Refleksi :  Penguasa negara yang mengizinkan atau membiarkan adanya perbudakan 
pasti memdapat keuntungan, sebab kalau merugikan kepentingan mereka maka  sudah 
tentu mtidak diciptakan atau sudah sejak  lama  mereka tidak izinkan  seperti 
dilarang  pki.

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/06/06/82243/70/13/Perbudakan-Pahlawan-Devisa


Perbudakan Pahlawan Devisa 

27 Juni 2009 00:01 WIB     
Dengan bangga pemerintah memberi mereka julukan pahlawan devisa. Agar 
kepahlawanan mereka memperoleh pengakuan dibeberkan angka devisa yang 
menakjubkan. 

Setiap tahun para pekerja Indonesia di luar negeri yang didominasi oleh 
pembantu rumah tangga menyumbang tidak kurang dari Rp90 triliun atau setara 
dengan 10% APBN. 

Inilah kuantifikasi devisa yang membunuh nurani. Membunuh karena pemerintah 
lama sekali mati rasa terhadap kejahatan kemanusiaan yang menimpa para pahlawan 
devisa itu di luar negeri. 

Kita takut menegakkan harga diri dan martabat hanya karena khawatir kehilangan 
devisa. 
Baru setelah Siti Hajar, pembantu rumah tangga asal Tasikmalaya diseterika dan 
disiksa majikannya di Malaysia sehingga kehilangan bentuk wajah dan perawakan 
yang asli, pemerintah mulai sadar. Itu pun setelah diramaikan media massa 
secara beruntun. 

Kejahatan terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri, terutama di Malaysia 
dan Timur Tengah, banyak, sadis, dan terus berlangsung. Para pembantu rumah 
tangga diperkosa, dianiaya, tidak dibayar gaji, ditahan paspornya, diperbudak 
di rumah-rumah majikan dengan jam kerja yang tidak terbatas dan berbagai bentuk 
diskriminasi lainnya. 

Apakah semua bentuk kekerasan ini belum cukup membangunkan rasa kemanusiaan 
kita terhadap warga bangsa sendiri? Syukurlah pada akhirnya pemerintah 
memutuskan untuk menghentikan sementara pengiriman TKI ke Malaysia mulai 
tanggal 26 Juni kemarin sambil menunggu perubahan nota kesepakatan dengan 
pemerintah di Kuala Lumpur. 

Perbudakan di Amerika dipraktikkan dengan cara memburu manusia di Afrika untuk 
kemudian dipaksakan menjadi buruh di 'Negeri Paman Sam'. Arus kepergian manusia 
Indonesia ke Malaysia dengan berbagai cara--gelap ataupun terang--dan 
dipekerjakan di perkebunan dan rumah tangga dengan berbagai cara pula--tidak 
bisakah disebut sebagai perbudakan modern? 

Perbudakan atas nama devisa? Karena melabrak asas-asas kepatutan kemanusiaan? 
Agak mengherankan bila kita masih saja bangga karena mengirim rata-rata 3.000 
pembantu rumah tangga ke Malaysia setiap bulan. 

Agak mengherankan kita masih saja bangga mengirim pekerja-pekerja dengan 
tingkat pendidikan 70% tamatan SD hingga SMP. Kekerasan yang terjadi terhadap 
TKW Indonesia di Malaysia dan Timur Tengah sesungguhnya bukanlah kekerasan yang 
berdiri sendiri. 

Dia menjadi rangkaian kekerasan yang amat panjang dari perjalanan seorang TKW 
itu sendiri. Sejak dari desa asalnya sampai ke negeri dolar dan ringgit. Bila 
dilihat dengan lebih jernih, bagian terbesar dari penderitaan yang dialami oleh 
seorang TKW justru berada dan terjadi di dalam negeri. Usia mereka dipalsukan. 

Paspor dipalsukan. Ditampung di tempat-tempat penampungan yang jorok dan kejam. 
Ongkos-ongkos yang berlipat ganda. Ditipu di bandara oleh sindikat berseragam. 
Agar pemerasan lebih nyaman, dibangunlah terminal tersendiri bagi keberangkatan 
dan kepergian TKI di Bandara Soekarno-Hatta. 

Di tempat tujuan pun mereka diperas. Ingat bagaimana beberapa pejabat KBRI di 
Kuala Lumpur yang masuk bui karena manipulasi ongkos paspor TKW/TKI. Ketika 
bekerja di perkebunan dan rumah tangga Malaysia, paspor mereka ditahan dan 
sejak saat itu mereka dianggap pendatang ilegal. 

Jadi, sesungguhnya cerita tentang TKI dan TKW kita adalah sebuah drama 
perbudakan modern yang amat panjang dan memilukan. 

Awal perbudakan itu berada di dalam negeri kita sendiri. Karena ketidakmampuan 
negara, yang katanya kaya ini untuk menyejahterakan dan mencerdaskan warganya 
sendiri. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke