Soal disertasi mungkin salah... bisa saja...

Tapi kalo sampe bilang, 
kritik thd hasil kerja Imam Bukhari dianggap membahayakan umat Islam,
ini teh orang beriman apa bukan ya... :-)

Barang siapa menyembah Kitab Al-Jami Al-Shahih... sesungguhnya kitab tersebut 
hanyalah buatan manusia yang sudah mati.
Barang siapa menyembah Allah, sesungguhnya  Allah tetap hidup.


  ----- Original Message ----- 
  From: cak lis 
  To: hidayatullah...@yahoogroups.com ; hidayatullahn...@yahoogroups.com ; 
arab-i...@yahoogroups.com ; alamisl...@yahoogroups.com ; 
cyberdak...@yahoogroups.com ; daarut-tauh...@yahoogroups.com ; 
flp-jep...@yahoogroups.com ; fos...@yahoogroups.com ; insist...@yahoogroups.com 
; islam_libe...@yahoogroups.com ; milis-ka...@yahoogroups.com ; 
muhammadiyah_soci...@yahoogroups.com ; myqu...@yahoogroups.com ; 
ppi_yorda...@yahoogroups.com ; ppmi-pakis...@yahoogroups.com ; 
syiar-is...@yahoogroups.com ; wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, September 30, 2009 10:21 AM
  Subject: [wanita-muslimah] Gugatan Terhadap Penggugat Imam Bukhari


    
  Gugatan Terhadap Penggugat Imam Bukhari 



  Monday, 28 September 2009 08:37 







     




  Bagaimana bisa dikatakan ilmiah sebuah
  disertasi doktor UIN yang mengkritisi metodologi periwayatan Hadits tapi ia
  mengambil maraji’ tokoh yang banyak dipermasalahkan?  Oleh: Kharis Nugroho, Lc
   Ada sebuah pepatah dalam bahasa Arab yang berbunyi, “Iqta al-asl fa saqata 
al-far.” (Tebanglah
  pohonnya, maka runtuhlah dahannya). Pepatah ini digunakan untuk
  menghilangkan suatu pengaruh pemikiran atau pendapat seseorang agar
  tidak diikuti oleh orang lain, yaitu dengan memojokkan orang yang
  mencentuskan pemikiran itu. Dalam konteks ke-Islaman, untuk
  menghilangkan kepercayaan umat Islam terhadap kedudukan Hadits Nabawi
  dalam Islam, maka musuh-musuh Islam membuat argumen-argumen yang
  bersifat melecehkan para ulama Hadits. Salah satu ulama Hadits menjadi
  sasaran utama pelecehan mereka adalah Imam al-Bukhari (w 256 H),
  pengarang kitab al-Jami’ as-Shahih.
   Adalah Ignaz Goldziher, - seorang orientalis asal
  Hungaria dari keluarga Yahudi – yang menjadi pelopor penggugat
  kredibilitas Imam Bukhari dalam periwayatan Hadits. Prof. Dr. MM Azami
  dalam bukunya Dirasat fil Hadits an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih
  menyatakan bahwa Ignaz Goldziher menuduh penelitian Hadits yang
  dilakukan oleh ulama klasik (terutama Imam Bukhari) tidak dapat
  dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal
  itu menurut Goldziher karena para ulama lebih banyak menggunakan metode
  Kritik Sanad, dan kurang menggunakan metode Kritik Matan. Karenanya,
  Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu Kritik Matan
  saja.
   Sebenarnya
  para ulama klasik sudah menggunakan metode Kritik Matan. Hanya saja apa
  yang dimaksud Kritik Matan oleh Goldziher itu berbeda dengan metode
  Kritik Matan yang digunakan oleh para ulama. Menurutnya, Kritik Matan
  Hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains,
  sosio-kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan sebuah Hadits yang
  terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dimana menurutnya Bukhari hanya
  melakukan Kritik Sanad dan tidak melakukan Kritik Matan. Sehingga
  setelah dilakukan Kritik matan oleh Goldziher, Hadits itu ternyata
  palsu.
   Diantara
  para penulis modern atau intelektual Islam yang mengikuti cara berfikir
  kaum orientalis ini adalah Profesor Ahmad Amin. Dalam bukunya Fajr
  al-Islam, ia ikut melecehkan kredibilitas ulama Hadits secara umum.
  Kemudian secara khusus, Imam Bukhari dihujatnya. Katanya, “Kita melihat
  sendiri, meskipun tinggi reputsi ilmiyahnya dan cermat penelitiannya,
  Imam Bukhari ternyata menetapkan Hadits-hadits yang tidak shahih
  ditinjau dari segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiyah, karena
  penelitian beliau hanya terbatas pada kritik sanad saja”.
   Menurut
  Ahmad Amin, banyak Hadits-hadits Bukhari yang yang tidak shahih, atau
  tepatnya palsu. Diantaranya adalah sebuah Hadits di mana Nabi saw.
  bersabda, “Seratus tahun lagi tidak ada orang yang masih hidup diatas
  bumi ini”. Hadits ini oleh Ahmad Amin dinilai palsu, karena ternyata
  setelah seratus tahun sejak Nabi saw. mengatakan hal itu masih banyak
  orang yang hidup diatas bumi ini.
   Ahmad
  Amin yang ikut ramai-ramai melecehkan Imam Bukhari ini ternyata keliru
  dalam memahami maksud hadits tersebut. Sebab yang dimaksud oleh Hadits
  itu bukanlah sesudah seratus tahun semenjak Nabi saw. mengatakan hal
  itu tidak akan ada lagi yang masih hidup di atas bumi ini, melainkan
  adalah bahwa orang-orang yang masih hidup ketika Nabi saw. mengatakan
  hal itu, seratus tahun lagi mereka sudah wafat semua. Dan ternyata
  memang demikian, sehingga Hadits itu oleh para ulama dinilai sebagi
  mukjizat Nabi saw.
   Di
  Indonesia, ada salah satu doktor di bidang Hadits yang terpengaruh oleh
  pemikiran seperti ini, terutama dalam mengkritik Imam Bukhari. Bahkan
  ia jadikan kritik ini sebagai disertasi dalam meraih gelar doktornya.
  Adalah Dr. Muhibbin Noor, seorang doktor di bidang Hadits lulusan UIN
  Sunan Kalijaga yang menulis buku Kritik Keshahihan Hadits Imam Bukhari,
  Telaah Kritis Atas Kitab al-Jami’ al-Shahih, yang menyatakan
  bahwa di dalam kitab al-Jami’ al-Shahih terdapat Hadits-hadits yang
  dhaif, palsu dan bertentangan dengan Al-Qur-an. 
   Dalam
  bukunya, Dr Muhibbin menyebutkan riwayat-riwayat yang bertentangan
  dengan Al-Qur-an ataupun dengan Hadits yang lain, antar lain Hadits
  tentang siksa mayit karena ditangisi keluarganya, Hadits tentang Isra
  Mi’raj, Hadits tentang Nabi saw. terkena sihir dan masih banyak lagi.
  Di dalam buku tersebut ada sekitar delapan riwayat yang dijadikan
  sample dalam mengkritisi kitab Jami’ as-Shahih. Amat disayangkan
  sekali, Dr. Muhibbin tidak banyak mengambil pendapat-pendapat ulama
  Hadits yang sudah mu’tabar dan mempunyai otoritas dalam keilmuan ini,
  akan tetapi rujukan yang dia ambil adalah orang-orang yang dalam
  mengkritisi Hadits banyak dipermasalahkan para ulama Hadits seperti
  Ahmad Amin, Syeikh Muhammad Ghozali, dan Abu Rayyah.
  Bagaimana bisa dikatakan ilmiyah sebuah disertasi yang mengkritisi metodologi 
periwayatan Hadits dalam al-Jami al-Shahih, ia mengambil maraji’ (sumber 
surjukan) tokoh yang banyak dipermasalahkan. Bagaimana Dr. Muhibbin mengklaim 
salah satu Hadits yang ada di dalam al-Jami al-Shahih bahwa
  Hadits itu bertentangan dengan Al-Qur’an dengan menukil pendapat Abu
  Rayyah yang mana tokoh ini oleh banyak ulama dianggap sebagai tokoh 
Inkarussunnah. 
   Dalam bukunya Adwa Ala as-Sunnah al-Muhammadiyah, Abu
  Rayyah juga memposisikan sahabat sebagaimana layaknya para perawi yang
  lain. Seorang sahabat bisa saja melakukan perbuatan sesuai dengan
  karakter manusia biasa. Diantara para sahabat mempunyai tingkatan yang
  berbeda-beda dalam menjaga moralitas dan integritasnya. Kalau sahabat
  yang mempunyai moralitas tinggi, bagi Abu Rayyah tidak menjadi masalah,
  tapi bagi para sahabat yang moralitasnya rendah, maka tidak layak untuk
  mendapatkan peringkat al-Adaalah. Dia tidak setuju dengan konsep
  `Adalah as-Sahaabah dalam periwayatan Hadits secara keseluruhan.
  Padahal, disamping adanya rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya,
  kredibilitas Sahabat (‘Adalah as-Shohabah) sebagai periwayat Hadits
  juga telah disepakati oleh para Ulama. Dalam buku al-Kifayah fi ‘Ilm 
ar-Riwayah, Al-Khatib
  Al-Baghdadi (w 463) menuturkan bahwa seluruh Sahabat memiliki
  kredibilitas sebagai periwayat Hadits adalah merupakan madzhab semua
  ulama, baik ulama Hadits maupun ulama Fiqh.
  Menanggapi
  tentang salah satu riwayat yang dikutip oleh Dr Muhibbin, yaitu Hadits
  Umar r.a. tentang siksa mayit karena ditangisi keluarganya yang
  diriwayatkan oleh Imam Bukhari. “Sesungguhnya mayat itu disiksa
  disebabkan karena sebagian tangis keluarganya terhadap mayat tersebut”.
  Di dalam bukunya, dia juga menyertakan riwayat Aisyah yang bertentangan
  dengan riwayat Umar tersebut yang berbunyi “Sesungguhnya Allah akan menambah 
siksa orang kafir karena ditangisi keluarganya”.
  Selain menyebutkan riwayat Aisyah ini, Dr Muhibbin juga mengutip
  Ayat-ayat Al-Qur’an yang menurutnya bertentangan dengan Hadits ini
  diantaranya An-Najm ayat 38-41 dan Al-An’am ayat 164.
   Dari
  argumen-argumen Dr. Muhibbin diatas, kalau kita lihat sepintas memang
  masuk akal, apalagi bagi masyarakat umum. Sebenarnya, cara semacam ini
  hampir sama dengan cara orientalis dalam mengecoh pembaca, yaitu dengan
  mendistorsi pendapat-pendapat ulama Hadits tentang penyelesaian suatu
  Hadits yang kelihatannya bertolak belakang atau kotroversial.
   Para
  Ulama sudah mempunyai metodologi dalam memaknai Hadits seperti ini.
  Karena Aisyah maupun Umar sama-sama tidak mungkin berdusta, maka para
  ulama telah menetapkan bahwa kedua versi hadits (riwayat Umar dan
  Aisyah) tersebut adalah shahih. Kedua Hadits itu memang kontroversial,
  maka para ulama kemudian memahaminya dengan melakukan pendekatan jamak,
  yaitu menggabungkan pengertian kedua versi tersebut. Sehingga maksud
  Hadits itu berbunyi: “Mayat yang kafir akan ditambahi siksanya apabila
  ditangisi keluarganya, dan mayat yang muslim akan disiksa apabila ia –
  sebelum mati – berpesan agar ditangisi keluarganya.” Adapun ayat-ayat
  yang disebutkan itu berkaitan dengan keduniaan. Sebagaimana surat
  al-An’am 164, yang menurut Ibn Qutaibah ini berkaitan dengan hukum
  dunia. Jadi di dunia, manusia tidak akan menanggung kesalahan orang
  lain.
   Tampaknya Dr.
  Muhibbin terlalu tergesa-gesa dalam menganalisa kontroversialitas
  Hadits ini tanpa melakukan metode jamak sebagaimana yang dilakukan
  ulama-ulama Hadits. Kalaupun tidak bisa dilakukan dengan metode jamak
  ini, para ulama juga masih mempunyai metode-metode alternatif lain
  yaitu metode naskh (Hadits yang dahulu dinyatakan dihapus masa
  berlakunya oleh hadits yang disabdakan belakangan), metode tarjih
  (meneliti Hadits yang mana memiliki kualitas ilmiyah tertinggi diantara
  Hadits-hadits yang kontroversial tadi), dan metode tawaquf (maksudnya
  Hadits-hadits yang kontroversial dibiarkan saja sementara, seraya terus
  diteliti mana yang mungkin dapat meningkat kualitasnya), dan tampaknya
  metode ini juga tidak dilakukannya. 
   Para
  Ulama Hadits telah memberikan perhatian serius terhadap masalah ini.
  Menurut para Ulama Hadits, Imam Syafi’i (w 204 H) adalah orang yang
  pertama kali membahas kontroversialitas Hadits dalam kitabnya Ikhtilaf
  Al-Hadits. Kemudian Imam Ibnu Qutaibah ad-Dainuri (w 276 H) juga
  mengkaji masalah ini dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits.
  Berikutnya, Imam Ibnu Jarir (w 310 H) dan Imam at-Tahawi (w 321 H) juga
  membahas dalam kitab Musykil al-Atsar. Sementara Imam Ibnu Khuzaimah (w
  311 H) disebut-sebut sebagai orang yang melakukan kajian paling bagus
  dalam masalah ini sampai beliau berkata, “Saya tidak mengetahui lagi
  ada dua Hadits yang kontroversial maknanya. Apabila masih ada orang
  yang menemukan hal itu, bawalah kepada saya, saya akan menjelaskan
  maksud Hadits-hadits itu”.
   Seorang
  pakar Hadits asal Indonesia, Prof. Dr. Ali Musthafa Yaqub dalam bukunya
  Kritik Hadis menyatakan, adalah suatu tindakan yang sangat gegabah dan
  tidak ilmiyah sama sekali apabila ada orang yang terburu-buru menvonis
  bahwa suatu Hadits itu palsu –menurut penilaiannya-  karena
  bertentangan dengan nalar yang sehat, bertentangan dengan Al-Quran, dan
  bertentangan dengan Hadits yang lain yang sederajat kualitasnya,
  sebelum ia memeriksa karya tulis para ulama dahulu yang membahas
  masalah tersebut. Sebab, ketidaktahuan seseorang dalam memahami maksud
  suatu Hadits tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa Hadits
  tersebut palsu. 

  Di sinilah letak ketidak ilmiyahan Dr.
  Muhibbin dalam menvonis bahwa dalam Hadits-hadits Bukhari terdapat
  riwayat-riwayat yang palsu dan bertentangan dengan Al-Quran. Disamping
  kritik Dr. Muhibbin ini tidak ilmiyah, juga akan berakibat fatal
  terhadap umat Islam karena manakala kepercayaan umat islam terhadap
  Imam Bukhari dalam kitabnya al-Jami al-Shahih sudah tumbang, akan
  tumbang pula kepercayaan mereka terhadap Hadits Nabawi, terutama yang
  diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang merupakan kitab paling Shahih
  setelah Al-Qur’an. Sebuah kritik yang kurang pantas dilakukan oleh
  seseorang yang mengaku doktor di bidang Hadits.
   Peserta Program Kaderisasi Ulama Institut Study Islam Darussalam Gontor  

  [Non-text portions of this message have been removed]



  

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke