http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2009061204580816

      Jum'at, 12 Juni 2009 
     
      BURAS
     
     
     
     
Sikap Antikemanusiaan Pemimpin! 

       
      H. Bambang Eka Wijaya





      "MENGERIKAN!" entak Umar. "Meski bencana busung lapar diberitakan dengan 
judul berhuruf besar, 68 balita dari berbagai penjuru Lampung jadi korban, 
puluhan balita lain diwawat di sejumlah RSUD--di RSUAM saja 10 bocah--sebagai 
puncak gunung es kritisnya gejala gizi buruk di daerah ini, tak ada pemimpin 
formal maupun nonformal berinisiatif menggelar gerakan darurat mengatasinya! 
Yang menonjol justru bentakan membantah--di wilayah tanggung jawabnya tidak ada 
gizi buruk, apalagi busung lapar!"

      "Itu mencerminkan adanya kecenderungan sikap antikemanusiaan pada 
sementara pemimpin di daerah ini hingga alergi pada tuntutan simpati--apalagi 
tanggung jawab--terhadap hal-hal terkait masalah kemanusiaan!" sambut Amir. 
"Bukti alergi dimaksud tampak pada nasib Sukriya, salah seorang korban bencana 
busung lapar itu, setengah bulan berbaring koma di RSUAM tak seorang pun 
pemimpin formal atau nonformal menjenguknya!"

      "Padahal mampir sejenak, bicara sepatah dua dengan orang tuanya, sudah 
memberi dukungan moral yang amat berarti bagi keluarga Sukriya!" timpal Umar. 
"Lebih baik lagi kalau bisa memberi bantuan buat belanja selama menunggui 
anaknya di RS. Tapi kenapa sikap demikian bisa menggejala pada sementara 
pemimpin kita?"

      "Mungkin faktor orientasi yang mendominasi sikap para pemimpin itu!" 
tukas Amir. "Dan itu, orientasi pada kekuasaan yang melampaui 
ubun-ubun--sehingga hal-hal yang tidak punya kaitan dengan power building, 
konon pula bisa menodai kemulusan kekuasaannya, harus dijauhi! Itu membuat 
nasib Sukriya dan kawan-kawannya korban letusan bencana busung lapar jadi lebih 
malang lagi karena penderitaan mereka dinafikan adanya oleh kalangan pemimpin!"

      "Meski demikian, usaha mengurangi keseriusan gejala ini tetap perlu 
didorong!" timpal Umar. "Usaha itu bisa dilakukan dengan mengaktifkan seluruh 
posyandu di semua RW dan lingkungan, dengan meningkatkan tiga kali lipat 
anggaran untuk asupan tambahan! Hitungannya, kalau dengan asupan sekali sepekan 
masih meletuskan bencana, mungkin dengan dua kali sepekan baru mencapai statis 
atau seimbang dengan tekanan gejalanya! Jadi, untuk menurunkan gejalanya, harus 
tiga kali sepekan!"

      "Sebenarnya anggaran posyandu itu relatif kecil, apalagi dibanding dengan 
dana pos bantuan di APBD Provinsi Lampung yang per tahun bisa lebih Rp100 
miliar!" tegas Amir. "Ketimbang dana pos bantuan dihabiskan ke arah tak jelas, 
lebih baik sebagian dialihkan untuk meningkatkan tiga kali lipat dana asupan 
tambahan posyandu! Itu bisa menjadi usaha nyata mengatasi gejala gizi buruk, 
ketimbang kewalahan membantah setiap gejala gizi buruk meletus jadi busung 
lapar!" ***

      ++++

      http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2009061005053717



            Rabu, 10 Juni 2009 
           
            BURAS 
           
           
           
      Busung Lapar, Klimaks Gizi Buruk! 


             
            H. Bambang Eka Wijaya

            "KORAN mendaur ulang istilah busung lapar buat gizi buruk stadium 
fatal!" ujar Umar. "Kenapa?"

            "Busung lapar bahasa rakyat! Ia berfungsi hard warning untuk cepat 
menolong penderitanya!" sambut Amir. "Tapi istilah busung lapar membuat gerah 
pejabat era Orde Baru, maka dihaluskan!"

            "Ternyata tak sekadar dihaluskan! Istilah busung lapar dihilangkan 
agar pejabat tak gerah!" timpal Umar. "Jadi tak ada tanda bahaya! Penderita 
telanjur fatal baru dibawa ke RS, seperti Maulana (5) dari Panjang yang 
meninggal dan Sukriya dari Lamtim, dua pekan koma di RS!"

            "Itu konsekuensi penghilangan istilah busung lapar sebagai klimaks 
gizi buruk!" tegas Amir. "Gizi buruk atau malnutrition gejala umum pada balita 
dari keluarga ekonomi lemah, akibat kurang asupan protein dan kalori! 
Kekurangan asupan yang laten bisa mengganggu perkembangan fisik, mental, dan 
kecerdasan anak! Maka itu, saat krisis ekonomi orang khawatir terjadi bencana 
sosial yang berujung lost generation, satu generasi tak punya kemampuan 
standar!"

            "Untuk mencegah gizi balita memburuk kan ada posyandu di setiap 
RW!" sela Umar.

            "Peran posyandu besar dalam mengendalikan gizi buruk balita agar 
tidak kritis!" tegas Amir. "Meski, tak semua balita terjangkau! Misal, pada 
hari dan jam yang ditentukan ibunya tak di rumah, sedang memulung! Untuk itu 
diharap petugas posyandu proaktif mengantar asupan ke tempat mereka!"

            "Kalau tak dapat asupan tambahan, gejala kritis balita gizi buruk 
seperti apa?" kejar Umar.

            "Dua gejala menjurus kritis harus diwaspadai, maramus dan 
kwasiorkor!" jelas Amir. "Menurut Kamus Kedokteran Dorland, maramus berasal 
dari bahasa Yunani marasmos, artinya menuju kematian! Maramus, kekurangan 
protein dan kalori, ditandai gangguan pertumbuhan serta mengurusnya lemak bawah 
kulit dan otot secara progresif. Namun, biasanya masih ada nafsu makan dan 
kesadaran mental. Infeksi, gangguan saluran pernapasan atau lain bisa jadi 
faktor pencetus!"

            "Satunya lagi yang susah namanya?" kejar Umar.

            "Kwasiorkor!" tegas Amir. "Ini nama tempat anak telantar di pantai 
Afrika, pertama dilaporkan jenis sindromnya, yang menyebar ke wilayah tropis 
dan subtropis! Ini sindrom defisiensi protein berat, dicirikan oleh hambatan 
pertumbuhan, perubahan pigmen rambut dan kulit, dan patologi pada hati! Temuan 
lain, anak apatis, cengeng, gangguan saluran cerna, pankreas mengecil! Kedua 
jenis gejala busung lapar itu bisa join--komplikasi--menjadi sindrom 
marasmic-kwashiorkor, defisiensi kalori dan protein dengan penyusutan jaringan 
pesat, lemak subkutan hilang, dan dehidrasi!"

            "Kalau sindrom busung lapar mematikan, buat apa dihaluskan hanya 
agar pejabat tenang?" entak Umar. "Justru harus dibuat istilah lebih seram, 
agar lebih cepat diberi perhatian!" **
           


     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke