Refleksi : Apa ada faedahnya negara yang hanya menciptakan kemiskinan? http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=9345
2009-07-22 Kemiskinan Pemicu Eksploitasi Anak SP/Luther Ulag Empat anak menghitung uang hasil mengamen di pinggir Jalan Raya Cililitan, Jakarta Timur, Rabu (22/7). Mereka adalah anak-anak putus sekolah dan terpaksa mengamen untuk sekadar uang jajan dan membantu orangtua. Dalam sehari, mereka memperoleh penghasilan sekitar Rp 10.000 hingga Rp 30.000. [JAKARTA] Faktor kemiskinan membuat keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dan melindungi anak. Akibatnya, eksploitasi anak meningkat. Pada tahun 2008, sebanyak 6,5 juta anak terpaksa bekerja. Sebanyak 2,1 juta di antaranya bekerja dalam kondisi terburuk, dan 1,5 juta anak bekerja sebagai pekerja rumah tangga tersembunyi. Selebihnya, anak-anak bekerja di sentra industri pertanian, perikanan, perkebunan, bahkan bekerja dan hidup di jalanan. Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengutarakan hal itu dalam Kongres Anak Indonesia VIII, yang dibuka Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Selasa (21/7) di Depok. Kongres bertema Keluarga Bertanggung Jawab, Anak Terlindungi dan Terbebas dari Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran, dan Diskriminasi. Menurut dia, Departemen Sosial tahun 2008 mencatat, terdapat 5.406.246 anak berusia 0-10 tahun hidup dalam situasi telantar, dan 12.287.600 dalam situasi hampir telantar. Ia juga menyoroti keberadaan panti yang menampung anak-anak telantar. Pasalnya, panti-panti tersebut ternyata mengurus anak yang masih memiliki orangtua secara utuh. Tepatnya, 63 persen penghuni panti masih memiliki orangtua, dan 73 persen berasal dari keluarga sekitar panti. Menurut Arist, hal ini tak tepat, karena membuat orangtua anak melepas tanggung jawab, dan menyerahkannya pada pengelola panti. Padahal, panti diperuntukkan bagi anak yang tak jelas orangtuanya, anak yang dalam keadaan krisis, seperti anak korban bencana. Ditegaskan, agar anak tak dieksploitasi, dan keluarga mampu memenuhi kebutuhan serta melindungi anak, maka perlu meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga, dengan cara pemerintah membuka lapangan pekerjaan. Bukan memberi bantuan langsung tunai (BLT). Selain motif ekonomi atau kemiskinan, yang membuat anak dieksploitasi dan mengalami kekerasan oleh orang terdekat (orangtua, saudara), adalah disfungsi keluarga dan budaya. Disfungsi keluarga terjadi, karena suami-istri sering bertengkar yang berdampak pada anak. Dampaknya, anak merasa tidak nyaman, cenderung mencari ketenangan di luar rumah, seperti bekerja sambil bertemu teman-teman. Segi Budaya "Dari segi budaya, keinginan atau obsesi orangtua membuat anak tidak merasa nyaman. Orangtua juga perlu meningkatkan kapasitas dalam mendidik anak, termasuk menguasai teknologi yang berkembang saat ini," katanya. Lebih lanjut dikatakan, kekerasan terhadap anak juga meningkat dari 1.626 kasus pada semester I tahun 2008, menjadi 1.891 pada semester I tahun 2009. Negara, tegas Arist, secara politik dan yuridis harus mengambil alih persoalan anak dalam situasi eksploitatif, kekerasan dan diskriminasi. Anak-anak harus bebas dari eksploitasi, diskriminasi, kekerasan. "Presiden harus fokus, karena kekerasan pada anak sudah tak bisa ditoleransi. Pemerintah jangan hanya mengevakuasi saja," tambahnya. Menurut Meutia, kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan isu lintas sektor, maka untuk mewujudkannya, perlu kerja sama antarpemerintah, masyarakat, dunia usaha, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. [N-4] [Non-text portions of this message have been removed]