Analisa Ekonomi

Kallanomics, Boedionomics, Prabowonomics

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PH. D*

Rabu, 20 Mei 2009 - 08:15 wib

ADU konsep dan program ekonomi tampaknya akan sangat mewarnai
Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Alasannya sederhana. Konteks kontestasi
pilpres saat ini adalah krisis ekonomi global yang imbasnya di
Indonesia telah menjadi menu pembicaraan sehari- hari. 
Misalnya
saja penurunan investasi,penurunan ekspor,demikian juga kekhawatiran
terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK),serta meningkatnya
angka kredit macet perbankan. Faktor lain adalah persepsi masyarakat
luas bahwa titik lemah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) adalah pencapaian dalam bidang ekonomi. 

Meski Badan
Pusat Statistik (BPS) berkali-kali menyatakan angka kemiskinan dan
pengangguran terus menurun dalam beberapa tahun terakhir ini, berbagai
kalangan tetap meragukan kebenaran laporan tersebut dan menilainya
tidak sesuai dengan kondisi riil masyarakat. Dipilihnya Boediono
sebagai calon wakil presiden (cawapres) oleh SBY menunjukkan betapa
penanganan masalah ekonomi mendapat perhatian khusus. 

Munculnya
Jusuf Kalla sebagai calon presiden (capres) -meski merupakan
konsekuensi logis dari posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar-
sedikit banyak mengandaikan adanya kalkulasi pemilih yang menempatkan
persoalan ekonomi sebagai agenda prioritas. 

Kehadiran Prabowo
sebagai cawapres mendampingi Megawati Soekarnoputri, selain
dimungkinkan karena kesamaan platform, sesungguhnya menyiratkan bahwa
Megawati telah siap dengan program baru bidang ekonomi
yangberbedadariapayangdulupernah dikerjakannya. Lalu apa yang akan
membedakan program ekonomi Kalla (Kallanomics), Boediono (Boedionomics), dan 
Prabowo (Prabowonomics)?

Hampir
dapat dipastikan, siapa pun yang akan terpilih nanti, satu di antara
mereka akan menentukan pilihan dan prioritas program ekonomi lima tahun
ke depan. Kallanomics dan Boedionomics lebih mudah untuk dinilai karena sudah 
kita lihat penerapannya. 

Dalam
berbagai versi penyederhanaan, Boedionomics dianggap metamorfosis dari
paham neoliberalisme yang menekankan prinsip-prinsip pasar bebas,
privatisasi, dan campur tangan minimal dari negara. Boediono dianggap
melanjutkan kebijakan ekonomi dari kelompok ekonom "Mafia Berkeley"
yang dulu dimotori Widjojo Nitisastro. 

Sementara Jusuf Kalla
dinilai memimpin kalangan strukturalis yang lebih menekankan
nasionalisme ekonomi dan pertumbuhan borjuasi nasional. Kalla tidak
segan-segan menyodorkan tuntutan agar pengusaha nasional dilibatkan
dalam berbagai proyek pembangunan atau mengimbau penggunaan produk
dalam negeri secara masif. Sering digambarkan oleh media massa, Kalla
lebih eksplosif, agresif, dan ingin serbacepat. 

Adapun
Boediono dinilai lebih hatihati, cermat,dan penuh perhitungan sehingga
terkesan lamban. Ibarat mobil,Kalla mirip pedal gas,sedangkan Boediono
bagai pedal rem. Boedionomics juga dinilai lebih permisif dalam
berutang. Untuk sebagian mungkin ini menjelaskan mengapa utang
pemerintah dalam koordinasi Boediono meningkat pesat dalam beberapa
tahun terakhir ini. 

Dalam soal ini, Kallanomics
mungkin lebih hatihati karena sebagai tokoh yang berlatar belakang
pengusaha, Kalla lebih tahu cara-cara memperoleh utang dengan beban
bunga yang lebih rendah. Tentu Boedionomics dan Kallanomics
tidak sesederhana ulasan di atas. Dalam pidato deklarasinya, secara
tegas Boediono menyatakan, ekonomi tidak bisa sepenuhnya diserahkan
kepada pasar. Negara harus dan akan tetap berperan dalam porsi yang
pas. 

Diakuinya, peran negara yang terlalu besar memang akan
menekan kreativitas masyarakat. Pandangan ini berkali- kali disampaikan
Boediono dalam berbagai forum ilmiah sejak awal 1980-an. Sebaliknya, 
Kallanomics juga tidak identik dengan ketergesagesaan atau dalam istilah Amien 
Rais "Kalaponomics". 

Kallanomics
memang cenderung lebih agresif (entrepreneurial) dalam memanfaatkan
peluang baru dan terasa lebih berani dalam menghadapi risiko. Tanpa
keberanian menghadapi risiko, kita akan berjalan di tempat. Bagaimana
dengan Prabowonomics?

Dari program-program ekonomi yang
ditawarkan dalam kampanye yang lalu, Prabowonomics terasa lebih
?radikal? dalam arti menggunakan pendekatan ekonomi baru yang berbeda
dari arus besar (mainstream) strategi dan kebijakan ekonomi selama ini.
Bahkan di mata Prabowo, sistem ekonomi kita telah gagal menciptakan
kemakmuran dan keadilan. 

Bila Kallanomics
dan Boedionomics secara umum masih bisa dimasukkan dalam kategori
Keynesian Economics (ekonomi kapitalisme dengan koreksi dari negara),
Prabowonomics lebih menonjolkan unsur-unsur positif dari sistem ekonomi
sosialisme. Katakata kunci dari Prabowonomics akan di sekitar
kemandirian ekonomi, moratorium utang, penguasaan aset strategis oleh
negara, redistribusi aset, dan sejenisnya. 

Kisah sukses
sejumlah negara industri baru (China,India, dan sejumlah negara Amerika
Latin) ikut mengilhami kebangkitan neososialisme. Prabowonomics
menjanjikan harapan baru, eksperimen baru, pengalaman baru, dan??untuk
derajat tertentu??risiko baru. Dikotomi ?ekonomi liberal vs ekonomi
kerakyatan", betapapun sederhana, tampaknya berusaha menangkap
perbedaan tekanan Prabowonomics dengan perspektif pemikiran yang lain. 

Janji
perubahan,dari siapa pun dan kebijakan apa pun,akan selalu melahirkan
kegelisahan. Di sinilah kearifan memiliki arti dan peranan penting.
Pilihan kebijakan ekonomi tetap harus menghadirkan transisi yang stabil
dan memberi kepastian kepada masyarakat bahwa harapan baru memang ada
di ujung terowongan. (*)

*Guru Besar FE UKSW, Salatiga.



www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php%3Fpilih%3Dkallanomics%26id%3D2+Kallanomics&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a



KALLANOMICS

Oleh: Herdi Sahrasad*

Rabu, 20 Desember 2006, 18:53:30 WIB



ISTILAH “Kabinet Kalla” sempat muncul di ruang publik tatkala susunan personil 
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) diumumkan oleh Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono (SBY) Oktober tahun 2004. Mengapa? Karena sejumlah posisi strategis 
di bidang ekonomi diduduki oleh ‘orang-orang kepercayaan’ Wapres M Jusuf Kalla. 
Di antaranya adalah Aburizal Bakrie (Menko Ekuin), M Jusuf Anwar (Menkeu), dan 
Fahmi Idris (Menaker).

Setelah kabinet berjalan, Kallanomics pun berkembang seiring dengan keinginan 
pemerintah untuk mempercepat laju pembangunan. Kini, Kallanomics bahkan telah 
menjadi bagian integral dari upaya pemerintah untuk menghabisi segala bentuk 
inefisiensi dalam perekonomian nasional.

Kallanomics adalah rangkaian gagasan yang secara implisit dan eksplisit pernah 
dicetuskan oleh Kalla menyangkut pembangunan ekonomi nasional. Terlepas dari 
masalah pro dan kontra, gagasan-gagasan tersebut jelas memiliki peran sangat 
strategis karena Kalla bukanlah ban serep bagi presiden. Dia adalah CEO di 
bidang ekonomi.

Kallanomics dalam interpretasi penulis, menekankan pragmatisme dalam 
pembangunan. Dalam arti, prioritas tertinggi harus diberikan pada kepentingan 
rakyat, terutama dalam konteks pemberantasan kemiskinan dan pengangguran. 
Dengan demikian, menomor-duakan untuk sementara berbagai permasalahan nasional 
yang tidak berkaitan secara langsung dengan kedua masalah tersebut, bukanlah 
sebuah aib.

Kallanomics pada dasarnya ingin menyelesaikan berbagai persoalan yang 
menghambat pemulihan ekonomi berdasarkan skala prioritas. Dalam konteks 
pemberantasan korupsi misalnya, Kallanomics menggariskan bahwa tujuan negara 
bukan hanya memberantas korupsi, tetapi mewujudkan masyarakat yang adil dan 
makmur. Oleh karena itu, Kallanomics menghendaki agar upaya pemberantasan 
korupsi tak menjadi terror mental di kalangan pelaku pembangunan. Dengan 
alasan, hal ini justeru bisa menghambat gerak roda pembangunan.

Banyak kasus telah membuktikan kebenaran gagasan Kallanomics ini. Di antaranya 
adalah para pimpinan PLN di Sumatra Utara, yang lebih suka melakukan pemadaman 
listrik ketimbang membeli mesin pembangkit yang hanya berharga Rp 50 juta. 
Sementara itu, para pelaku usaha di sektor riil hingga kini harus kalang kabut 
gara-gara para bankir lebih suka menyimpan dana perbankan di Sertifikat Bank 
Indonesia.

Karena itu, tudingan Ketua BPK Anwar Nasution dan para aktivis LSM bahwa Kalla 
adalah pembela koruptor, jelas salah besar. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa 
substansi Kallanomics adalah mengutamakan pembangunan ekonomi demi kepentingan 
rakyat banyak, sambil membangun langkah sistematis untuk mereformasi sistim 
pemerintahan dan perekonomian nasional.

Kallanomics sejauh yang saya pahami, memang berbeda dengan milik para teknokrat 
yang sangat tergantung pada berbagai konsep dan teori akademik. Sebab 
Kallanomics bertumpu pada realitas ekonomi dan sosial yang terjadi pada 
masyarakat, dan berbagai pengalaman Kalla sebagai praktisi di bidang politik 
dan ekonomi.

Bagaimanapun juga, seperti kata Kalla: "Keputusan akhirnya ada pada Pak SBY".

*Penulis adalah Associate Director Media Institute dan PSIK Universitas 
Paramadina, Jakarta.



      Bersenang-senang di Yahoo! Messenger dengan semua teman. Tambahkan mereka 
dari email atau jaringan sosial Anda sekarang! 
http://id.messenger.yahoo.com/invite/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke