http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/rumah-mereka-hanya-sebuah-gerobak/
Senin, 29 Juni 2009 14:35 Rumah Mereka Hanya Sebuah Gerobak JAKARTA - Meski usianya telah mencapai 482 tahun, Jakarta belum menjadi kota yang nyaman bagi warganya untuk dapat meletakkan kepala. Ratusan orang masih hidup nomaden dengan gerobaknya. SH/Deytri Aritonang Mama, Aku Ingin Pulang" adalah lagu yang selalu mereka nyanyikan, tapi tidak akan pernah menjadi kenyataan. Poniman (62) sontak terbangun dari tidur nyenyaknya ketika seseorang membangun-kannya. Matahari baru saja meninggalkan peraduannya. Lalu lintas Ibu Kota sudah mulai padat. Orang itu membangunkannya bukan untuk mengusirnya, tapi agar dia bisa menghindar dari kejaran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Timur yang tengah menertibkan kawasan kota. Masih dalam lelah dan kantuknya, dia bangkit. Lelaki asal Malang, Jawa Timur, ini pun segera keluar dari rumahnya. Matanya masih lebam akibat tidur yang hanya sebentar. Namun, kantuk tidak menghalangi niatnya untuk melaju seribu langkah. Ketika seluruh tubuhnya sudah berada di luar gerobaknya, Poniman menarik "rumah"-nya itu. Ya, rumah Poniman hanya gerobak berukuran 2x1 meter (m) dengan tinggi 1 m. Tidak sampai seratus meter dia melangkah, Poniman berhenti. Pria yang mengaku pernah bekerja sebagai kuli bangunan ini duduk sejenak, mengistirahatkan tubuh kecilnya yang mulai bungkuk. Selang bebe-rapa menit, dia mengambil seduhan jahe yang disimpannya sejak malam. Diseruputnya minuman itu dengan harapan mampu menghangatkan tubuhnya dan memelekkan matanya. Poniman mengusap matanya yang masih kotor. Ia membersihkannya dengan jaket lusuh yang membalut tubuhnya. Tidak lama, ia sadar dia berlari tanpa alas kaki. "Sampai lupa pakai sandal saking takutnya," ujarnya. Dia kembali untuk mengambil sandal. Dengan tangan hitam dan kotor, lelaki tua itu tidak lupa menikmati kue lapis yang didapatnya dari orang yang menaruh belas kasihan padanya. Kebutuhan hidupnya memang kebanyakan dipenuhi dari belas kasihan orang-orang yang mengenalnya. Beberapa orang tidak segan menaruh simpati pada Poniman. Beberapa yang lain barangkali tidak peduli pada keberadaan pemulung yang setiap harinya merebahkan badannya di dalam ge-robaknya itu. Setiap malam dia memarkir gerobaknya di sisi selatan Taman Jatinegara, Jakarta Timur. Sekitar tahun 1950-an, lelaki yang telah bercerai dari istrinya ini memutuskan mencari nafkah di Jakarta. Saat itu, Jakarta-seperti yang didengarnya dari perantau di kampung halamannya-adalah tambang emas. Mengumpulkan rupiah di Ibu Kota bukanlah perkara yang sulit baginya yang saat itu masih muda dan produktif. Bukan cuma di Jakarta, Poniman muda juga sempat melanglang buana, mencoba keberuntungannya hingga Pulau Sumatera, mengerjakan proyek pembangunan jalan. Tidak ada kebutuhan primernya yang tidak tercukupi. Untuk sekadar makan, tinggal, dan berpakaian, ia masih bisa memenuhi dari hasil kerjanya sebagai kuli bangunan. Dia bahkan sesekali dapat mengirim uang ke kampung halamannya. Namun, keberuntungan tidak melulu menjadi garis takdirnya. Krisis moneter tahun 1998 membuat beberapa rencana proyek pembangunan terhenti. Ia tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan. Dia tidak ingin pulang ke kampung halamannya. "Malu," ujarnya lirih. Lagi pula, menurutnya, bagaimana pun sulitnya hidup di Jakarta, masih ada yang bisa dilakukannya untuk menyambung hidupnya. Di Malang, tanpa lahan bertani, ia tidak dapat bekerja. Poniman memutuskan tetap bertahan di Jakarta meski nasibnya terkatung-katung. Hari ini barangkali ia bisa makan, besok belum tentu demikian. Tidur di emperan toko atau di stasiun kereta api menjadi kisahnya setiap hari. Namun, kegetiran itu tidak membuatnya melangkah pulang meski hasratnya untuk kembali begitu besar. Hingga suatu hari, seorang lelaki tua menawarinya sebuah gerobak. Dengan kebingung-annya, diterimanya gerobak itu. Keberuntungan kali ini miliknya. Pemberi gerobak itu tidak meminta imbalan. "Asal dijaga dan dipakai yang be-nar," kata laki-laki yang adalah malaikat bagi Poniman itu. Sejak itu, gerobak menjadi rumah bergerak baginya. Dia hanya perlu mencari tempat untuk memarkir gerobaknya. Jika tempat itu menurutnya aman, dia tinggal masuk ke dalam gerobak, menutupnya dengan plastik terpal, dan tidur. Entah lelap atau tidak. Tidak terbersit sedikit pun di pikiran Poniman untuk mengeluh. Kesulitan hidupnya selalu dijalaninya dengan rasa syukur. Lelaki yang kulitnya gosong terbakar matahari ini pun tidak mau menggantungkan hidupnya pada orang lain. "Kalau bisa, saya jangan sampai merepotkan orang," ujarnya. Pantang merepotkan orang lain tetap dipegangnya meski dalam kondisi tubuh lemah karena penyakit. Masih sangat jelas diingatannya ketika be-berapa tahun lalu didera pe-nyakit yang tidak dikenalnya. Penyakit itu menempel di tubuhnya hingga sebulan. Menggigil kedinginan ditambah nyeri tulang setiap hari dialaminya. Tanpa obat, makanan bergizi, dan keluarga yang merawatnya, Poniman mencoba bertahan."Saya mau minta tolong orang tidak enak. Waktu itu sampai satu minggu tidak makan. Tidak ada uang, tapi tidak sanggup mencari," ujarnya di pinggir gerobaknya. Bau pesing tidak mengganggunya sedikit pun. Poniman merasa kematian akan mendatanginya segera. Namun, ia terus berdoa agar diberi kekuatan dan kesehatan. Setidaknya mayatnya tidak akan merepotkan orang lain, begitu pikirnya. Setiap hari, Poniman mencari nafkah dengan mengumpulkan sampah kertas dan plastik. Pagi-pagi ia berkeliling kawasan Jatinegara pada pukul 09.00 WIB. Hanya sekitar 30 menit mengumpulkan sampah de-ngan membawa karung, ia kembali ke gerobak yang di-tinggalkannya. Sesudahnya, ia mandi di kamar mandi umum dengan membayar Rp 1.000. Urusan cuci pakaian dilakukannya di Kalimalang. "Kalau nyuci di kamar mandi harus bayar Rp 3.000. Bisa untuk makan satu atau dua kali," katanya.Penghasilannya tidak besar. Jika beruntung, ia bisa mendapat uang hingga Rp 10.000 dengan menjual hasil pulungannya di Kebon Nanas, Jakarta Timur. Jika tidak, dalam tiga hari pun ia tidak menghasilkan satu rupiah pun. Kalau sudah begitu, makanan akan menjadi kebutuhan yang mewah baginya. Bisa makan sekali sehari, apalagi sampai dua kali sehari, adalah anugerah yang sangat disyukuri Poniman. Tidak jarang ia baru makan setelah dua hari tidak makan. Perut perih melilithayan dapat ditahannya. Taman tempatnya meletakkan gerobak tidak tergolong nyaman karena berada di pinggir jalan yang banyak dilalui kendaraan bermotor ukuran besar. Belum lagi tempat itu berbau pesing karena sopir-sopir sering buang air kecil di sana. Kerinduan terbesar Poniman adalah pulang ke rumah orang tuanya di Malang. Jika ada sisa uang, ia akan mengumpulkannya hingga mencapai Rp 60.000 untuk digunakan membeli tiket kereta kelas ekonomi. "Pilihan (pemilihan umum-red) yang lalu, saya mau pulang, tetapi uangnya belum ada. Mudah-mudahan pilihan nanti bisa pulang," ujarnya dengan tatapan penuh kerinduan. (deytri aritonang [Non-text portions of this message have been removed]