http://fahmina.or.id/id/content/view/554/1/

Warkah al-Basyar Vol. VIII Edisi 16 (15 Mei 2009 M./20 Jumadil Awal 1430 H)
Pernikahan Paksa
Persepektif Fiqh dan Kekerasan Terhadap Anak

Oleh Pera Soparyanti*
Jumat, 15 Mei 2009

Kekerasan terhadap anak semakin marak terjadi. Tidak sedikit
pemberitaan-pemberitaan di media tentang prilaku kekerasan dengan
korbannya seorang anak. Motif dan modusnya bisa beraneka ragam. Baik
berupa kekerasan fisik maupun mental-psikis. Ironisnya pelaku
kekerasan terhadap anak ini biasanya  adalah orang terdekat baik itu
saudara, teman, tetanga bahkan orang tua sendiri. Biasanya mereka
berdalih atas dasar kasih sayang akan tetapi berujung penderitaan sang
anak. Tidak terkecuali diantaranya merampas kebebabasan hak anak untuk
memilih pasangan hidup anaknya sendiri.

Kasus penjodohan paksa merupakan bentuk kekerasan terhadap anak.
Karena efeknya dapat lebih parah ketimbang kekerasan fisik. Walaupun
terkadang, kawin paksa berakhir dengan kebahagiaan dalam rumah tangga,
tetapi tidak sedikit yang berakibat pada ketidakharmonisan bahkan
perceraian. Itu semua akibat ikatan perkawinan yang tidak dilandasi
cinta kasih, namun berangkat dari keterpaksaan semata.

Nikah paksa bahkan dalam perkembangannya menjadi trend baru bentuk
eksploitasi anak. Motif eksploitasi dapat dilihat dari beberapa modus
operandi, antara lain, eksploitasi anak dalam kejahatan human
trafficking (perdagangan orang). Biasanya anak perempuan yang usianya
masih belia dipaksa untuk menikah dengan orang asing, untuk kemudian
dibawa pergi ke luar negeri. Cara seperti ini biasa dikenal dengan
pengantin pesanan. Kasus ‘pengantin pesanan’ ini marak terjadi di kota
Singkawang, Kalimantan Barat.

Kasus semisal ini seringkali terjadi karena beberapa alasan, pertama,
orang tua yang merasa memiliki anaknya sehingga berhak memaksa
menikahkan dengan siapapun.  Kedua, rendahnya pengertian orang tua
terhadap kemungkinan marabahaya yang bisa menimpa buah hatinya
sendiri. Ketiga, alasan ekonomi. Alasan ini menjadi faktor dominan
dalam beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah. Orang tua
mengambil keutungan financial dengan menikahkan anaknya secara paksa
dengan orang asing. Bahkan di daerah tertentu, memiliki anak perempuan
merupakan aset tersendiri, karena dapat menghasilkan keuntungan
ekonomi. Alasan-alasan di atas menjadi sangat kuat ketika dihubungkan
dengan budaya juga teks Agama. Dalam fiqih misalnya, ada aturan yang
mengatakan bahwa seorang perempuan itu boleh dinikahkan secara paksa
oleh orang tuanya.

Pandangan Fiqh dan UU

Mengenai kawin paksa (ijbar), sebenar-nya sudah menjadi polemik klasik
dalam khazanah Islam. Para ahli fiqh berbeda menyikapinya. Sebut saja,
Syafi’i, Malik, Ahmad, Ishaq dan Abi Laila, mereka menetapkan hak
ijbar berdasarkan sebuah hadits. Nabi Muhammad saw. bersabada:

    “Janda, tidak boleh dinikahi sampai diminta persetujuannya. Anak
perawan tidak boleh dinikahi sampai diminta izinnya. Mereka bertanya;
“bagaimana izinnya? Jawab rasul; anak gadis itu diam” (HR.
Bukhari-Muslim).

Kelompok ini memandang yang harus dimintai izin adalah janda, bukan
gadis. Karena hadits ini membedakan antara janda dan gadis.
Berdasarkan sebuah hadits riwayat Muslim bahwa janda lebih berhak
terhadap dirinya sendiri ketimbang walinya (ahaqqu binafsiha min
waliyyiha). Dengan demikian, ia harus dimintai persetujuan. (Ibnu
Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut, Dar
al-Fikr, tt., juz 9, hlm. 191)

Imam Syafi’i menilai meminta persetujuan seorang gadis bukan perintah
wajib (amru ikhtiyarin la fardlin). Karena dalam hadits ini janda dan
gadis dibedakan. Sehinga pernikahan gadis yang dipaksakan tanpa
izinnya sah-sah saja. Sebab jika sang ayah tidak dapat menikahkan
tanpa izin si gadis, maka seakan-akan gadis tidak ada bedanya dengan
janda. Padahal jelas sekali hadits ini membedakan janda dan gadis.
Janda harus menegaskan secara jelas dalam memberikan izin. Sementara,
seorang gadis cukup de-ngan diam saja. Oleh karena itu, janda tidak
sama dengan gadis.
Namun, Syafi’i dan ulama’ yang lain, menetapkan hak ijbar bagi seorang
wali atas dasar kasih sayangnya yang begitu dalam terhadap putrinya.
Karenanya, Syafi’i hanya memberikan hak ijbar kepada ayah semata.
Walau dalam perkembangan selanjutnya, Ashab (sahabat-sahabat) Syafi’i
memodifikasi konsep ini dengan memberikan hak ijbar juga pada kakek
(Muhammad Idris al-Syafi’i, Al-Um, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut
Libanon,  juz 3, hlm. 18.)

Seorang ayah dipersonifikasikan seba-gai sosok yang begitu peduli pada
kebahagiaan anak gadisnya. Karena sang gadis belum berpengalaman hidup
berumah tangga, di samping biasanya ia pun malu untuk mencari pasangan
sendiri, para ulama’ mencoba memberi sarana bagi ayah untuk membantu
buah hatinya itu.

Oleh karenanya, kalangan Syafi’iyah membuat rambu-rambu berlapis bagi
kebolehan hak ijbar. Antara lain, pertama, harus tidak ada kebencian
yang nyata antara anak dan ayah. Ijbar harus dilakukan dengan dasar
pemberian wawasan, pilihan-pilihan, kemungkinan-kemungkinan, dan
alternatif yang lebih baik bagi anak. Kedua, ayah harus menikahkan si
gadis dengan lelaki yang serasi (kufu’). Ketiga, calon suami harus
mampu memberi maskawin sepantasnya (mahar mitsl). Keempat, harus tidak
ada kebencian dzahir batin antara calon isteri dengan calon suami.
Kelima, si gadis tidak dikhawatirkan dengan orang yang akan membuatnya
sengsara setelah berumah tangga (Syamsuddin Muhamad Ahmad al-Khatib,
Al-Iqna’, Mesir, Musthafa al-Babi, 1359, juz 2, hlm. 128).

Di sisi lain, firqah ulama’ seperti, Auza’i, Tsauri, Abu Tsaur dan
kalangan Hanafiyah lebih memilih tidak mengakui hak ijbar. Mereka
menggunakan pijakan argumentasi hadits yang juga digunakan kelompok
pembela ijbar. Menurut mereka, lafadz tusta’dzanu mengandung arti
bahwa idzin adalah merupakan keharusan (amrun dlaruriyun) dari anak
perawan yang hendak dinikahkan. Oleh sebab itu, pernikahan yang
dilakukan tanpa kerelaan si gadis, hukumnya tidak sah. Dari kalangan
muta’akhirin, ulama’ yang berpendapat senada adalah Yusuf al-Qardlawi
dan Dr. Ahmad al-Rabashi. Keduanya mengatakan, bahwa si gadislah yang
nanti akan menghadapi pernikahan, sehingga kerelaannya harus
betul-betul diperhitungkan.

Kesimpulan ini di dukung oleh sebuah hadits, “Seorang gadis datang
mengadu kepada Nabi saw., “sesungguhnya ayahku menikahkanku dengan
sepupuku agar harga dirinya terangkat”. Lalu Nabi menyerahkan
persoalan ini kepada si gadis. Kemudian kata gadis itu; Aku
(sebenarnya) menyetujui apa yang ayahku lakukan. Tetapi, yang penting
dari pengaduanku ini, aku ingin para perempuan tahu bahwa para ayah
tidak berhak memaksakan kehendaknya” (HR. Ibnu Majah).

Melihat syarat-syarat ini, sesungguhnya penerapan hak ijbar tidak bisa
dilakukan serampangan. Dan kalau memang konsisten dengan ketentuan
fiqh, bisa dipastikan hampir tidak ada pemaksaan bagi perempuan untuk
menikah baik itu janda maupun gadis.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 pasal 26
tentang kewajian dan tanggung jawab orang tua telah ditegaskan bahwa,
“Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a) mengasuh,
memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) menumbuhkembangkan anak
sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c) mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”.

Pasal ini jelas mengamanatkan, orang tua wajib mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak-anak, apalagi dalam konteks pernikahan yang
dipaksakan. Semoga hal ini menjadi kesadaran bagi setiap orang tua
untuk memberi kesempatan kepada sang anak dalam berproses menggali
pengalaman dan wawasan. Wallahua’lam.[]

Penulis adalah alumni PP. Ma’had Aly Situbondo, dan redaktur Pelaksana
Warkah al-Basyar dan Website Fahmina-intitute  Cirebon Jawa Barat


------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejaht...@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelism...@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:wanita-muslimah-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:wanita-muslimah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke