Jawa Pos
[ Jum'at, 19 Juni 2009 ] 

Djoko Tjandra Kabur ke Papua Nugini 
Kejagung Meminta Djoko Tjandra Menyerah 


JAKARTA - Aparat kejaksaan harus bekerja ekstra keras untuk mengeksekusi Djoko 
Sugiarto Tjandra, terpidana kasus korupsi dana hak tagih (cessie) Bank Bali Rp 
546 miliar. Bos Grup Mulia itu tidak lagi berada di Indonesia, namun 
bersembunyi di Papua Nugini. 

Djoko pergi ke Port Moresby, Papua Nugini, menggunakan pesawat carter dari 
operator Tag Avia dengan nomor penerbangan CL604. Dia berangkat 10 Juni atau 
sehari menjelang Mahkamah Agung (MA) memutus peninjauan kembali (PK) kasusnya. 
Pengusaha yang pernah disebut Artalyta Suryani alias Ayin dengan nama Joker itu 
terbang melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, bersama dua rekannya. 
Djoko pergi dengan menggunakan paspor bernomor P 806888.

''Dia (Djoko) pergi dua hari setelah putusan PK Syahril Sabirin dan sehari 
sebelum putusan PK atas nama Djoko Tjandra (keluar),'' kata Kapuspenkum 
Kejagung Jasman Pandjaitan menyampaikan informasi tentang Djoko Tjandra tadi 
malam. 

Putusan PK keduanya disampaikan Mahkamah Agung dalam keterangan pers pada Kamis 
(11/6). Namun, Jasman tak mau berspekulasi apakah Djoko telah mendapatkan 
informasi lebih awal tentang putusan PK Syahril. ''Langkah selanjutnya belum 
bisa dipastikan. Informasi baru kami terima,'' ujar mantan kepala Kejaksaan 
Negeri Jakarta Timur itu.

Djoko seharusnya sudah meringkuk di sel Lapas Cipinang bersama terpidana lain, 
yakni mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin. Syahril sendiri 
memilih kooperatif dengan memenuhi panggilan kejaksaan sekaligus bersedia 
dieksekusi pada 16 Juni lalu. 

Tim jaksa sebelumnya berusaha mengawasi gerak-gerik Djoko. Termasuk mendatangi 
rumah mewahnya di kawasan Simprug Golf, Jakarta Selatan, yang ternyata kosong.

Saat Djoko berada di Papua Nugini, kuasa hukumnya, O.C. Kaligis, meminta 
penundaan eksekusi. Permintaan itu terungkap dari surat yang dikirim melalui 
Kejari Jakarta Selatan. ''Tapi, tidak tahu sampai kapan (penundaannya),'' kata 
Jasman.

Djoko merupakan terpidana kasus Bank Bali yang diputus dua tahun penjara dalam 
putusan PK. Pemohon PK adalah kejaksaan. Dalam amar putusan, pemilik Hotel 
Mulia itu juga diharuskan untuk membayar denda Rp 15 juta subsider 3 bulan. 
Djoko tidak sendiri. MA sebelumnya juga memberikan hukuman yang sama kepada 
Syahril Sabirin.

Di tempat terpisah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy 
mengatakan, berdasar informasi yang diperoleh sebelumnya, tidak ada di catatan 
Imigrasi bahwa Djoko bepergian ke luar negeri. Namun, Marwan berpendapat, Djoko 
belakangan berada di luar negeri. ''Dia menggunakan jalur-jalur tradisional,'' 
kata Marwan di gedung Kejagung kemarin.

Dia memperkirakan, Djoko menjadikan dua negara sebagai tujuan kepergiannya ke 
luar negeri. Yaitu, Papua Nugini dan Singapura. Alasan itu didasari adanya 
saudara Djoko yang tinggal di sana. Selain itu, alasan bisnis yang dilakukan 
Djoko di dua negara tetangga Indonesia itu menjadi pertimbangan. ''Kami tetap 
melacak di mana keluarganya,'' jelas mantan Kapusdiklat Kejagung itu.

Hingga kini, kejaksaan memberikan waktu bagi Djoko untuk memenuhi panggilan 
kedua yang dijadwalkan Senin (22/6). ''Kalau mentok usaha kami, (penanganannya) 
akan diserahkan ke tim pemburu koruptor,'' urai Marwan.

Hingga kini, kejaksaan memberikan waktu bagi Djoko untuk memenuhi panggilan 
kedua yang dijadwalkan Senin (22/6). ''Kalau mentok usaha kami, (penanganannya) 
akan diserahkan ke tim pemburu koruptor,'' urai Marwan.

Terkait dengan uang Rp 546 miliar, Marwan menegaskan, sesuai de­ngan putusan 
MA, uang tersebut dirampas untuk negara. Pihaknya sudah memerintah tim untuk 
me­lakukan penjajakan terhadap Bank Permata, tempat uang itu disimpan dalam 
rekening penampungan. "Kalau (Bank Permata) tidak mau, ada instrumen hukumnya. 
Bisa di­kenai pasal penggelapan karena statusnya titipan," tegas mantan kepala 
Kejaksaan Tinggi Jatim itu.

Terpisah, Direktur Penyidikan Direktorat Jenderal Imigrasi Muchdor mengakui 
bahwa Kejagung telah meminta pihaknya untuk mencegah keluarnya Djoko Tjandra di 
pintu pemeriksaan imigrasi. Namun, permintaan itu diajukan mulai 11 Juni 2009. 
"Sampai tanggal 18 tidak ada nama Djoko Tjandra yang ke luar negeri di data 
kami," ujarnya. 

Muchdor mengaku mencari da­ta Djoko Tjandra itu di 25 pin­tu pemeriksaan 
imigrasi yang ter­sebar di seluruh tanah air. "Ka­mi juga mengecek di lima 
pintu pemeriksaan yang besar. (Di sana) nama Djoko tidak tercatat," ungkapnya. 
Namun, apabila melalui pintu ilegal, imigrasi mengaku kesulitan mengawasi. 
"Karena wilayah negara kita amat luas," terangnya. 

Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana 
menduga, kaburnya Djoko pada 10/6 disebabkan dia sudah mendapatkan informasi 
soal keluarnya putusan peninjauan kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA). Waktu 
itu, Djoko masih bebas ke luar negeri karena statusnya belum terpidana. "Kalau 
perginya bulan Mei, masih sulit mengaitkan dengan putusan. Ini sehari sebelum 
putusan keluar. Bisa jadi, dia dapat informasi entah dari mana," terangnya. 

Secara terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Susno Duadji 
menyatakan siap membantu upaya kejaksaan menangkap Djoko. "Kita juga cari," 
ujar jenderal bintang tiga itu di kantornya kemarin. Apakah sudah ada 
permintaan resmi dari Kejagung? Susno menggeleng. "Tapi, kita tahu soal itu," 
kata mantan Kapolda Jawa Barat tersebut. 

Berdasar informasi yang dihimpun koran ini, sejumlah penyidik Direktorat 
II/Ekonomi Khusus sudah diberi brifing untuk me­nang­kap Djoko. Namun, mereka 
belum bergerak karena polisi tak ingin melangkahi kejaksaan. Tan­pa permintaan 
surat resmi un­tuk operasi bersama, penyidik kepolisian tidak mungkin 
mela­kukan langkah inisiatif. Yang sudah dilakukan adalah berkoordinasi dengan 
Interpol karena sekretariat NCB Interpol saat ini dipegang polisi, yakni 
Brigjen Halba Rubis Nugroho. 

Djoko Tjandra merupakan pe­ng­usaha kelahiran Sanggau, 27 Agustus 1950. Dekade 
1990-an, Grup Mulia makin moncer saat dipe­gang Djoko. Bapak empat anak yang 
pintar ngomong itu menjadi komandan utama pada kepemilikan properti perkantoran 
seperti Five Pillars Office Park, Lippo Life Building, Kuningan Tower, BRI II, 
dan Mulia Center. 

Grup Mulia menaungi 41 anak perusahaan di dalam dan luar ne­geri. Selain 
properti, grup yang pada 1998 memiliki aset Rp11,5 triliun itu merambah sektor 
keramik, metal, dan gelas.

Djoko juga dikenal sebagai bos PT EGP. Yakni, sebuah perusahaan yang didirikan 
Djoko dan to­koh Golkar Setya Novanto. Da­lam kasus cessie Bank Bali, Djoko 
dibebaskan dari segala tuntutan di tingkat pengadilan negeri. Lalu, akhir 2001, 
MA membebaskan dia dari keterlibatan kasus Bank Bali. Pengusaha itu dibebaskan 
dari dugaan melakukan suap dalam pencairan piutang Bank Bali. 

Nama Djoko juga dikenal sebagai Joker. Hal itu terungkap dalam percakapan 
antara Artalyta Suryani dengan Kemas Yahya Rahman semasa menjabat jaksa agung 
muda (JAM) pidana khusus. (fal/git/rdl/agm)



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke