Catatan La Luta:
seperti tak percaya mendapat berita duka mendadak menimpa nasib mbah Surip… 
sambil mengeluarkan air liurnya, dengan mengucap kata -kata terakhirnya…”I love 
you full”…kemudian di akhir hidupnya mulutnya berbusa….ehm…apa gerangan yang 
menjadi sebab-musababnya? akibat sakit jantung kah? atau memang ada sebab 
lainnya?

Hidup ini memang ngeri-nyeri-menyedihkan….dan akhir kebahagiaan telah menyimpan 
misteri-ironis dan tragedi di alam fana …

Selamat jalan mbah Surip….saátnya mbah hidup aman, nyaman dan damai di alam 
baka….

MiRa- Amsterdam, 04 08 09

La Luta Continua!

***

Mbah Surip, Kini Kamu Benar-benar Pergi



Sekarang
saya benar-benar kehilangan Mbah Surip. Sekitar pukul 10.30 WIB, hidup
Mbah Surip tak tertolong lagi. Ia mengembuskan napas terakhir sebelum
sempat dirawat di RS Pusdikkes Jakarta Timur.
Sempat
kaget juga ketika seorang teman mengabarkan berita duka ini. Tapi
kemudian saya biasa-biasa kembali sebagaimana diajarkan oleh si Mbah
Surip ketika menghadapi situasi macam apapun.
Jangan-jangan
kepergiannya yang selekas itu adalah buah dari pola hidupnya yang
ngawur. Bayangkanlah dalam usia setua itu, dalam sehari ia bisa
menghabiskan 20 gelas kopi dan minimal tiga bungkus rokok. Selebihnya
saya cuma bisa berdoa moga-moga si Mbah dalam tidurnya yang abadi
benar-benar nyaman, sebagai penebus tidurnya yang kacau sepanjang
hayatnya sebelum beliau memiliki rumah hasil bonus dari lagu "Tak
Gendong" yang penghasilan dari ring back tone (RBT)-nya konon mencapai
Rp 4,5 miliar.Tapi sudahlah,
bukankah semua perjalanan harus ada ujungnya. Dan kali ini adalah akhir
perjalanan kakek empat cucu yang terkesan tiba-tiba. Dan semua yang
tiba-tiba tentu saja mengejutkan bagi semua orang termasuk saya.
Bayangkanlah,
si Mbah yang baru saja menikmati hasil kucuran keringat hasil kerja
kerasnya sepanjang hidup, si Mbah yang baru saja membuat semua orang
benyanyi "tak gendong ke mana-mana"; si Mbah yang baru saja memberi
teladan betapa berkarya tak mengenal usia dan pemampilan, mendadak
harus pergi sesegera itu.
Sekarang
saya cuma bisa mengenangmu Mbah. Hari-hari yang pernah kita lewati
adalah guru bagiku. Masih kuingat Mbah, semua pelajaran yang tak pernah
kauwedar lewat kata-kata, tapi lewat perbuatan. Bahwa tiada yang patut
ditakuti dalam hidup. Bahwa tiada kata menyerah dalam perjuangan. Dan
bahwa jika pun sampai pada puncak hiduplah biasa-biasa saja.
Wis
yo Mbah, kami yang mencintaimu, kami yang telah engkau hibur lewat gaya
dan lagu-lagumu dan juga ketawamu, berdoa untukmu selalu. Semoga Tuhan
senantiasa menjaga dirimu dan keluargamu. Hati-hati di jalan Mbah. I
Love You Full...sumber : kompas

***

I Love U Full Mbah Surip
http://jodhiyudono.kompasiana.com/2009/03/06/i-love-u-full-mbah-surip/

Oleh jodhiyudono - 6 Maret 2009 -

    Puyeng dengan situasi politik? Eneg dengan para politisi yang sedang 
bermain akrobat dengan jurus lama namun dikemas dalam bungkus baru? Atau… 
bingung lantaran belum punya calon untuk presiden kita pada pemilu presiden 
mendatang? Atau mungkin anda juga sedang frustasi lantaran partai yang Anda 
bela pada pemilu 9 April nanti ternyata masih memble di lembaga-lembaga survei?

    Nah, supaya gak puyeng, gak eneg dan gak bingung, mari ikuti cerita saya. 
Siapa tahu, ini bisa jadi pelipur lara. Atau bisa menerbitkan senyum. 
Syukur-syukur, bisa membikin Anda terbahak-bahak.

    Inilah perkisahan saya. Kisah seorang lelaki tua yang mendekati usia 60 
tahun. Kisah seorang manusia bernama Mbah Surip! Mbah yang pernah saya tulis 
dulu di blog ini.

    Di sekitar Anda barangkali ada juga manusia bernama Surip yang sudah 
berstatus mbah (kakek) lantaran sudah bercucu dan berusia lanjut. Tapi 
percayalah, dijamin beda dengan Mbah surip yang hendak saya ceritakan ini.

    Tak percaya? Dari deskripsi fisik dan penampilannya saja, mbah yang satu 
ini memiliki keistimewaan. Mana ada seorang kakek berambut gimbal laiknya 
penganut rasta. Mana ada lelaki tua sanggup bernyanyi dengan gaya trash metal 
yang bisa membuat telinga pekak. Mana ada lelaki tua yang tak berumah tapi 
kreatif macam dia, sehingga darinya muncul puluhan bahkan ratusan lagu yang 
tercipta di sembarang tempat.

    Saya bertemu dengan beliau…, ah ya, memang sepantasnya saya memakai sebutan 
beliau untuk orang yang saya hormati dan hargai ini. Ya, saya bertemu beliau 
beberapa hari yang lalu.

    Saat itu, jalanan di depan Gelanggang Remaja Bulungan sudah sepi. Jam di 
tangan Mbah Surip sudah menunjuk angka dua dini hari. Tapi saya dan simbah 
masih asyik berbincang-bincang di emperan gelanggang remaja itu bersama 
beberapa seniman Bulungan.
    “Palsu ya?” saya bertanya.”Apanya,” Mbah Surip ganti bertanya.”Rambutnya.”
    “Lo…ini asli. Tariken (coba tarik) kalau gak percaya.
    “Belum sempat saya memegang rambutnya, mendadak hidung saya menangkap bau 
menyengat dari rambut Mbah Surip. Saya langsung berkomentar, “Kok bau rinso?”
    “Kemarin siang aku baru keramas.”
    “Pakai rinso?”
    “Laiya.”
    “Gak rontok?”
    “Nyatanya sampai sekarang mbah belum botak.”
    “Sebulan sekali ya keramasnya?”
    “Enak aja. Aku keramas tiga hari sekali.”
    “Udah tua kok nggaya?”
    “Biarin.”
    “Emang dulu idenya dari siapa milih model rambut gimbal begini?”
    “Pas mau keluarin album pertama aku kepingin bikin gaya sendiri.”
    “Terus?”
    “Trus ketemu Tony Q (pimpinan kelompok regeae New Rastafara). Kayaknya 
asyik rambutnya (rambut Tony saat itu hingga kini bergaya gimbal). Ya sudah, 
aku minta caranya bikin rambut gimbal.”
    “Berapa lama bikinnya?”
    “Saking kepingin cepet jadi, pertama-tama rambutku diguyur cat.”
    “Wah.”

    Begitulah, sejak tahun 1997, saat Mbah Surip mengeluarkan album Ijo 
Royo-royo, sampai sekarang, rambut lelaki asal Mojokerto itu gimbal hingga 
sepinggang.
    Dan lihatlah, sambil menyanyi Ijo Royo-royo, Mbah Surip mengibas-kibaskan 
rambutnya menuruti irama musik yang dia ciptakan melalui ketukan tangan pada 
meja.
    Ijo royo-royo hidung panjang anak Semar, Petruk hidung menceng anak Semar, 
Gareng
    Mula-mula, ketukan tangan Mbah Surip ritmis dan pelan.

    Tapi dengarlah, memasuki bait kedua, tempo ketukannya makin cepat. 
Mulailah, rambut gimbalnya berkebaran mengikuti kepalanya yang ia 
putar-putarkan laiknya gerakan head-bang.

    Ijo royo-royo hidung terong anak Semar, Bagong Ha ha ha ha ha, he he he he 
he, Bagong punya lakon Bagong beli lontong, gareng nggak dibagiPetruk 
marah-marah, Semar datang….bubar!

    Gerak kepala dan rambut Mbah Surip makin kencang. Gelas kopi di hadapannya 
nyaris saja kesabet rambut gimbalnya. Buru-buru saya menghentikan aksi Mbah 
Surip.
    “Eling, Mbah…eling.”
    “He he he… mana kopiku, mana kopiku….glek.”
    “Asyik ya Mbah?”
    “He he he…”

    Tuan dan puan yang budiman, boleh jadi Anda menganggap remeh syair karya 
Mbah Surip di atas. Tapi dengarlah penuturannya saat beliau saya tanya, apa 
maksud nyanyiannya itu.
    “Lagu itu adalah gambaran tentang tokoh-tokoh bangsa ini yang menurut saya 
gambaran wataknya mirip dengan para punakawan. Ada yang mirip Gareng, Petruk, 
Bagong…Lucu-lucu. Ada yang tengil, methakil, kocak, dan… he he he…”
    Wah! Ruar biasa, bukan?
    “Suka politik juga ya, Mbah?”
    “He he he…”
    “Besok mau pilih siapa presidennya, Mbah?”
    “Rahasia, dong.”
    “Atau..siapa kira-kira yang mau jadi presiden periode 2009-2014 nanti, 
Mbah?”
    “Seorang wanita!”
    “Ngarang, gimana ceritanya?”
    “Lihat saja nanti.”
    “Alasannya apa?”
    “Alasannya…karena penduduk Indonesia banyak wanitanya. Jadi, mereka pasti 
akan milih sesama wanita. He he he…Kalau situ, mau pilih siapa?” Mbah Surip 
bales bertanya pada saya.
    “Siapa ya…, ah saya mau pilih Mbah Surip saja. Mau, Mbah?”
    “He he he…”
    “Mau nggak jadi presiden?”
    “He he he…Kalau saya jadi presiden, rakyatnya aku kasih helikopter 
satu-satu.”
    “Sombong amat, utang negara saja bejibun jumlahnya.”
    “Itu karena dikelola oleh orang-orang nggak bener.”
    “Emang masih ada orang bener, Mbah?”
    “He he he…iya ya.”
    “Situ masih bener nggak, Mbah?”
    “He he he, tapi yang penting kan helikopter satu-satu. Kamu satu, Mas Amin 
dapat satu, Mas Jenderal dapat satu, Pak Semar juga kebagian satu…he he he.”

    Mbah Surip lalu memaparkan reasoning pembagian helikopter kepada semua 
orang Indonesia jika dirinya terpilih jadi presiden. Katanya, kekayaan negeri 
ini sebetulnya luar biasa banyaknya. Semua hasil tambang ada. Mulai dari emas, 
minyak, batu bara, gas…
    “Kekayaan negara Arab yang punya tambang minyak itu nggak ada apa-apanya 
dibanding negeri kita, he he he…”

    Malam kian hitam. Mendung yang sejak sore telah mengapung di angkasa, makin 
membuat langit kawasan Blok M tambah gulita. Selain saya dan Mbah Surip yang 
masih asyik ngobrol, di sudut lain juga masih ada beberapa seniman yang sedang 
terlibat diskusi.

    Saya lihat mata Mbah Surip menerawang. Saya menangkap ada kesunyian yang 
pekat di sana. Kesunyian lelaki tua yang menjalani hidupnya seorang diri. Saya 
curiga, jangan-jangan dia sedang mengenang masa remajanya yang gemilang, 
puluhan tahun lampau.

    Ah, benar saja. Dari mulutnya muncul senandung cinta yang getir.
    Wajahku sudah tak segar lagi…Senyumku sudah tak manis lagiRambutku sudah 
mulai memutihMengapa sayang, kau cinta padaku
    “Hayo…, Mbah Surip sedang jatuh cinta ya?”
    “He he he…”
    “Sama siapa, Mbah?”
    “He he he… sama perempuan.”
    “Syukurlah, berarti Mbah Surip masih normal. Siapa dia Mbah?”
    “Dia lulusan SD.”
    “Wah, keterlaluan kamu Mbah. Masa jatuh cinta sama anak SD.”
    “Biarin.”
    “Namanya siapa?”
    “Sarinah.”
    “Alamatnya?”
    “Dia tinggal di lereng Gunung Salak, Bogor.”
    “Wah, pasti imut wajahnya ya, Mbah? Baru lulus SD.”
    “He he he…imut apa, dia itu lulusan SD tahun ’45!”
    * * *
    Jalanan tambah sunyi, sesunyi hidup Mbah Surip yang menghabiskan waktunya 
di jalanan. Di balik penampilannya yang bersahaja, ternyata Mbah Surip adalah 
pribadi dengan riwayat yang kaya warna.
    Saat menjadi pekerja di perusahaan pengeboran minyak dari tahun 1975 sampai 
1986, ia pernah singgah di Texas, Brunei, Singapura, dan tempat-tempat 
penghasil minyak lainnya.
    Ia juga pernah menghabiskan dua celana saat naik sepeda dari Mojokerto 
menuju Jakarta di akhir tahun 80-an. Tujuannya cuma satu, pingin menantang 
panco petinju Ellias Pical. Sayang, niatnya itu tak kesampaian.

    Alhasil, ia terdampar di Bulungan. Hidup bersama para seniman. Berbagai 
cabang kesenian pun ia geluti. Mulai dari teater, lukis, hingga menyanyi. Waktu 
akhirnya menjawab, Mbah Surip ternyata memilih nyanyi sebagai jalan hidupnya 
kini.

    Maka darinya lahir sekurangnya lima album rekaman nyanyi. Tahun 1997 ia 
mengeluarkan album Ijo Royo-royo. Disusul album Indonesia I (1998), Reformasi 
(1998), Tak Gendong (2003), dan Barang Baru (2004).

    Untuk ukuran seorang penyanyi, prestasinya itu tentu cukup meyakinkan. Tapi 
apa boleh buat, industri rekaman negeri ini nyatanya lebih memilih artis-artis 
“wangi” ketimbang memilih Mbah Surip yang cuma beraroma parfume murahan dan 
wangi rinso yang meruab dari rambutnya nan gimbal sehabis keramas tiga hari 
sekali.

    Nyatanya, penikmat musik negeri ini lebih suka mendengar 
kecengengan-kecengengan hidup ketimbang syair-syair lagu milik Mbah Surip yang 
telanjang dan bersahaja. Simaklah ini:

    Nyanyian-nyanyian anak Badui…, nyanyian-nyanyian anak Badui Nyanyian itu 
sepi, nyanyian itu indah, nyanyian itu ramai
    Nyanyian-nyanyian anak Badui, nyanyian-nyanyian anak Badui Nggak ada 
listrik, nggak ada radio, televisi, busway Nggak ada roti, yang ada kopi…Aman

    Ya, ya…Mbah Surip terus menyanyi. Mbah Surip mana peduli lagunya mau 
didengar atau tidak, laku atau tidak. Asal ada kopi, rokok kretek, dan uang 
secukupnya untuk naik omprengan atau ojek, cukuplah membuatnya bahagia.

    Lalu, ketika gerimis mulai turun pada dini hari itu, Mbah Surip memesan 
segelas kopi kepada penjaja kopi keliling. Setelah menghirup kopi dua teguk, 
sinar mata Mbah Surip yang semula redup, jadi menyala lagi.

    Kopi…, hmmm…itulah hal yang amat penting dalam kehidupan Mbah Surip. 
Perempuan-perempuan cantik boleh berseliweran di hadapan Mbah Surip, tapi cinta 
Mbah Surip cuma pada kopi semata. Itu soalnya, dalam sehari beliau bisa minum 
bergelas-gelas kopi. Ditambah rokok kretek tiga bungkus dalam sehari semalam, 
maka menurut Mbah Surip…sempurnalah sudah hidupnya.

    Sruput…, bush….. Begitulah cara Mbah Surip menikmati kopi sekaligus rokok. 
Dari penikmatan kopi itulah, kata Mbah Surip, ide-ide muncul. Tak cuma ide 
membuat lagu, tapi juga ide membuat jargon. Salah satu jargon yang terkenal di 
kalangan seniman kota Jakarta adalah jargon yang berbunyi “I love you full”.
    Jargon berbahasa Inggris “ngawur” itu, kata Mbah Surip, muncul saat dirinya 
berada di Belitung.

    Kala itu, ia bersama rombongan pelukis sedang jalan-jalan di Belitung. Di 
salah satu sudut kota Belitung, ia menjumpai warung-warung kopi yang jumlahnya 
sekitar 37 buah.
    “Itu yang terdaftar. Seluruhnya mungkin ada seratusan jumlahnya,” ujar Mbah 
Surip mengenang.

    Nah, salah satu warung kopi yang menjadi favoritnya adalah warung kopi 
milik Maryati Cui. Tapi sumpah mati, ujar Mbah Surip, bukan karena kecantikan 
Maryati Cui yang membuatnya betah berlama-lama di warung perempuan berdarah 
Cina itu.
    “Kopinya itu, loh…buket, gandem, dan…nuiiikmat,” katanya.

    Lantaran rasa kopi milik Maryati Cui yang nikmat itulah, yang buket itulah, 
maka spontan dari mulut Mbah Surip yang hitam oleh nikotin, muncul jargon 
spektakuler itu: I love you full.
    He he he. Sekarang, Anda sudah tahu sebagian kisah Mbah Surip dan asal-usul 
jargon I love you full, kan? Tapi awas, janganlah Anda mendesak Mbah Surip 
untuk mengartikannya. Sebab, jika beliau diberondong pertanyaan apa sih artinya 
I love you full, maka bisa jadi Anda akan sakit hati, seperti yang dialami oleh 
seorang kawan yang bertanya kepadanya tentang makna I love you full itu.
    “Apa sih artinya I love you full, Mbah…”
    “He he he…”
    “Mbah…”
    “He he he…”
    “Mbah!”

    “Apa?!”
    “Itu loh, artinya I love you full…”
    “Artinya…aku cinta padamu, goblok!”

    jodhi yudono
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to