Refleksi : Apakah NKRI membutuhkan pendidikan yang membebaskan dari 
keterbelakangan, ketidakadilan dan kemiskinan?  Bukankah pendidikan berintikan 
pembebasan  sangat berbahaya bagi kepentingan kaum berkuasa?


http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=9386

2009-07-24 
Pendidikan yang (Tak) Membebaskan


Maxi A Perajaka
Akhir-akhir ini, biaya kuliah di perguruan tinggi menjadi beban bagi para 
orangtua. Ironisnya, pendidikan yang sejatinya menjadi pranata sosial yang 
membebaskan justru tampil bagai pecundang yang menggerus banyak uang sembari 
menggiring kaum muda menjadi penganggur berijazah. 

Gerah dengan masalah kemiskinan dan angka pengangguran terdidik yang yang tak 
kunjung menyusut-terutama di negara berkembang seperti Indonesia-pakar 
investasi Rober T Kiyosaki sempat membuat pernyataan provokatif, kalau mau 
berhasil Anda harus selekas mungkin meninggalkan sekolah.

Pernyataan itu terkesan seakan hendak melunturkan motivasi para orangtua yang 
berjuang mengirimkan putra-putri mereka ke perguruan tinggi. Tapi, kesan 
seperti itu boleh dibilang salah. Sebab, melalui pernyataan itu, Kiyosaki 
hendak mengkritisi peran dan fungsi institusi pendidikan. Di samping semakin 
dikomersialisasikan, ternyata institusi pendidikan gagal membebaskan anak 
manusia dari perangkap kemelaratan. 

Pakar perencanaan keuangan berkebangsaan Kanada, Edward Jones, mengatakan, 
idealnya dalam urusan biaya kuliah putra-putrinya, orangtua membuat rencana 
tabungan pendidikan atau asuransi sejak dini. Tapi, bila ternyata dana tabungan 
tak mencukupi maka para orangtua dapat berpaling pada bantuan keluarga atau 
mencari sumber pendanan lain, seperti beasiswa, grants, kredit pendidikan dari 
bank, atau program yang lain. 

Selanjutnya, Jones mengimbau, agar para orangtua senantiasa menanggulangi biaya 
kuliah anaknya sembari memperhatikan beberapa prinsip keuangan berikut. 
Pertama, jangan sampai biaya pendidikan yang dikeluarkan untuk sang anak justru 
merusak seluruh posisi dan skema perencanaan keuangan keluarga. Artinya, 
orangtua sebaiknya tidak memaksakan diri untuk mengirimkan putra-putrinya ke 
jenjang pendidikan tinggi jika ternyata kondisi keuangan keluarga tidak dalam 
posisi kuat.

Kedua, kalaupun mampu secara keuangan, para orangtua perlu membuat kalkulasi 
apakah investasi dalam wujud pendidikan tinggi itu berpotensi memberikan nilai 
tambah bagi kehidupan putra-putri mereka atau tidak? Berkaitan dengan ini, para 
orangtua tak perlu ragu menetapkan target. Artinya, melalui pendidikan tinggi 
sang anak mesti dapat menjadi pribadi yang makin matang, baik secara fisik, 
intelektual, emosional, spiritual, moral, sosial, maupun kultural. Secara lebih 
khusus, orangtua perlu menargetkan bahwa setelah tamat kuliah sang anak mesti 
memiliki keahlian dan keterampilan yang memadai, siap menjalani kehidupan 
secara kreatif dan produktif sehingga bisa mandiri secara ekonomi.


Sebuah peringatan

Para orangtua di Indonesia rupanya perlu menuruti imbauan Edward Jones itu. 
Sebab, pada kenyataan, hingga sekarang sistem pendidikan tinggi yang diterapkan 
di Tanah Air kita sama sekali tak menjamin kepastian masa depan bagi para 
peserta didik. Peran pendidikan telah begitu merosot sehingga tak mampu 
membebaskan peserta didik dari perangkap ketakcerdasan berpikir, ketakmampuan 
berkomunikasi-sosial secara efektif, dan ketakberdayaan untuk berkreasi dan 
berproduksi. Makanya, tak mengherankan bila setiap tahun lulusan pendidikan 
tinggi terus menambah angka pengangguran nasional. 

Coba cermati laporan BPS berikut ini. Per tahun 2008, 10,45% atau 11,19 juta 
dari 107,08 juta angkatan kerja kita berstatus penganggur. Belum lagi kalau 
ditambah dengan mereka yang menganggur secara terselubung. Jumlahnya bisa 
mencapai 40-an juta. Ironisnya, sebagian dari yang 40-an juta itu adalah mereka 
yang tamat dari bangku perguruan tinggi.

Mungkin kita tidak perlu serta-merta menyesalkan sistem pendidikan nasional. 
Dan, kiranya tak ada gunanya pula kalau kita mengemis agar pemerintah segera 
memperluas kesempatan kerja dengan meningkatkan investasi di sektor riil. Bukan 
apa-apa! Pemerintah toh akan berkilah -seperti yang selalu didengungkan pada 
musim kampanye pilpres belum lama ini - bahwa angka pengangguran telah menurun 
secara signifikan, karena kondisi ekonomi kita sudah lebih baik. 

Tentu saja, terlalu ekstrem jika ada yang bersikap antipati terhadap pendidikan 
tinggi formal. Ya, barangkali sikap antipati itu dipengaruhi oleh provokasi 
Kiyosaki sebagaimana disebut di atas. Kiyosaki memang berkeyakinan bahwa 
kebebasan finansial hampir tak ada kaitannya dengan gelar akademis yang diraih 
melalui lembaga pendidikan tinggi, tapi ditentukan oleh kerja keras mengelola 
perusahaan serta memanfaatkan jaringan sosial. Makanya, Kiyosaki agak sinis 
dengan kaum pekerja kantoran yang biasanya ditempati oleh mereka yang tamat 
dari bangku kuliah.

Apa yang disampaikan pakar keuangan dari Jepang itu tentu tak benar sepenuhnya. 
Bahkan, kata-katanya terkesan berlebihan. Soalnya, sedikit sekali orang yang 
punya talenta untuk berwirausaha. Lagi pula, pada zaman sekarang, aktivitas 
bisnis tak bisa terpisah dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi 
(informasi). Aktivitas bisnis pun sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk 
menyimak tren perkembangan sosial-budaya dan politik. Ruang gerak dan 
persaingan berbisnis pun kian ketat akibat dampak globalisasi. Jadi, tanpa 
bekal pendidikan yang memadai, mustahil ada orang yang bisa berwirausaha secara 
sukses. 

Dari titik ini, kita sepatutnya berpaling kembali ke gagasan Paulo Freire 
mengenai pendidikan sebagai proses pembebasan. Memang, pada pengertian asli, 
pembebasan yang dimaksudkan Freire lebih bermakna sosial psikologis, yaitu 
pembebasan masyarakat miskin dari kungkungan sistem feodal yang diterapkan kaum 
elite. 

Penulis adalah Direktur Akademi Sekretari Saint Mary, Jakarta.



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke