;-)) ada joke lain: Ada rahasia mengapa TNI tidak pernah memberikan tembakan peringatan ke kapal-kapal Malaysia. Hal itu bukan karena menjaga hubungan baik dan rukun dengan saudara serumpun, tapi karena masalah teknis, yaitu: takut niatnya membuat tembakan peringatan, tapi malah kena....
;-)) ----- Original Message ----- From: Lina Dahlan To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Monday, June 15, 2009 6:21 PM Subject: [wanita-muslimah] Re: Kalah sebelum Berperang + Drama Kecelakaan Pesawat TNI Saya lagi mbayangin kalo Indo jadi perang sama Malay. Gak usah diapa-apain, diplototin aje deh, pesawat tempur Indo juga bakal jatuh sendiri...:-)) Ssst ntar dimarahin JK neh. Mending dukung perang mulutnya Hotman Paris (Indo) and Sobri (Malay)aja deh. wassalam, --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "sunny" <am...@...> wrote: > > Jawa Pos > [ Senin, 15 Juni 2009 ] > > Kalah sebelum Berperang > > > PEMERINTAH RI saat ini dipusingkan dengan masalah Ambalat yang dapat mengganggu kedaulatan NKRI. Banyak lontaran dari masyarakat agar kita mempertahankan harga diri bangsa. Tujuannya, kita tidak diremehkan oleh bangsa lain. Kelompok itu menginginkan, kalau masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi, berperang adalah jalan terakhir untuk memperingatkan Malaysia. > > Hanya, yang jadi pertanyaan, bagaimana itu bisa kita lakukan? Pesawat tempur kita sudah tua dan banyak yang jatuh. Berapa lagi korban yang akan jatuh jika perang dilakukan? Pada 2009 saja sudah lima pesawat TNI yang jatuh sendiri, padahal perang belum dimulai! Harapan saya, semoga tragedi jatuhnya pesawat TNI pada 12 Juni lalu menjadi kecelakaan terakhir dan perang pun tidak terjadi. > > ALFIAN, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sains Universitas Wijaya Kusuma Surabaya > > ++++ > > Jawa Pos > [ Senin, 15 Juni 2009 ] > > > Drama Kecelakaan Pesawat TNI > Oleh: M. Sanusi > > > Berselang empat hari dari jatuhnya helikopter Bolkow 105 di Cianjur, Jumat siang 12 Juni 2009 helikopter jenis Puma SA-330 milik TNI Angkatan Udara (AU) kembali jatuh dan menewaskan sedikitnya lima di antara tujuh orang penumpangnya. Peristiwa itu merupakan kecelakaan pesawat militer ketujuh dalam empat bulan terakhir, yang menewaskan 84 personel TNI dalam rentang Maret hingga Juni 2009. > > Menyikapi drama kecelakaan pesawat TNI tersebut, segudang pertanyaan dan setumpuk keprihatinan seketika memenuhi pikiran dan perasaan masyarakat Indonesia. Ada apa pesawat TNI? Siapa yang bertanggung jawab terhadap sekian peristiwa nahas itu? > > Pertanyaan pertama mengacu kepada situasi buruk yang menimpa tiga matra angkatan, yaitu Angkatan Darat (AD) Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU), secara khusus dan TNI secara umum. Pertanyaan kedua mengacu kepada pemerintah dan lembaga yang selama ini diserahi tugas mengelola urusan pertahanan dan keamanan. Jika pertanyaan pertama terjawab, tidak bisa dihindarkan pertanyaan yang kedua juga bisa disingkap. > > Peristiwa kecelakaan di landasan helikopter Markas Besar Komando Lanud Atang Sendjaja, Kabupaten Bogor, itu bisa jadi hanya fenomena gunung es dari kondisi sebenarnya yang terjadi di TNI. Jika benar, alangkah buruknya sistem pertahanan dan keamanan di Indonesia. Jangankan bisa membela negara Indonesia dari serangan luar, mengatasi serangan dari dalam berupa kerusakan dan kecelakaan saja sudah tidak sanggup. Untuk itulah, kita harus mencari penyebab paling signifikan dari serentetan persitiwa nahas yang terjadi tersebut. > > Berbagai Persoalan > > Pertama, yang penting disorot adalah alokasi anggaran. Pemerintah melalui Departemen Pertahanan terbilang minim dalam masalah alokasi anggaran. Menurut Direktur Eksekutif Institute of Defense and Security Study sekaligus penulis buku Defending Indonesia Connie Rahakundini Bakrie, anggaran pertahanan Indonesia adalah yang terkecil di ASEAN. Anggaran pertahanan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 hanya 0,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan USD 3,3 miliar. > > Fakta itu menjadikan Indonesia sebagai negara berwilayah besar dengan anggaran pertahanan terendah di ASEAN setelah Laos (0,4 persen dari PDB), Kamboja (1,4 persen dari PDB), apalagi jika dibandingkan dengan Vietnam (6,3 persen dari PDB), atau Singapura (7,6 persen dari PDB). (Majalah Tempo/Mei 2009) > > Minimnya anggaran tersebut berdampak pada poin kesalahan yang kedua, yakni kebiasaan untuk mendaur ulang alat-alat yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan operasional yang layak. Poin itu merupakan penyebab signifikan dari terjadinya kecelakaan pesawat, sekaligus akibat langsung dari keterbatasan anggaran. > > Diketahui, pesawat Puma SA-330 yang jatuh kemarin (12 Juni 2009, Red) sebenarnya telah dinyatakan rusak permanen (total loss) oleh TNI-AU. Artinya, pesawat itu sudah tidak bisa digunakan lagi. Pertanyataan itu dikeluarkan oleh Panglima Komando Operasi TNI Satu Marsekal Muda Imam Safaat di Bandung (12/6). Meski hasil penyelidikan dan investigasi masih berlanjut, minimal jelaslah persoalan bahwa kecelakaan terjadi bukan karena semata-mata ''takdir'' seperti yang pernah dinyatakan menteri pertahanan RI, tapi lebih dari itu, yakni unsur perawatan yang memang sangat penting untuk menjaga daya operasional alutsista (alat utama sistem pertahanan) dikerjakan dengan amat sewenang-wenang dengan tanpa memperhatikan standar keamanan dan keselamatan. > > Faktor ketiga -dan, inilah sebenarnya akar dari sekian persoalan yang mendera TNI- adalah persoalan regulasi yang cenderung irasional dan minim pertimbangan. Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Indonesia tidak menyertakan potensi ancaman 25 tahun mendatang dalam tiap pembahasan anggaran pertahanan. Hal itu disebabkan penekanan yang besar terhadap bidang perokonomian dan sosial. Padalah, dalam praktiknya, pembangunan ekonomi dan militer merupakan dua garis sejajar yang sama penting. > > Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa TNI bertugas menangani masalah eksternal yang memerlukan kekuatan angkatan bersenjata yang berorientasi outward looking. Itu artinya, kekuatan TNI-AL dan TNI-AU yang profesional, kuat, siap, dan menang perang harus diupayakan. > > Tapi, kontradiksi terjadi ketika melihat pasal 25 UU tersebut yang menyatakan bahwa TNI harus menerima anggaran yang ditetapkan dalam APBN, berapa pun jumlahnya. Bagaimana mungkin meremajakan dan membangun kemampuan TNI yang kuat kalau regulasinya kontradiktif. Satu sisi dituntut untuk melakukan militarizing our military, di sisi lain anggaran dibatasi dan harus tunduk kepada ketetapan APBN, yang ketetapannya bergantung kepada kebutuhan serta situasi dan kondisi yang berjalan. > > Berbeda, misalnya, dengan KPU yang melaksanakan proses demokrasi tanpa batasan anggaran sehingga memberikan keleluasaan kepada aparatnya untuk bekerja. Dalam kondisi seperti itu, hasil optimal KPU merupakan kewajiban, sementara hasil optimal dalam urusan hankam adalah mukjizat yang sulit dicapai. > > Itulah sedikit gambaran tentang betapa buruknya keadaan yang dialami TNI selama ini, yang semakin menjelaskan betapa potensi ancaman terhadap keselamtan dan keamanan TNI sendiri amat riskan untuk masa-masa mendatang. Bagaimana mungkin TNI melakukan tugas pengamanan jika keadaaan internal sudah tidak aman? > > Karena itu, ke depan agenda yang mendesak untuk dilakukan pemerintah adalah solusi konkret, bukan sekadar imbauan, larangan, atau peringatan. Tapi lebih dari itu, instruksi langsung yang mengarah kepada problem solver, seperti penyediaan dana darurat untuk memutus mata rantai kecelakaan pesawat dan peralatan lainnya. (*) > > *Peneliti pada CSDS (Central for Social dan Democracy Studies) UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta > > [Non-text portions of this message have been removed] > [Non-text portions of this message have been removed]