http://jawapos.com/index.php?act=cetak&id=28

[ Selasa, 10 November 2009 ] 

Pahlawan Negeri Tengkulak 
Oleh: Nadlifah Hafidz

SUDAH sering julukan tidak menyenangkan, memalukan, dan memilukan dialamatkan 
kepada negeri ini. Salah satu "gelar tidak terhormat" yang dilabelkan kepada 
kita adalah "negeri serbatidak pasti". Kalaupun ingin mendapatkan, kepastian 
sangatlah ditentukan oleh pengaruh bermainnya dan dominannya kekuatan elite 
tertentu. Ketika kekuatan itu bermain dan menunjukkan superioritasnya, 
kepastian bisa diperoleh. 

Mengapa banyak investor yang lari atau tidak mau berurusan dengan negeri ini? 
Salah satu alasannya, 65 persen menyebut "negeri ini serbatidak pasti". 
Julukannya memang negeri dengan superioritas aturan (hukum). Tetapi dalam 
kenyataannya, norma itu sering dipelesetkan atau diselingkuhi oleh aparatnya 
sehingga tidak mempunyai kekuatan yang mengikatnya secara de jure. 

"Gelar tak terhormat" tersebut terkait dengan sikap sebagian elite penegak 
hukum, birokrat, dan elite politik yang masih bercorak tengkulak -yang gampang 
menjadikan hak-hak rakyat atau pencari keadilan diperas dan dirampok. Kalau 
perlu, keringatnya bisa dipaksa terkuras habis hingga tinggal tulang 
belulangnya. 

Di antara golongan strategis itu, mudah ditemukan mental menoleransi dan 
menghalalkan berbagai bentuk penjualan atau pembisnisan aset-aset rakyatnya. 
Berbagai sumber daya rakyat digali, dieksploitasi, dan dikomoditaskan guna 
memperbesar pundi-pundi keuntungan ekonomi. Bahkan, sumber hukum yang menjadi 
kekayaan istimewa negara pun ikut "diperjualbelikannya". 

Target memperkaya diri dan kelompok serta meningratkan status sosial sudah 
membuat mereka itu layaknya segerombolan "pembunuh berdarah dingin" yang 
menebar ancaman kematian dan penghancuran kredibilitas di mana-mana. Meski 
mereka tak membuat rakyat mati mengenaskan secara langsung, namun karena 
perbuatannya, keberdayaan dan keberlanjutan hidup rakyat terkeroposi. 

Rakyat tak ubahnya kantong basah yang terus menerus dikuras dan diperasnya 
supaya konstruksi kekuatannya habis. Apa saja yang masih melekat dalam diri 
rakyat terus dicari, kemudian dikalkulasi secara matematis nilai keuntungan 
yang bisa diperolehnya jika dijadikan objek jual baik kepada pebisnis di dalam 
negeri maupun kalangan sindikat global (Muchsin, 2008). 

***

Dalam buku masterpiece-nya yang berjudul Republic, Plato mengingatkan kita 
melalui pesannya, "Penguasa itu dima­natkan oleh Tuhan pertama-tama dan 
terutama agar mereka menjadi penjaga yang baik (good guardians) sebaik seperti 
terhadap anak mereka sendiri." 

Pesan Plato itu sangatlah sarat muatan moral-edukatif atau mengandung dimensi 
etika dan pendidikan. Pesan sang filsuf ditujukan kepada komunitas elite yang 
sedang menduduki posisi jabatan strategis, yang dikenal dengan elitisme 
kekuasaan. Itu dilakukan supaya saat jadi pemimpin atau pejabat, mereka ingat 
dan giat menegakkan amanat yang dipercayakan kepadanya. 

Kepentingan publik merupakan kepentingan yang dibahasakan dari realitas 
kehidupan masyarakat. Aspirasi masyarakat tidak boleh dikalahkan, apalagi 
dikorbankan oleh kepentingan bersifat pribadi, keluarga, dan golongan. Upaya 
memprioritaskan kepentingan masyarakat ini sangat ditentukan oleh moralitas dan 
karakter pejabat berwenang. 

Persoalannya, apakah pejabat ini paham, cerdas nurani, dan menyadari bahwa di 
pundaknya ada kepentingan masyarakat dan citra diri sebagai bangsa bermartabat 
yang harus diperjuangkannya, yang menuntutnya menjadi pahlawan. 

***

Rakyat berada dalam kesulitan besar di tangan pemimpin yang sibuk mencari 
kemudahan untuk dirinya. Rakyat tertindas dan tidak berdaya ketika pemimpin 
sengaja mengabaikan atau mengomoditaskan amanat kepemimpinannya. Sebaliknya, 
rakyat akan bisa menikmati hidup makmur, bahagia, dan berdaulat di tangan 
pemimpin yang punya jiwa kesatria, bijak, dan arif. 

Negara-negara lain akan mengacungkan jempol kepada bangsa ini lewat keteladanan 
keadilan dan sikap kemanusiaan pemimpin negeri ini. Dari sikap adiluhung itu, 
jiwa bangsa menjadi agung, tak dicibir, dan diperlakukan oleh bangsa-bangsa 
lain sebagai "bangsa yang serbatidak pasti" atau "pastinya hanya mempermainkan 
hak keadilan" orang dan bangsa lain. 

Kalau pemimpin republik ini bermental tengkulak atau tak punya keberanian 
menunjukkan independensinya, negara-negara lain pun akan menempatkannya sebagai 
peluang empuk untuk mempermainkan. Katakanlah pemimpin negeri ini masih sulit 
melepaskan mentalitas tengkulaknya, tak bisa disalahkan jika elemen bangsa ini 
akan kian kental dengan julukan sebagai bangsa yang rentan diperjualbelikan. 

Mantan presiden dan Proklamator RI Soekarno pernah bilang bahwa "Kita ini bukan 
kumpulan bangsa kuli (nation of coolies) yang mau saja dijajah oleh negara 
asing. Harus kita tegakkan kepala sebagai bangsa yang bermartabat, mandiri, dan 
kuat, bukan sebagai bangsa yang diperbudak. Harus kita bangun mentalitas bangsa 
ini supaya tidak direndahkan, diinjak-injak, apalagi diperbudak oleh bangsa 
lain". 

Pernyataan Bung Karno saat pidato proklamasi itu dimaksudkan untuk mengingatkan 
atau menyadarkan masyarakat Indonesia, khususnya segenap komunitas elite 
pemimpin negeri ini supaya punya keberanian menjadi pahlawan. Kita diingatkan 
tentang nasionalisme yang sesungguhnya, suatu bentuk kecintaan terhadap negara 
dan masyarakat independen, bukan sebagai bangsa yang suka diinjak-injak oleh 
bangsa atau negara lain. (*)

*). Nadlifah Hafidz, pekerja pada sebuah lembaga penerbitan dan peneliti 
masalah anak-anak dan perempuan 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke