Jawa Pos
Kamis, 16/07/2009

Ke Taman Nasional Komodo, Tidak Sekadar Menyaksikan Binatang Purba yang Tersisa 
(1)

Warga Yakin Ora sebagai Saudara Kembar

Sebagai tempat tujuan wisata, objek utama Taman Nasional Komodo (TNK) adalah 
komodo. Namun, sebenarnya banyak objek wisata lain yang bisa dinikmati. Salah 
satunya adalah Kampung Komodo. Warga nelayan di pantai timur Pulau Komodo itu 
bisa hidup berdampingan dengan reptil purba ganas tersebut.

RUKIN FIRDA, Labuan Bajo

Nama kampung dan binatang itu memang sama karena memiliki kisah yang berkaitan 
dan tidak terpisahkan. Lokasi kampung tersebut sekitar satu jam berjalan kaki 
menyusur pantai dari Loh (Teluk) Liang. Loh Liang adalah pintu masuk area Taman 
Nasional Komodo yang berada di Pulau Komodo. Speed boat dari dermaga Loh Liang 
bisa mencapai kampung tersebut dalam waktu 45 menit.

Kampung bernama resmi Desa Komodo itu masuk wilayah Kecamatan Komodo, Kabupaten 
Manggarai Barat (Manggar), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa yang 
terdiri atas Dusun 01 dan Dusun 02 itu dihuni 374 KK (kepala keluarga) yang 
meliputi 1.368 jiwa. "Laki-lakinya 681 orang, perempuannya 687," papar Kepala 
Desa Komodo Haji Adam yang baru sekitar setahun menjabat.

Warga setempat, terutama yang asli kelahiran kampung tersebut, yakin komodo 
adalah leluhur mereka. Sebelum manusia mendiami pulau itu, ceritanya, sudah ada 
binatang seperti itu dengan bentuk yang lebih menyeramkan dan ganas. "Matanya 
liar, kulitnya kemerah-merahan, dan jari kakinya empat," tutur Adam.

Yang dikenal sebagai komodo saat ini berjari lima pada tiap kakinya. Menurut 
legenda masyarakat kampung tersebut, komodo adalah salah satu di antara anak 
kembar Ompu (ibu) Majo, leluhur warga Kampung Komodo. Kembaran lainnya adalah 
Epa yang berwujud manusia perempuan. "Yang berbentuk binatang itu berkelamin 
laki-laki dan dipanggil sebai," tambah Adam.

Sebai dalam bahasa lokal berarti sebelah atau kembaran. Karena itu, warga 
Kampung Komodo lebih mengenal binatang itu dengan sebutan sebai atau ora. Nama 
ora diberikan oleh para pendatang yang ketika baru menginjakkan kaki di pulau 
tersebut disambut binatang itu dengan posisi mendongak. Dari kejauhan terlihat 
seperti orang yang sedang berdiri. 

"Mereka lantas menyebutnya ora yang maksudnya seperti orang," kata Adam, yang 
pernah kuliah di sebuah perguruan tinggi di Kupang, NTT, itu. 

Nama Komodo berasal dari Modo, etnis yang pertama mendiami kampung tersebut. 
Modo adalah etnis yang suka berpindah-pindah karena tidak disukai warga etnis 
lain yang bertetangga dengan mereka.

Modo, menurut Adam, bermakna mudah. Kata itu menggambarkan karakteristik etnis 
tersebut yang terkesan seenaknya sendiri. Mereka, misalnya, dengan seenaknya 
sendiri mengambil milik orang lain. "Mereka juga tidak bersahabat. Makanya, 
banyak yang tidak suka sehingga mereka harus berpindah-pindah," tambah Adam.

Setelah beberapa kali berpindah tempat "terakhir di Sape, Bima, Nusa Tenggara 
Barat (NTB)" mereka menetap di pulau tersebut. Lantas, pulau itu pun dikenal 
dengan nama Komodo. "Ko berarti tempat. Jadi, Komodo bermakna tempat etnis Modo 
tinggal," katanya.

Keyakinan bahwa ora adalah saudara kembar warga Kampung Komodo juga disebabkan 
adanya kedekatan emosional di antara mereka. Warga Komodo sepertinya tidak bisa 
dipisahkan dari binatang tersebut. Ketika Pulau Komodo ditetapkan sebagai taman 
nasional pada 1980, muncul rencana untuk merelokasi warga Kampung Komodo ke 
Sape di Bima, Nusa Tenggara Barat. Warga menolak rencana tersebut.

"Mengapa harus pindah dari sini. Di sini tempat kami mencari ikan. Orang Sape, 
Labuan Bajo, bahkan Makassar juga mencari ikan di sini. Kalau dipindah, di mana 
kami mencari ikan?" kata Rafiah, istri nelayan setempat.

Di tengah rencana dan penolakan itu, ora seperti menghilang. Tidak seekor pun 
terlihat muncul. Padahal, biasanya mereka berkeliaran di halaman rumah warga. 
Ora baru kembali terlihat setelah rencana relokasi itu dibatalkan dan warga 
Kampung Komodo tetap tinggal di desa mereka sampai sekarang.

Adalah hal biasa melihat ora berkeliaran di antara rumah-rumah di Kampung 
Komodo. Juga di halaman satu-satunya sekolah di kampung tersebut, ketika 
anak-anak sekolah bermain di waktu jam istirahat. Tidak ada ketakutan pada 
anak-anak kampung komodo terhadap binatang itu. Padahal, masing-masing sudah 
diingatkan orang tuanya agar tidak terlalu dekat dan berhati-hati terhadap 
binatang itu. "Cukup kita halau lemparan batu kecil," kata Riswan, bocah kelas 
V SD Negeri Komodo, yang tahun ini naik ke kelas VI.

Meski pernah terjadi seorang anak diterkam komodo, warga setempat pun tetap 
berniat untuk tidak meninggalkan pulau itu. Anak tersebut diterkam saat buang 
air besar di pinggir hutan, menghadap pantai. "Dia tidak melihat ketika ada 
komodo di belakangnya," tutur Adam.

Komodo tersebut diduga tergoda bau kotoran bocah itu yang bisa jadi mirip 
bangkai. Penciuman komodo memang peka terhadap darah dan bangkai.

Secara umum, warga Kampung Komodo jauh berbeda dengan gambaran etnis Modo yang 
pertama tinggal di sana. Kini mereka sangat ramah kepada tamu dan pendatang.

Jawa Pos merasakan keramahan mereka saat berkunjung dan bermalam di kampung 
tersebut. Ketika menyusuri satu-satunya jalan di kampung itu, Jawa Pos tidak 
henti harus membalas sapaan pemuda Kampung Komodo yang sedang nongkrong. 
Bahkan, mereka tidak segan mengajak bergabung dan langsung terlihat obrolan 
layaknya teman lama. "Ya begini remaja di sini. Suka nongkrong di malam hari," 
kata Adrian, lulusan SD yang untuk sementara menunda keinginannya meneruskan 
pendidikan ke SMP.

Keinginannya itu terwujud awal tahun ajaran ini setelah pengerjaan bangunan SMP 
pertama di Kampung Komodo selesai. "Saya akan sekolah lagi tahun ini," tutur 
Adrian. Demikian juga keramahan Imam dan anak-anak lain Kampung Komodo. Saat 
asyik bermain, mereka dengan ramah menyapa Jawa Pos dan menanyakan tujuan 
jalan-jalan malam itu. Mereka bahkan menyediakan diri untuk mengantar ketika 
mengetahui bahwa Jawa Pos hendak menuju rumah Kepala Desa Haji Adam.

Sepanjang perjalanan, Adrian dan Imam tidak henti ngobrol dan memamerkan 
kepandaiannya berbahasa Inggris. "Where are you from, Sir," kata Iman, 
mempraktikkan caranya menyambut tamu asing yang tidak jarang berkunjung ke 
Kampung Komodo, setelah ke Loh Liang. Keramahan warga Kampung Komodo juga 
terasa ketika dengan mudahnya Angong, salah seorang pemilik toko kelontong di 
kampung tersebut, menerima Jawa Pos untuk menginap malam itu. Padahal, Jawa Pos 
hanya berbekal surat yang dituliskan pada block note.

Surat tersebut ditulis Syahbandar Labuan Bajo Pariman. Isinya singkat, 
menyebutkan bahwa pembawa surat adalah teman sekampung halamannya. "Kalau ada 
teman-teman lain yang ke sini, silakan menginap," kata lelaki berusia 54 tahun 
yang baru sekitar setahun menduda itu. Bermalam di Kampung Komodo, Jawa Pos 
merasakan suasana layaknya pasar malam. Hampir dari setiap rumah terdengar 
musik dari televisi yang diputar keras-keras. 

Tidak cukup dengan memutar penuh volume televisi, mereka juga melengkapinya 
dengan perangkat sound system berdaya besar. Hampir setiap rumah melengkapi 
televisi mereka dengan perangkat sound system. Televisi merupakan satu-satunya 
hiburan bagi warga Kampung Komodo. Mereka bisa menangkap siaran televisi dengan 
memasang antena parabola. Adalah pemandangan biasa melihat antena parabola 
menyembul di antara rumah panggung beratap seng atau daun-daunan.

Pasokan listrik mereka dapatkan dari genset yang dikelola pemerintah desa. 
Setiap rumah dikenai tarif harian Rp 3.000 untuk empat lampu. Kalau memiliki 
televisi, tarifnya Rp 5.000. Namun, genset itu hanya dinyalakan sejak pukul 
18.00 hingga 23.30. "Namun itu sudah cukup," ujar Hamzah, pemilik toko 
kelontong lain. 

Yang sedikit menyulitkan adalah air. Untuk keperluan mandi dan cuci, tersedia 
tiga sumur di lokasi yang lebih tinggi. Warga mengambilnya dengan drum plastik 
yang diusung dengan gerobak. Kondisi itu dimanfaatkan Angong. Dia memasang 
jaringan pipa untuk mengalirkan air sumur tadi ke bak mandinya dengan pompa. 
Kemudian, dia memasang tarif Rp 1.000 untuk sekali mandi dan Rp 2.000 untuk 
mencuci.

Untuk menggerakkan pompa itu, kebutuhan listriknya lebih besar. Dia pun dikenai 
tarif lebih besar, Rp 10.000 per hari. "Bisa dipenuhi dari ongkos mandi dan 
mencuci tadi," ungkap lelaki keturunan yang lahir di Jakarta dan sudah menetap 
di Kampung Komodo sejak 1985 itu.

Dia mengenal Kampung Komodo saat menjadi pemasok cumi-cumi untuk perusahaan 
kakaknya di Banyuwangi. Seringnya dia berkunjung ke kampung tersebut membuatnya 
terpikat gadis setempat yang kemudian dinikahinya dan telah memberinya lima 
anak. (bersambung/iro)

= = =
 
Jawa Pos
Jumat, 17/07/2009

Ke Taman Nasional Komodo, Tidak Sekadar Menyaksikan Reptil Purba (2-Habis) 

Pantai Berpasir Merah, Wisatawan Asing Namakan Pink Beach 

"Berburu" komodo memang menjadi tujuan utama wisatawan yang berkunjung ke 
Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Tapi, pengunjung yang 
memiliki waktu panjang dapat memperoleh bonus wisata lain.

Rukin Firda, Labuan Bajo 

---

TAMAN Nasional Komodo (TNK) meliputi tiga pulau utama, yaitu Komodo, Padar, dan 
Rinca, yang berada di Selat Sape. Selat itu menjadi batas alam antara Provinsi 
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Perjalanan ke TNK harus 
menyeberang selama sekitar empat jam dari Labuan Bajo. Banyak point of interest 
yang dapat dinikmati sebagai objek wisata selama perjalanan menuju pulau yang 
di kalangan wisatawan asing disebut Dunia Tersendiri (Lonely World) itu.

Tersebar puluhan pulau antara Labuan Bajo dan TNK. Sebagian berpenghuni dan 
yang lain kosong. Beberapa pulau, baik yang berpenghuni maupun tidak, memiliki 
potensi wisata yang indah untuk dinikmati. Bahkan, telah dibangun penginapan 
baik berupa hotel maupun bungalo. Beberapa yang lain dibiarkan tetap dalam 
kondisi alami. 

Salah satu yang dibiarkan alami adalah Pulau Kelor. Pulau tidak berpenghuni itu 
memiliki pasir putih bersih dan alami serta biota laut yang tergolong langka. 
Kondisi pulau yang kosong membuat wisatawan terutama dari mancanegara merasa 
nyaman dan aman untuk berjemur di pantai pulau tersebut. Mereka bahkan tidak 
segan untuk (maaf) berjemur tanpa busana. 

Bosan berjemur, mereka biasanya menyelam atau sekadar snorkling. "Biasanya 
mereka datang pagi berjemur atau snorkling dan pulang ke Bajo (Labuhan Bajo) 
menjelang sore," kata Erwin, juragan (pengemudi kapal) yang mengantar Jawa Pos 
ke Pulau Rinca dan Komodo.

Di dekat Pulau Komodo ada Pulau Bongo yang dikenal dengan budidaya mutiaranya. 
Ada sebuah perusahaan yang berdiri di pulau tersebut. Kabarnya, si pemilik 
berasal dari Bali. Perusahaan tersebut diketahui saat para pekerjanya belanja 
atau membeli air tawar ke Bajo. Menurut Erwin, sebagian besar pekerjanya adalah 
warga Pulau Mesa di dekat pulau tersebut.

Pilihan yang nyaman untuk bermain snorkling adalah Pulau Kenawa. Selain 
pemandangan bawah lautnya yang indah, sudah tersedia penginapan berupa hotel di 
pulau tersebut. Sewa hotelnya pun relatif murah. Hanya sekitar Rp 150.000 
semalam. Itu sudah termasuk transpor antar-jemput dari Labuan Bajo dengan 
perahu. 

Wisatawan yang mau lebih private dapat menginap di Pulau Bidadari dan Seraya 
Kecil. Tersedia bungalo di dua pulau yang dikeloka investor asing tersebut. 
Tarifnya jelas lebih mahal dan tidak termasuk transpor pergi-pulangnya. 

Di dua pulau tersebut privacy lebih terjamin karena tidak semua kapal diizinkan 
merapat ke sana. Hanya kapal yang disewa tamu, yang bisa merapat ke dua pulau 
itu. 

Yang ingin menikmati suasana tradisional dapat berkunjung ke Pulau Kukusan. 
Namanya persis dengan bentuk pulau yang seperti kukusan dibalik -seperti 
kerucut dengan ujung lancip di bagian atas. 

Pulau tersebut menjadi tempat tinggal sekitar 200 orang yang hidup dengan 
mencari nafkah sebagai pembudidaya rumput laut. Mereka tinggal di perkampungan 
di bibir pantai. 

Yang unik, terdapat sebuah bangunan sekolah yang lokasinya lebih tinggi dari 
perkampungan. Sekolah tersebut hanya terdiri atas tiga ruang kelas. Ada tiga 
guru yang mengajar di sekolah itu. Semua masih berstatus sebagai guru bantu. 
"Kalau naik ke kelas 4, 5, atau 6, ruang kelasnya tetap sama, namun 
pelajarannya yang disesuaikan dengan tingkat kelasnya," tambah Erwin. 

Pulau-pulau tersebut bisa dikelola sebagai lokasi wisata karena tidak masuk 
dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Kelebihannya adalah menjadi perlintasan 
wisawatan yang berniat mengunjungi Taman Nasional Komodo di Pulau Rinca, Padar, 
dan Komodo. 

Di Pulau Komodo sendiri ada objek wisata lain selain Komodo, yaitu Pantai 
Merah. Tidak seperti pasir pantai pada umumnya, pasir di Pantai Merah memang 
merah. Sebenarnya tidak benar-benar merah, namun merah muda. Karena itu, 
wisatawan asing lebih mengenalnya sebagai pink beach. Warna merah di pantai 
tersebut disebabkan serpihan bukit merah yang berdiri di belakang pantai itu, 
layaknya backdrop panggung. 

Belakangan mulai bermunculan paket wisata dari Bali untuk menjadikan 
pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari paket wisata ke TNK. Sebagai daya 
tarik, wisatawan dibawa dengan kapal pinisi yang sudah bermesin.

Satu perjalanan dari Bali ke Labuan Bajo dan singgah di pulau-pulau tersebut 
bisa berlangsung 5-6 hari. Dengan tarif sekitar Rp 1,5 juta per orang, bisa 
didapatkan layanan layaknya kamar hotel di kabin kapal tersebut. Tentu saja 
dengan objek-objek wisata dan TNK serta sekitarnya itu. 

Pengelolaan TNK sebagai objek wisata ditangani perusahaan swasta Naga Putri 
Komodo (NPK). NPK-lah yang menyediakan paket-paket perjalanan wisata ke Pulau 
Rinca dan Komodo yang masuk dalam TNK. 

Untuk memasuki kawasan tersebut disediakan dermaga di Loh (teluk) Buaya di 
Pulau Rinca dan Loh Liang di Pulau Komodo. Wisatawan yang datang ke dua teluk 
itu di luar paket NPK pun tetap bisa diterima. Namun biasanya hanya untuk 
tracking (menjelajah) untuk menemukan komodo. (oki)




      Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke 
Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke