 
sebelah. Sahabatku, sahabat Karti pula. Namanya Arini. 
Arini maklum saat aku menitipkan Rasya, bahkan ia begitu senang menyambut 
anakku itu, Arini memang tidak mempunyai anak dan telah menjanda begitu lama. 
Menurut kabar, suaminya meninggalkan Arini karena Arini mandul. 
Pada Arini pula kadang aku mengungkapkan keluh kesahku perihal Karti, ia 
terkejut saat mendengar ceritaku tentang pertengkaran kami semalam dan Arini 
siap membantuku bila aku membutuhkan bantuannya. Aku menyambut gembira 
kemauannya itu.
Benar saja, pulang dari kantor pada malam harinya, aku lihat Arini masih berada 
di rumahku sambil mengajari Rasya membaca dan mengobrol-ngobrol dengan Jannah 
di ruang tamu. Aku tenang melihat kejadian itu, aku pun tersenyum dan bergabung 
dengan mereka yang telah menyambutku.
***
Saat aku pulang, kedua anakku telah tidur pulas dan kulihat Arini baru saja 
pamit dari rumah kami karena aku berpapasan dengannya di jalan. 
Masku memuji Arini yang cekatan menjaga anak-anak kami dan mulai memojokkanku 
dengan kata-katanya yang menyayat hati. Harusnya kau seperti Arini, ujar 
suamiku. 
Amarahku mulai terbakar, tapi aku tak keluarkan karena aku takut kembali 
ditampar. Tetapi semakin lama kata-kata Masku semakin menyakitkan, semakin tak 
menghargaiku sebagai seorang istriku yang dulu merawat Jannah susah payah, 
melahirkan Rasya dengan mempertaruhkan nyawa. 

Suamiku berbicara tentang Arini tanpa memedulikan perjuanganku selama ini. 
Hatiku begitu sakit mendengarkannya dan bahkan aku mulai tidak tahan. Ceraikan 
saja aku Mas! Tiba-tiba kata-kata itu begitu saja keluar dari mulutku dan 
disambut oleh Masku dengan tak kalah amarahnya.
Ia tampak begitu emosi dan aku pun tak kalah sengitnya. Aku sudah muak dan 
sudah tidak betah di rumah ini.

***
Aku terperanjat kaget mendengar kata-kata istriku semalam yang memintaku cerai. 
Arini yang mendengarkan ceritaku pun tak kalah kagetnya. Tapi sejujurnya aku 
pun sudah tidak memiliki harapan lagi kepada Karti untuk berubah. Ia mulai 
keras kepala dan tidak menghargaiku lagi sebagai suami. 
Keputusan bercerai aku pikir adalah hal yang terbaik. Aku mulai mempersiapkan 
semuanya, meski Arini sempat melarangku melakukan hal ini. Tidak baik buat 
anak-anakmu, ini akan mengguncang perasaan mereka, ujar Arini padaku. 
Aku sudah tidak peduli. Amarahku telah membulat. Bila amarahku api, maka api 
itu akan membakar apa pun yang berusaha menghalanginya.
***

Pada Johan, penasihat kader partai aku katakan retaknya rumah tanggaku dan aku 
ingin bercerai. Johan sempat melarangku untuk bercerai, karena itu akan 
memperburuk keadaan, terlebih lagi soal pemilih. Itu hanya akan merusak 
reputasiku. Keluarga itu bisa jadi sorotan masyarakat, bila kamu diceraikan 
oleh suamimu mereka akan menganggapmu tidak becus mengurus keluarga. Untuk 
mengurus keluarga saja tidak bisa, apalagi mengurus daerah. Masyarakat akan 
berpikir seperti itu. Bagaimana mereka akan memilihmu?

Benar juga apa yang dikatakan Pak Johan kepadaku. Tapi keputusanku untuk 
meminta cerai dari suamiku telah meruncing. Aku tidak ingin mentalku, 
perasaanku digigiti oleh kata-kata suamiku yang selalu mengiris-iris bagai 
pisau itu.

Melihatku keras kepala. Pak Johan hanya menggeleng-gelengkan kepala, tapi 
kemudian Pak Johan memberikan solusi lain kepadaku, ia membisikiku dan aku 
tersenyum karena ide Pak Johan begitu tepat dan cukup licik sebetulnya. Tetapi 
aku tetap menyetujuinya karena aku bukan lagi boneka.
***

Saat pengadilan dimulai, ada rasa bersalah menghinggapiku. Aku pikir ini bukan 
yang terbaik, apalagi saat kedua anakku kutinggalkan di rumah. Aku lihat mata 
gelisah mereka. Ah, mereka tak akan memiliki ibu lagi. Aku ingin memperbaiki 
rumah tangga ini.
Tapi aku keget saat di pengadilan. Sambil menangis Karti bercerita soal 
pemukulan yang diterimanya. Bahkan ia mulai menunjukkan lebam tangan kanannya. 
Entah oleh siapa dan karena apa. Tetapi ia menyebut namaku, akulah yang 
melakukannya. Lebih kaget lagi, ia sebut-sebut Arini sebagai kekasih gelapku. 
Orang-orang yang hadir di pengadilan menjadi begitu simpati pada Karti. Aku 
berteriak bohong dengan lantangnya, tetapi pembantuku yang hadir sebagai saksi 
saat itu mengatakan bahwa aku telah melakukannya. Entah Mpok Asiah dibayar 
berapa untuk membenarkan kebohongan itu.
Akhirnya perceraian itu tak terhindarkan. Aku lihat senyum licik yang tak 
pernah kulihat pada senyum-senyum Karti dulu. Aku pun pulang. Entah apa yang 
harus kukatakan kelak pada kedua anakku.
Sesampainya di rumah, aku tak mendapati apa-apa selain rumput-rumput sunyi yang 
semakin banyak memenuhi rumah ini.***

wismasastra, 2009

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke