Bidadari itu Dibawa Jibril (Cerpen)

29 Oktober 2009 10:26:29

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai
busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat.
Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama,
seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak
kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di
perguruan tinggi. Ketika di perguruan tinggi dia justru seperti mendapat
kesempatan lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.



Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang
semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat
sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur
terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah--dia
biasa memanggilnya ukhti--jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia
akan menyemprotnya dengan lugas.


Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang
gelas tangan kiri, "Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammun;"
katanya, "Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik,
menggunakan tangan kanan!" Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena
merokok. "Merokok itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak
Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan
hal buruk seperti itu." Dia juga pernah menegur terang-terangan dosennya
yang memelihara anjing. "Bapak tahu enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu
najis dan malaikat tidak mau datang ke rumah orang yang ada anjingnya!"


Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam, Hindun
selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan
kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak dilakukan
oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka.
Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam melakukan perbuatan yang
menurutnya tidak rasional, langsung dia mengecapnya sebagai klenik atau
bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut mengoordinasi berbagai
demonstrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya
sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang
muridnya berjilbab; hingga demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat
Islam secara murni. Mungkin karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si
bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tetapi juga tidak kelihatan senang
dijuluki begitu. Yang penting menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu
menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum
yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama.


Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian dari
keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena
itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika
beberapa lama kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian
bertambah, tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak
berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun
sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu,
dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam
melakukan amar makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal,
justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh
dia.*


Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu
sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi. Saling bertanya
kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri
pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak
terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu, ketika Mas
Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan.


Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.Setelah
saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, "Mas, Sampeyan sudah
dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru lo?

"Syeikh baru?" tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar."Ya, syeikh baru.
Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.


"Siapa, mas?" tanyaku benar-benar ingin tahu."Jibril, mas. Malaikat
Jibril!""Jibril?" aku tak bisa menahan tertawaku.


Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda
atau tidak."Jangan ketawa! Ini serius!


"Wah. Katanya, bagaimana rupanya?" aku masih kurang percaya."Dia tidak
cerita rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan.


"Saya ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar
serius, jadi kutahan-tahan juga tawaku. "Bagaimana ceritanya, mas?


"Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi
musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman;
pengajian pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu
didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung
mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam
mulutnya.


"Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?""Lo, malaikat
Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud
saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam
yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.


"Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!" selaku,
"Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur
itu, pernah digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang
terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40
sufi dengan cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul
Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.


"Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya
lo."Wah."Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia
akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun.


Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin
memurnikan agama itu kini "hanya" menjadi pengikut sebuah aliran yang
menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah
Mahakuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.


Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu.
Kali ini, dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti khawatir.


"Wah, mas; Hindun baru saja membakar diri. "Apa, mas?" aku terkejut setengah
mati, "membakar diri bagaimana?


"Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk
membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka
dengan spritus kemudian membakarnya.


"Hei," aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah
mendengar di luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh
diri.


"Yang lucu, mas," suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, "gurunya itu
yang paling banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang
paling banyak dosanya ya, mas?!


"Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon."Doakan sajalah
mas!" kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.


Beberapa hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya
kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan
jemaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki
dunia yang sudah rusak ini.


"Pernah pulang sebentar, mas" kata Mas Danu di telepon, "dan Sampeyan tahu
apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari
mana?"***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba
menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada hujan tak
ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: "Mas, Hindun
sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak
puasa. (Danu).


"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS
itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan
perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.


Rembang, Akhir Ramadan 1423

Pernah dimuat di media Indonesia, 3 September 2003



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke