http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=8636
2009-06-16 Capres-cawapres dan Pelanggaran HAM Hendardi Pemilihan presiden (pilpres) telah menjelang. Tiga pasang calon presiden dan wakil presiden, Megawati-Prabowo (Mega-Pro), Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY-Berbudi), dan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win), tengah melaksanakan kampanye. Sejumlah lembaga survei telah membeberkan hasilnya, baik yang merupakan pesanan maupun yang independen. Di tengah sibuk berkeliling, menghitung, dan mempromosikan angka-angka, masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat, kejahatan berencana, dan kemanusiaan, terlupakan. Masa pemilu legislatif (pileg) dan pilpres, selalu menjadi ajang menabur janji para calon. Mereka mematut-matut diri dan bersolek untuk dipajang di poster, spanduk, dan baliho, menjulang-julangkan citra politik yang bersih, merasa yang paling hebat, dan dekat di hati rakyat yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi. Masalahnya, taburan janji tak gampang menyembul sebagai tunas-tunas yang berkembang untuk kelak dapat dipetik oleh rakyat yang menerima janji. Begitu juga, memoles dan berdandan untuk mengagungkan citra, yang mengesankan seolah-olah sedang terbang tinggi dengan gagah. Ketika taburan janji dan polesan citra didekati dengan kenyataan ekonomi, politik, dan sosial, maka tampak jutaan orang menganggur, para pekerja tanpa upah yang layak, warga tanpa rumah dan mereka yang menderita karena penggusuran, nelayan kesulitan solar, anak putus sekolah, gizi buruk, atau korban lumpur Lapindo. Mereka pun akan gampang mengelak jika didekati dengan tanggung jawab atas berbagai pelanggaran dan kejahatan HAM, bukan hanya dari 20-an tahun lalu, melainkan juga rangkaian sejak reformasi hingga kini. Banyaknya kasus intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan dalam beberapa tahun terakhir menampakkan realitas masa kini yang buram. Dan yang terbaru kasus Prita, yang menampakkan wajah hukum UU ITE dan perilaku penegak hukum yang memenjarakan kebebasan berpendapat. Perlu diluruskan terlebih dulu, setiap pelanggaran HAM, baik karena pembiaran maupun tindakan adalah tanggung jawab negara, karena hukum hak asasi manusia adalah hukum perjanjian (perdata internasional), bukan hukum pidana. Tapi, kejahatan berencana yang diorganisasikan secara politik, kerap menjadi bagian dari sejarah politik di Indonesia. Lebih mengerikan lagi, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang pernah berlangsung di Indonesia. Masalahnya kemudian, semuanya berlalu dengan pembebasan dari hukuman (impunity). Tanggung jawab negara atas pelanggaran HAM berat seharusnya dapat dibuka dengan menggelar pengadilan yang kredibel dan imparsial, sehingga orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab dapat dihukum. Tapi, inilah yang gagal ditunaikan. Bahkan, banyak korban atau keluarganya tak mendapatkan kompensasi apa pun. Sebut saja kasus penculikan atau penghilangan orang secara paksa, 1997-1998. Beberapa korban masih belum ditemukan. Jika korban diduga meninggal, kuburannya pun tak jua terlacak. Berangkai dengan itu adalah kejahatan "menciptakan instabilitas politik" yang lebih dikenal sebagai Tragedi Mei 1998, tapi kenyataannya tanggung jawab negara kembali gagal menggelar sebuah pengadilan, sehingga mereka yang merancang "kerusuhan" selalu saja lolos dari pengadilan. Begitu juga kejahatan kemanusiaan di Timor Timur, sebelum dan setelah jajak pendapat pada 1999. Pengadilan ad hoc yang dibentuk berdasarkan UU No. 26/2000 justru telah gagal menghukum banyak dari mereka yang terlibat dan bertanggung jawab. Kejahatan yang sama diduga terjadi di Aceh, baik masa DOM (1989-1998) maupun Darurat Militer 2003, yang nyatanya juga gagal meminta pertanggungjawaban. Mengikuti pengalaman sebelumnya, maka dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Munir (2004), kendati proses peradilan belum tuntas, hanya dihukum seorang pelaku. Selebihnya, hanyalah petunjuk mengenai kegagalan penegak hukum dan pengadilan. Belakangan, banyak teror dan intimidasi dalam pertaliannya dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan. Kasus 1 Juni 2008 di Monas (AKKBB), bagaimana kelengahan aparat kepolisian tak pernah dipertanggungjawabkan. Kasus perusakan dan pembakaran masjid, juga gereja, tak jelas proses hukumnya. Namun lucunya, sebagian capres dan cawapres sekarang rajin menyambangi organisasi-organisasi keagamaan, seperti bertandang ke KWI, PGI, dan lainnya. Seolah-olah mereka peduli kebebasan beragama. Padahal, apa yang mereka lakukan untuk kebebasan beragama di Indonesia selama ini? Capres-cawapres seharusnya bersikap lebih jujur atas derita sebagian orang -korban pelanggaran HAM dan kejahatan berlatar politik- yang tak pernah dipulihkan. Begitu juga pengabaian atas hak-hak mereka yang lemah. Sebaiknya, mereka lebih bisa becermin dan tidak tiba-tiba saja gampang terbang tinggi untuk dipanggungkan sebagai pejuang kaum yang lemah. Penulis adalah Ketua Badan Pengurus Setara Institute [Non-text portions of this message have been removed]