http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur/tki_korea/bagian01.html
JANJI KOSONG BROKER TKI KE KOREA Proyek Kader Gotong Royong RATUSAN CALON TENAGA KERJA KE KOREA MERASA DITIPU. JUMHUR HIDAYAT DIMINTA IKUT BERTANGGUNG JAWAB. Tawaran menggiurkan itu masih diingat betul oleh Gunawan Johan, Ketua Paguyuban Persatuan Tenaga Kerja Wijaya Kusuma Cilacap, Jawa Tengah. Seorang tamu penting, 6 Februari 2008, datang menyampaikan kabar gembira. "Ada proyek untuk para kader," ujar sang tamu berapi-api seperti ditirukan Gunawan ketika ditemui di Markas Besar Kepolisian RI, Senin dua pekan lalu. Tamu itu, Tri Suwasto, Wakil Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Koperasi Gotong Royong alias Kosgoro, organisasi sayap Partai Golkar. Kepada segenap anggota Paguyuban, Tri juga memperkenalkan diri sebagai wakil PT Kosindo Pradipta-unit bisnis Kosgoro di bidang penempatan tenaga kerja Indonesia-wilayah Jawa Tengah. Ia memang mengantongi dua surat tugas untuk merekrut para calon tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Korea. Satu surat dari Direktur Utama Kosindo ZeidArifin tertanggal 5 Februari 2008. Lainnya dari Ketua Umum Kosgoro H Effendi Jusuf pada 19 Februari 2008. Tri, kata Gunawan, di forum itu menawarkan kepada mereka yang memiliki keahlian khusus untuk bekerja di sejumlah perusahaan di Korea Selatan. Salah satunya di perusahaan otomotif Daewoo. "Gratis," ujar Tri saat itu. Gaji yang ditawarkan sebagai tukang las, cat, pipa, kayu, dan tukang mengaduk semen pun aduhai: berkisar Rp 7-10 juta per bulan. Siapa tak tergiur? Tak mau sembrono, Gunawan selepas pertemuan itu bertandang ke gedung Mas Isman, kantor pusat Kosgoro, di Jalan Teuku Cik Ditiro, Jakarta Pusat. Di sana ia antara lain, berkenalan dengan para petinggi Kosgoro. Gunawan juga diperlihatkan foto-foto Tri bersama direksi Kosindo, anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Ardy Muhammad, dan pengusaha Korea. Semua itu membuatnya yakin betul terhadap reputasi Kosindo. Anggota Paguyuban pun berbondong-bondong mendaftarkan diri agar bisa bekerja di Negeri Ginseng. Saat pendaftaran dibuka, sekitar 2.000 calon langsung mendaftar. "Tapi yang akhirnya membayar hanya 106 orang," ujar Gunawan, yang pernah bekerja di Trakindo, Jakarta, selama tujuh tahun sejak 2001. Janji manis Tri dalam perjalanannya mulai terasa kesat. Ia mematok biaya administrasi Rp 10 juta per orang. Meski begitu, 106 warga dan anggota Paguyuban tetap kepincut dan bersedia membayar meski dicicil. "Total yang saya setor ke dia Rp 800 juta," kata Gunawan. Diperlihatkannya setumpuk bukti transfer ke Tri melalui Bank BNI dan Mandiri cabang Cijantung. Jumlahnya Rp 5-35 juta sejak akhir Februari hingga Mei 2008. Di luar biaya administrasi, masih bermunculan rupa-rupa biaya lain senilai total sekitar Rp 60 juta. Telanjur basah, sekitar 20 calon tenaga kerja bahkan nekat mengajukan kredit ke Bank Perkreditan Rakyat BKK Cilacap. Sertifikat tanah, rumah, kendaraan, dan aset lain menjadi jaminannya. Lewat cara itu, mereka memberi kuasa kepada bank tersebut untuk membayarkan biaya keberangkatan ke Korea kepada Kosindo. Menurut Direktur Utama BPR BKK Slamet Edi Astar, atas kuasa para calon TKI itu, pihaknya langsung mengirimkan uang ke Zeid Arifin. "Totalnya sekitar Rp 1,4 miliar," ujarnya. Uang antara lain ditransfer ke rekening BNI milik Zeid pada 3 Juli 2008 (Rp 545 juta), 8 Juli (Rp 495 juta), dan 28 Mei (Rp 139 juta). Di Kosgoro, Zeid tercatat sebagai Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jika ditotal, berarti sudah Rp 2,2 miliar uang yang digelontorkan oleh para calon TKI itu. Tapi, kenyataannya, hingga hari ini tak seorang pun anggota Paguyuban yang berangkat ke Korea. Itu sebabnya, Gunawan bersama empat anggota Paguyuban lain pada 23 Maret lalu melaporkan kasus ini ke Mabes Polri. Mereka mewakili 106 orang-dari total 604 calon TKI-yang menyatakan diri sebagai korban penipuan Kosindo. "Kami tidak jadi dikirim, padahal sudah bayar," ujar Gunawan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jumat pekan lalu. Upaya ini pun mereka tempuh karena Tri dan Zeid seolah raib. Berkali-kali didatangi ke kantor maupun kediamannya, keduanya tak pernah bisa ditemui Gunawan dan kawan-kawan. "Pernah saya datang ke rumahnya sejak subuh hingga sore," kata Gunawan, "tapi Pak Zeid tak pernah tampak." Tri Suwasto, yang dihubungi Tempo, Kamis dua pekan lalu, mengaku telah menerima setoran uang dari para calon TKI. Tapi semuanya langsung diserahkan ke Kosindo. "Saya ini juga korban," katanya. "Penipunya, ya, Pak Zeid." Sejak kasus ini mencuat, Tri mengaku komunikasinya dengan Zeid terputus. Telepon selulernya, kata Tri, tak pernah aktif. Didatangi ke rumah dan kantor Kosindo pun Zeid tak pernah ada. "Saya siap bersaksi di polisi," ujarnya tak mau disalahkan. Zeid memang sulit ditemui. Berkali-kali reporter koran ini mendatangi rumah sekaligus kantor Kosindo di kawasan Perdatam, Kalibata, ia tak pernah tampak. Effendi Jusuf, yang menugasi Tri merekrut para calon TKI, pun lepas tangan. Ia mengaku tak tahu-menahu bahwa masalah rekrutmen calon TKI itu bermasalah. "Nanti akan saya minta laporan dari Pak Zeid kenapa bisa seperti itu," ujarnya. Baru Kamis siang pekan lalu, Zeid akhirnya menghubungi Tempo melalui telepon. Pria keturunan Arab bermarga Alatas itu berkeras menolak disebut penipu. Kalaupun para calon TKI yang telah menyetorkan uang tak kunjung berangkat, kata Zeid, itu karena perusahaan-perusahaan Korea membatalkan kontrak sepihak. "Mereka kesulitan akibat krisis keuangan global," ujarnya. Faktor lainnya, dari seratusan orang yang telah menyetorkan uang, cuma 20 orang yang telah memiliki visa untuk bisa bekerja di Korea. "Selebihnya mengundurkan diri," ujarnya. Pendek kata, Zeid berkeras apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan prosedur. Namun, ia berjanji akan mengembalikan biaya yang telah disetorkan para calon TKI. ? JANJI KOSONG BROKER TKI KE KOREA Restu Berbuah Perkara Telunjuk Haris Aritonang kini mengarah ke M. Jumhur Hidayat. Kuasa hukum lebih dari 100 calon tenaga kerja Indonesia ke Korea Selatan yang tergabung dalam Paguyuban Persatuan Tenaga Kerja Wijaya Kusuma ini meminta Jumhur tak lepas tangan. Jumhur dinilai mesti ikut bertanggung jawab atas meruyaknya kasus dugaan penipuan terhadap ratusan calon tenaga kerja Indonesia ke Korea yang kini tengah disidik Kepolisian. Selaku Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, menurut Haris, Jumhur telah memberikan rekomendasi kepada Yayasan Persada Nusantara dan PT Kosindo, dua perusahaan jasa penyalur tenaga kerja ke Korea. Restu Jumhur kepada Kosindo keluar pada 2 Juli 2008. "Kami mendukung kegiatan penyeleksian yang akan dilakukan oleh tenagatenaga ahli dari Korea," tulis Jumhur dalam surat persetujuan. Restunya inilah yang kini dipersoalkan. Sebab, sejak dua tahun lalu, penempatan tenaga kerja ke Korea Selatan ternyata harus didasarkan pada persetujuan pemerintah kedua negara alias G to G. Biayanya sekitar Rp 5,5 juta per orang, mencakup biaya pelatihan, visa, hingga tiket pergi-pulang Jakarta-Seoul. Dengan program G to G, otomatis tertutup peluang bagi swasta mengirimkan calon tenaga kerja ke Korea. Karena itu, "Jumhur seharusnya menegur Kosindo karena menyalahi aturan," ujarnya, "bukan malah memberikan dukungan." Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Departemen Tenaga Kerja Abdul Malik Harahap mendukung argumen itu. Menurut dia, sebelum ada nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Korea, penempatan tenaga kerja ke Korea memang dilaksanakan melalui sistem pelatihan (industrial trainee system). Pemerintah Korea dalam hal ini menunjuk langsung perusahaan swasta dari berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja di negerinya. Persoalannya, sistem itu ditengarai meningkatkan jumlah tenaga kerja ilegal. Untuk membendungnya, "Pemerintah Korea kemudian mengeluarkan kebijakan penempatan tenaga kerja berdasarkan perjanjian antarnegara," ujar Abdul Malik. Apa kata Jumhur? Dia pun bergeming, dan mengatakan tak ada yang salah pada kebijakannya. Peraturan G to G, kata dia, hanya berlaku buat tenaga kerja semi-terlatih. Mereka disyaratkan minimal lulusan sekolah menengah pertama, bisa berbahasa Korea, dan bisa berangkat ke sana. Nah, kalau pihak Korea butuh tenaga terlatih atau high skilled, seperti suster atau perawat dan tukang las, "Itu tidak termasuk dalam aturan tersebut," tuturnya. Apa pun kata Jumhur, yang jelas ratusan calon tenaga kerja Indonesia hingga kini tak bisa menguras keringat di Korea. Dua instansi berselisih, tenaga kerja apes di tengah tengah.? JUMHUR HIDAYAT: Semua Orang Bisa Menjual SayaSejak dilantik sebagai pemimpin Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada 11 Januari 2007, M. Jumhur Hidayat mengklaim telah melakukan sejumlah gebrakan untuk memperbaiki nasib tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Namun, gara-gara rekomendasinya kepada Yayasan Persada Nusantara dan PT Kosindo, ia kini ikut terbelit urusan kasus dugaan penipuan terhadap ratusan calon tenaga kerja Indonesia ke Korea. Setelah menyaksikan grand final Idola Cilik di Mega Glodok Kemayoran, Sabtu dua pekan lalu, lelaki yang biasa disapa Dince itu memberikan penjelasan kepada Tempo. yang sudah Anda lakukan selama memimpin BNP2TKI? Dari kajian atas berbagai persoalan terkait dengan TKI, saya simpulkan telah terjadi eksploitasi sistematis terhadap tenaga kerja sejak di dalam hingga di luar negeri. Dari mengedukasi, merekrut, memeriksa kesehatan, melatih, sampai berada di luar negeri. Semua menjadi sistem yang mengeksploitasi mereka. Ini dibiarkan oleh negara selama puluhan tahun. Semua itu saya benahi satu-satu. Contoh konkretnya? Gaji TKI di Timur Tengah selama 20 tahun lebih tidak pernah naik, cuma 600 riyal per bulan. Mereka berdalih, karena harga air minum kemasan maupun rokok di Arab Saudi sejak 1980-an hingga sekarang tetap 1 dan 5 riyal. Jadi tidak ada inflasi. Kedengarannya logis. Tapi saya ini ibarat buaya yang tentu lebih canggih dari kadal. Saya katakan kepada mereka, coba cek pendapatan per kapita masyarakat Saudi dibanding 20 tahun lalu. Akhirnya, sejak 2007 upah TKI naik menjadi 800 riyal. Di Singapura, naik dari Sin$ 280 jadi Sin$ 350 per bulan. Perbaikan internal? Pemeriksaan kesehatan calon TKI yang terjadi selama ini adalah jual-beli sertifikat. Norma-norma dari Departemen Kesehatan dilanggar. Untuk mengatasinya, kami pakai sistem sidik jari, sehingga mereka tidak bisa lagi main-main. Juga soal pelatihan. Yang datang ke balai latihan kerja itu sebelumnya bukan orangnya, cuma daftar nama, lalu dicap. Secara formalitas, orang itu dinyatakan sudah dilatih. Padahal dia belum dilatih. Puluhan ribu orang setiap bulan diberangkatkan ke luar negeri tanpa dilatih secara layak. Sekarang 50 persen Balai swasta saya nyatakan tidak boleh beroperasi sebelum memenuhi standar pemerintah. Semua gebrakan itu menimbulkan perlawanan luar biasa. Mereka menghantam saya dari belakang, menolkan fungsi BNP2TKI lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 22 Tahun 2008. Saya tidak boleh lagi bersentuhan dengan penyalur jasa TKI dan hanya mengurus TKI yang masuk skema kerja sama antarpemerintah. Padahal jumlah G to G ke Korea dan Jepang cuma 30 ribu. Kalau sudah G to G, seperti Korea, bukankah swasta tak boleh ikut? Dengan Korea itu sekarang memang kerja sama G to G. Tapi Korea juga memiliki sistem lain, non-G to G, apabila TKI-nya masuk kategori terlatih. TKI yang dikirim ke Korea dengan skema G to G, dalam tanda kutip, yang masuk kategori unskilled atau semi-skilled. Mereka disyaratkan minimal lulusan SMP, bisa berbahasa Korea, dan bisa berangkat ke sana. Nah, kalau sekarang mereka butuh suster atau perawat, welder atau tukang las, yang sifatnya skilled atau high skilled, itu tidak termasuk dalam sistem ini (non-G to G). Jadi, tidak termasuk G to G? Ya. Ada istilahnya visa E-7. Ini yang merupakan peluang untuk kami dorong. Apa dasarnya? Itu aturan internal di Korea. Kalau, misalnya, di sana butuh tenaga konstruksi, dia boleh meminta, tapi dapat endorsement dari Departemen Pekerjaan Umum Korea. Kalau butuh suster, dia harus dapat persetujuan dari Departemen Kesehatan di sana. Jadi, kalau ada yang berminat sih, saya senang, akan saya dorong. Itu sebabnya Anda memberi rekomendasi kepada PT Kosindo? Jadi begini, saya mendorong siapa pun yang mau. Semua orang bisa menjual saya. Maaf, ya, Anda duduk bersebelahan sama saya di hadapan calon TKI ke Korea. Kemudian kita berpisah. Anda pergi ke dia, minta Rp 25 juta per kepala. Ada 1.000 orang atau 100 orang. Dalam 1 kali 24 jam, Anda pasti dikasih (uang). Tanggung jawab BNP2TKI jika ada yang tertipu? Oh, kami tangkap. Begitu dapat kabar, langsung kami kejar bersama polisi dan kami tangkap. Tapi korban Kosindo melapor ke polisi karena tak pernah direspons BNP2TKI? Hati-hati. Itu kami sudah siap tangkap. Tapi begitu kami mau tangkap, TKI-nya tidak mau. Karena dia mau uangnya kembali dulu. ? [Non-text portions of this message have been removed]