http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=10668

2009-09-26 
Orangtua Termakan Iklan Sekolah Gratis


SP/Alex Suban

Spanduk pengumuman biaya sekolah gratis di SD Negeri Kebayoran Lama, Jakarta 
Selatan, sedangkan di daerah lain masih sebatas impian.

[DEPOK] Iklan sekolah gratis dari Depdiknas yang ditayangkan berulang-ulang di 
televisi, benar-benar menyesatkan dan membohongi publik. Kalau saja apa yang 
diiklankan itu faktanya benar, memang sangat bagus dan ditunggu-tunggu 
masyarakat, tetapi masalahnya adalah, kenyataannya tidak seperti yang 
digambarkan di iklan tersebut.

Pengakuan itu dilontarkan seorang guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Beji, 
Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/9) pagi. Guru yang tak mau disebut identitasnya 
itu mengatakan, meskipun materi iklan itu akhirnya berubah dari sebelum 
kampanye, dampaknya tetap saja menyesatkan, karena orangtua murid sudah 
termakan dengan iklan sebelumnya.

Menurutnya, di Depok memang sudah memberlakukan pendidikan gratis, terutama 
yang menyangkut operasional sekolah yang dibiaya pemerintah melalui dana 
bantuan operasioanl sekolah (BOS), tetapi dana itu tidak menutup biayai 
kebutuhan lain di sekolah yang seharusnya perlu. Hanya saja, ketika mau meminta 
sumbangan kepada orangtua murid, mereka sudah berkilah dengan sekolah gratis 
yang mereka artikan sekolah tanpa pungutan apa pun.

"Kami tidak berani meminta apa-apa dari orangtua. Sebab, nanti dikira sekolah 
melakukan pungutan," katanya.

Senada dengan itu, salah seorang guru di SDN 02 Lebak bulus, Jakarta Selatan 
sebelumnya juga mengakui, program sekolah gratis memang sangat membantu 
orangtua murid, karena mereka tidak lagi harus membayar uang pangkal ataupun 
iuran per bulan si anak. Tetapi sebaliknya, bagi pihak sekolah, anggaran untuk 
sekolah gratis dirasakan masih kurang. 

Akibatnya, katanya, pihak sekolah harus bekerja keras mencari cara untuk 
memenuhi kekurangannya. "Anggaran itu kurang, terlebih pada sekolah yang 
mempunyai banyak kegiatan ekstrakurikuler dan itu sangat terasa ketika sekolah 
mengikuti lomba ekstrakurikuler," ujarnya.


Hanya Impian

Sementara itu, para orangtua murid SD atau madrasah ibtidaiyah (MI) dan sekolah 
menengah pertama (SMP) atau madrasah tsanawiyah (MTs) di Kota Malang, Jawa 
Timur yang berjumlah sekitar 107.834 orang, hanya dapat tersenyum kecut. 
Pasalnya, dana BOS yang dikucurkan pemerintah pusat, belum mencukupi untuk 
program sekolah gratis di Kota Malang, sementara pemerintah setempat belum 
menyediakan dana bantuan operasional pendidikan daerah (bopda) yang seharusnya 
dianggarkan melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). 

Wali Kota Malang Drs Peni Suparto MAP, belum lama ini mengatakan, justru dengan 
adanya kenaikan suntikan dana BOS 2009/2010 dari pusat, pihaknya meniadakan 
dana pendamping atau bopda. "Kita manfaatkan dulu BOS dari Pempus yang dikirim 
langsung ke rekening masing-masing sekolah, sehingga pengelolaan dan 
penggunaannya langsung diatur oleh sekolah yang bersangkutan," kata Peni.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang HM Shofwan sendiri menyatakan melarang SD 
dan SMP menarik uang SPP. Alasannya, dana BOS sudah mencukupi untuk menutupi 
biaya operasional sekolah. Jadi, SPP harus gratis. 

Kepala Sekolah (Kasek) SMPN 8 Malang, Drs Gunarso mengatakan akan menerapkan 
ketentuan tersebut, karena dana BOS sudah cukup untuk memenuhi kegiatan 
operasional sekolah. Namun, karena sekolahnya tetap berusaha meningkatkan 
kualitas hasil pendidikan, minimal di atas SNP, maka bersama-sama komite 
sekolah, selaku lembaga wakil para orangtua siswa, tetap meminta pengertiannya 
untuk membantu dana sumbangan pengembangan pendidikan (SBPP). 

Koordinator Badan Pekerja Malang Corruption Watch (MCW), Zia Ul Haq, mendesak 
Dinas Pendidikan Kota Malang membentuk tim pengawas khusus dana BOS. Menurut 
dia, selama ini penggunaan dana BOS di Kota Malang banyak bermasalah, seperti 
adanya mark up data siswa dan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan 
peruntukannya. "Ini harus diawasi oleh tim khusus dan nantinya pelanggar harus 
diberi sanksi," katanya.

Dia mengingatkan pula tentang modus untuk menghabiskan anggaran dana BOS dan 
menarik dana dari orangtua murid di tahun sebelumnya. Pihak sekolah bersama 
komite sekolah membuat anggaran pengeluaran yang tidak realistis untuk 
penggunaan dana BOS. Dari anggaran itu, pihak sekolah punya alasan untuk 
menarik dana dari orang- tua murid. Akibatnya, dana BOS seolah tidak mencukupi 
untuk operasional sekolah, sehingga sekolah memiliki alasan untuk menarik dana 
dari orangtua siswa, jadilah program sekolah gratis itu hanya impian. [W-12/070]

++++

http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=10692

2009-09-28 

Cabut Iklan Sekolah Gratis                                                      
                                                                  

[JAKARTA] Ketua Klub Guru Ahmad Rizali menegaskan, Depdiknas harus segera 
mencabut iklan sekolah gratis karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. 
Kalau mau sekolah digratiskan, tidak perlu digembor-gemborkan melalui iklan. 

Rizali kepada SP di Jakarta, Minggu (27/9) menegaskan, kalaupun sekolah gratis 
direalisasikan, seharusnya dilakukan dengan pengawasan ketat. Dikatakan, 
daripada mengiklankan sekolah gratis yang tidak jelas maknanya lebih baik 
pemerintah mengimbau guru atau masyarakat untuk lebih peduli kepada anak-anak 
yang belum atau tidak mengenyam pendidikan untuk disekolahkan. 

"Guru harus proaktif, jika melihat anak-anak di sekitar sekolah mereka yang 
tidak sekolah karena ketidakmampuan orangtuanya. Sekolah atau guru harus 
menarik anak-anak itu untuk bersekolah. Bukankah tunjangan guru sudah besar. 
Itu lebih bijaksana," katanya.


Korupsi Dana BOS

Sementara itu, peneliti bidang pendidikan Indonesia Corruption Watch (ICW), 
Febri Hendri, secara terpisah di Jakarta, Minggu menyatakan, penyelewengan dana 
bantuan operasional sekolah (BOS) merupakan ironi sekolah gratis. Sebab, 
sekitar 60 persen sekolah menyelewengkan dana BOS dan pungutan malah marak di 
sekolah. 

Disebutkan, dana BOS yang ditilap mencapai Rp 13,7 juta per sekolah. Buktinya, 
berdasarkan audit (Badan Pengawas Keuangan (BPK) diketahui bahwa terdapat 6 
dari 10 sekolah menyimpangkan dana BOS. Selain itu, katanya, ICW juga menemukan 
beberapa dinas kabupaten/kota mengarahkan pengelolaan dana alokasi khusus (DAK) 
kepada pihak ketiga. 

Temuan ICW, terdapat pula dana sekitar Rp 852,7 miliar yang berpotensi 
diselewengkan dalam pengelolaan anggaran Departemen Pendidikan Nasional 
(Depdiknas). Dia mengemukakan, Depdiknas juga dinilai gagal dalam mengelola 
anggaran pendidikan yang besar, karena laporan keuangan Depdiknas hanya bisa 
mendapat status opini Wajar Dengan Pengecualian pada tahun 2008 dari BPK.

Dikatakan, tingginya dana yang berpotensi untuk diselewengkan tersebut 
merupakan ironi di tengah meningkatnya anggaran pendidikan dan anggaran 
Depdiknas. "Depdiknas saat ini merupakan penyandang alokasi anggaran yang 
paling besar," katanya. 

Dia mengingatkan, Depdiknas periode 2004-2009 mengelola anggaran 115 persen 
lebih besar dari periode sebelumnya. ICW juga menyatakan penindakan kasus 
korupsi di sektor pendidikan masih sangat rendah, antara lain karena penegak 
hukum terkesan tidak terlalu serius dalam mengurus jenis kasus korupsi bidang 
pendidikan.

"Penindakan kasus korupsi pendidikan masih sangat rendah dibandingkan dengan 
besaran alokasi pendidikan dan potensi korupsi pendidikan berdasarkan audit 
BPK," katanya. 

Menurutnya, penindakan kasus korupsi pendidikan hanya menjerat pelaku di 
tingkat dinas pendidikan dan sekolah. Sementara banyak pelaku di tingkat 
departemen dan DPR masih bebas. Sejauh ini, sebanyak 287 pelaku telah 
ditetapkan sebagai tersangka yang sebagian besarnya berasal dari dinas 
pendidikan sebanyak 42 orang dan jajarannya sebanyak 67 orang.

"Penindakan kasus korupsi pendidikan masih sangat rendah dibandingkan dengan 
besaran alokasi pendidikan dan potensi korupsi pendidikan berdasarkan audit 
BPK," katanya. 

Koordinator Koalisi Pendidikan Lody Paat mengemukakan, korupsi sangat 
menghambat kemajuan pendidikan. "Korupsi di sekolah akan meninggalkan jejak 
kepada anak-anak dan bisa mengganggu perkembangan moral mereka," katanya. [W-12




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke