Refleksi: Susu untuk anak sekolah di pedasan memang langkah bagus, tetapi barangkali perlu diketahui bahwa negeri tetangga NKRI , yaitu Timor Leste sekalipun termasuk salah satu negeri miskin di dunia, dikabarkan memberikan makan siang kepada anak-anak sekolah.
Bukan itu saja, malah diberikan pensiun untuk semua orang lanjut usia, tak banyak uang pensiun ini, tetapi bagaimana pun orang lanjut usia dapat menikmati hasil kekayaan alamnya (gas dan minyak). Bagaimana di NKRI Anda tentunya lebih paham masalahnya. http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=10346 2009-09-09 Susu untuk Anak Sekolah di Pedesaan Soekirman Beberapa bulan terakhir ini, sering terdengar rencana pemerintah pusat dan daerah untuk mengadakan program susu anak sekolah di pedesaan dan masyarakat miskin. Bahkan, ada partai dalam kampanyenya menjanjikan setiap anak akan minum susu. Sudah menjadi mitos di kalangan masyarakat dan pejabat, susu dianggap solusi dari masalah kekurangan gizi. Karena itu, susu menjadi program dunia yang disponsori oleh UNICEF dan US-AID. Tetapi, itu pada 1950-an sampai 1970-an. Sejak 1970-an, program dunia itu dihentikan. Mitos bahwa susu mengatasi masalah kurang gizi tidak terbukti. Masalah kekurangan gizi di negara penerima bantuan susu UNICEF dan USAID di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia, pada 1970-an tidak berkurang, malah meningkat. Bukti lain bahwa susu bukan "obat" mujarab dapat dilihat di India. Bangsa India sejak zaman dulu dikenal sebagai "Bangsa susu". Dengan kampanye "White Revolution"-nya, India dikenal sebagai "the World Leader of Milk Production". Tidak ada orang India, kaya dan miskin, yang sehari-harinya tidak minum susu. Suatu sumber menunjukkan, konsumsi susu di India rata-rata 200 gram per kapita per hari. Indonesia baru sekian cc per kapita per hari. Anehnya prevalensi anak kekurangan gizi di India adalah tertinggi di Asia. Berdasarkan berbagai penelitian, sejak 1970-an, susu bukanlah jawaban dari upaya mengatasi kurang gizi. Sebab masalah gizi adalah multifaktor, bukan hanya karena makanan, termasuk bukan karena susu (sapi). Meskipun demikian, tidak berarti susu tidak penting. Susu tetap penting, seperti halnya telur, ikan, daging, sebagai sumber protein hewani, bagi siapa saja, kecuali susu sapi untuk bayi 0 - 6 bulan yang hanya memerlukan ASI. Suatu angan-angan untuk menyediakan susu bagi setiap anak adalah angan-angan mulia, asal disadari bahwa beberapa infrastruktur yang harus disiapkan. Pertama, menyediakan tempat penyimpanan susu dengan suhu yang dapat mencegah susu tidak mudah rusak, tersedia air bersih, dan terjamin kebersihan lingkungan. Kedua, disediakan susu dengan rendah laktosa untuk mencegah terjadinya diare karena intoleransi laktosa. Banyak orang yang sehabis minum susu kembung, sakit perut dan diare. Program susu sekolah sebenarnya dibutuhkan, terutama oleh anak-anak miskin yang sebagian besar kekurangan gizi. Masalahnya, susu bagi masyarakat miskin menjadi minuman yang tidak aman, karena berbagai persyaratan agar susu menjadi makanan yang aman, seperti disebut di atas, sulit dicapai. Komoditas Impor Masalah lain, sebagian besar (75%) susu adalah komoditas impor. Termasuk komoditas mahal, yang tidak terjangkau daya beli rakyat banyak. Kalau dijadikan program, opportunity cost-nya terlalu-tinggi. Artinya, ada pilihan program yang lebih cost-effective, prorakyat dan petani kecil, yaitu telur. Karena itu susu seharusnya diperlakukan sebagai private goods (urusan swasta, keluarga, masyarakat) bukan public good (urusan pemeritah). Di negara mana saja berlaku dalil program gizi yang bergantung pada komoditas impor tidak akan sustainable. Ditinjau dari efektivitas program, banyak data menunjukkan bahwa program susu anak sekolah di negara berkembang tidak berhasil mengatasi masalah kekurangan gizi. Hal ini antara lain menyebabkan dihentikannya program susu UNICEF dan USAID, pada 1970-an. Demikian juga contoh mengenai susu di India seperti diuraikan di atas. Sedang dari sudut cost, baik untuk susu maupun logistik, program susu adalah program gizi termahal di antara program gizi lainnya, namun tidak efektif memecahkan masalah gizi. Karena berbagai masalah tersebut, program gizi di Indonesia tidak menggunakan susu, kecuali program susu UNICEF pada 1970-an. Program gizi lebih menekankan penggunaan bahan pangan sumber protein hewani, seperti, telur, ikan, dan unggas. Hal itu dilaksanakan dalam program makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) yang dimulai 1994. Entah atas desakan siapa, pada 1994, Presiden Soeharto pernah memerintahkan Ketua Bappenas Ginanjar Kartasasmita untuk memasukkan susu dalam Program PMT-AS di daerah tertinggal sebagai bagian dari program IDT. Menyadari banyaknya masalah program susu seperti diuraikan di muka, Bappenas tidak melaksanakan perintah tersebut. Penulis adalah Guru Besar (Em) Ilmu Gizi, IPB. [Non-text portions of this message have been removed]