Penelitiannya tentang Mumi Firaun membawanya pada kebenaran Alquran.

Suatu hari di pertengahan tahun 1975, sebuah tawaran dari pemerintah
Prancis datang kepada pemerintah Mesir. Negara Eropa tersebut
menawarkan bantuan untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi
Firaun. Tawaran tersebut disambut baik oleh Mesir. Setelah mendapat
restu dari pemerintah Mesir, mumi Firaun tersebut kemudian digotong ke
Prancis. Bahkan, pihak Prancis membuat pesta penyambutan kedatangan
mumi Firaun dengan pesta yang sangat meriah.

Mumi itu pun dibawa ke ruang khusus di Pusat Purbakala Prancis, yang
selanjutnya dilakukan penelitian sekaligus mengungkap rahasia di
baliknya oleh para ilmuwan terkemuka dan para pakar dokter bedah dan
otopsi di Prancis. Pemimpin ahli bedah sekaligus penanggung jawab utama
dalam penelitian mumi ini adalah Prof Dr Maurice Bucaille.

Bucaille adalah ahli bedah kenamaan Prancis dan pernah mengepalai
klinik bedah di Universitas Paris. Ia dilahirkan di Pont-L’Eveque,
Prancis, pada 19 Juli 1920. Bucaille memulai kariernya di bidang
kedokteran pada 1945 sebagai ahli gastroenterology. Dan, pada 1973, ia
ditunjuk menjadi dokter keluarga oleh Raja Faisal dari Arab Saudi.
Tidak hanya anggota keluarga Raja Faisal yang menjadi pasiennya.
Anggota keluarga Presiden Mesir kala itu, Anwar Sadat, diketahui juga
termasuk dalam daftar pasien yang pernah menggunakan jasanya.

Namanya mulai terkenal ketika ia menulis buku tentang Bibel,
Alquran, dan ilmu pengetahuan modern atau judul aslinya dalam bahasa
Prancis yaitu La Bible, le Coran et la Science di tahun 1976.
Ketertarikan Bucaille terhadap Islam mulai muncul ketika secara
intens dia mendalami kajian biologi dan hubungannya dengan beberapa
doktrin agama. Karenanya, ketika datang kesempatan kepada Bucaille
untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun, ia
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menguak misteri di balik
penyebab kematian sang raja Mesir kuno tersebut.
Ternyata, hasil akhir yang ia peroleh sangat mengejutkan! Sisa-sisa
garam yang melekat pada tubuh sang mumi adalah bukti terbesar bahwa dia
telah mati karena tenggelam. Jasadnya segera dikeluarkan dari laut dan
kemudian dibalsem untuk segera dijadikan mumi agar awet.
Penemuan tersebut masih menyisakan sebuah pertanyaan dalam kepala
sang profesor. Bagaimana jasad tersebut bisa lebih baik dari
jasad-jasad yang lain, padahal dia dikeluarkan dari laut?
Prof Bucaille lantas menyiapkan laporan akhir tentang sesuatu yang
diyakininya sebagai penemuan baru, yaitu tentang penyelamatan mayat
Firaun dari laut dan pengawetannya. Laporan akhirnya ini dia terbitkan
dengan judul Mumi Firaun; Sebuah Penelitian Medis Modern, dengan judul
aslinya, Les momies des Pharaons et la midecine. Berkat buku ini, dia
menerima penghargaan Le prix Diane-Potier-Boes (penghargaan dalam
sejarah) dari Academie Frantaise dan Prix General (Penghargaan umum)
dari Academie Nationale de Medicine, Prancis.
Terkait dengan laporan akhir yang disusunnya, salah seorang di
antara rekannya membisikkan sesuatu di telinganya seraya berkata:
”Jangan tergesa-gesa karena sesungguhnya kaum Muslimin telah berbicara
tentang tenggelamnya mumi ini”. Bucaille awalnya mengingkari kabar ini
dengan keras sekaligus menganggapnya mustahil.
Menurutnya, pengungkapan rahasia seperti ini tidak mungkin diketahui
kecuali dengan perkembangan ilmu modern, melalui peralatan canggih yang
mutakhir dan akurat.
Hingga salah seorang di antara mereka berkata bahwa Alquran yang
diyakini umat Islam telah meriwayatkan kisah tenggelamnya Firaun dan
kemudian diselamatkannya mayatnya.
Ungkapan itu makin membingungkan Bucaille. Lalu, dia mulai berpikir
dan bertanya-tanya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bahkan,
mumi tersebut baru ditemukan sekitar tahun 1898 M, sementara Alquran
telah ada ribuan tahun sebelumnya.
Ia duduk semalaman memandang mayat Firaun dan terus memikirkan hal
tersebut. Ucapan rekannya masih terngiang-ngiang dibenaknya, bahwa
Alquran–kitab suci umat Islam–telah membicarakan kisah Firaun yang
jasadnya diselamatkan dari kehancuran sejak ribuan tahun lalu.

Sementara itu, dalam kitab suci agama lain, hanya membicarakan
tenggelamnya Firaun di tengah lautan saat mengejar Musa, dan tidak
membicarakan tentang mayat Firaun. Bucaille pun makin bingung dan terus
memikirkan hal itu.
Ia berkata pada dirinya sendiri. ”Apakah masuk akal mumi di depanku
ini adalah Firaun yang akan menangkap Musa? Apakah masuk akal, Muhammad
mengetahui hal itu, padahal kejadiannya ada sebelum Alquran diturunkan?”

Prof Bucaille tidak bisa tidur, dia meminta untuk didatangkan Kitab
Taurat (Perjanjian Lama). Diapun membaca Taurat yang menceritakan:
”Airpun kembali (seperti semula), menutupi kereta, pasukan berkuda, dan
seluruh tentara Firaun yang masuk ke dalam laut di belakang mereka,
tidak tertinggal satu pun di antara mereka”.
Kemudian dia membandingkan dengan Injil. Ternyata, Injil juga tidak
membicarakan tentang diselamatkannya jasad Firaun dan masih tetap utuh.
Karena itu, ia semakin bingung.

Berikrar Islam

Setelah perbaikan terhadap mayat Firaun dan pemumiannya, Prancis
mengembalikan mumi tersebut ke Mesir. Akan tetapi, tidak ada keputusan
yang mengembirakannya, tidak ada pikiran yang membuatnya tenang
semenjak ia mendapatkan temuan dan kabar dari rekannya tersebut, yakni
kabar bahwa kaum Muslimin telah saling menceritakan tentang
penyelamatan mayat tersebut. Dia pun memutuskan untuk menemui sejumlah
ilmuwan otopsi dari kaum Muslimin.
Dari sini kemudian terjadilah perbincangan untuk pertama kalinya
dengan peneliti dan ilmuwan Muslim. Ia bertanya tentang kehidupan Musa,
perbuatan yang dilakukan Firaun, dan pengejarannya pada Musa hingga dia
tenggelam dan bagaimana jasad Firaun diselamatkan dari laut.
Maka, berdirilah salah satu di antara ilmuwan Muslim tersebut seraya
membuka mushaf Alquran dan membacakan untuk Bucaille firman Allah SWT
yang artinya: ”Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu
dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan
sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan
Kami.” (QS Yunus: 92).

Ayat ini sangat menyentuh hati Bucaille. Ia mengatakan bahwa ayat
Alquran tersebut masuk akal dan mendorong sains untuk maju. Hatinya
bergetar, dan getaran itu membuatnya berdiri di hadapan orang-orang
yang hadir seraya menyeru dengan lantang: ”Sungguh aku masuk Islam dan
aku beriman dengan Alquran ini”.
Ia pun kembali ke Prancis dengan wajah baru, berbeda dengan wajah
pada saat dia pergi dulu. Sejak memeluk Islam, ia menghabiskan waktunya
untuk meneliti tingkat kesesuaian hakikat ilmiah dan penemuan-penemuan
modern dengan Alquran, serta mencari satu pertentangan ilmiah yang
dibicarakan Alquran.

Semua hasil penelitiannya tersebut kemudian ia bukukan dengan judul
Bibel, Alquran dan Ilmu Pengetahuan Modern, judul asli dalam bahasa
Prancis, La Bible, le Coran et la Science. Buku yang dirilis tahun 1976
ini menjadi best-seller internasional (laris) di dunia Muslim dan telah
diterjemahkan ke hampir semua bahasa utama umat Muslim di dunia.
Karyanya ini menerangkan bahwa Alquran sangat konsisten dengan ilmu
pengetahuan dan sains, sedangkan Al-Kitab atau Bibel tidak demikian.
Bucaille dalam bukunya mengkritik Bibel yang ia anggap tidak konsisten
dan penurunannya diragukan. dia/sya/berbagai sumber
:http://halaqohdakwah.wordpress.com/2009/07/15/maurice-bucaille-tak-ragu-dengan-kebenaran-alquran/
        
        
        
                endyarasy
        
                Agustus 16, 2009 at 6:19 pm                     
        
        
        
        
                        
        

        
        
                
        
        
        Maurice
Bucaille (born July 19, 1920-1998[1]) in Pont-L’Eveque, France; son of
Maurice and Marie (James) Bucaille[2] was a French medical doctor,
member of the French Society of Egyptology, and author. Bucaille
practiced medicine from 1945-82 and was a specialist in
gastroenterology.[2] In 1973, Bucaille was appointed family physician
to King Faisal of Saudi Arabia. Other of his patients at the time
included members of the family of President Anwar Sadat of Egypt.[3] In
1976, while still in the service of the king, he published his book,
The Bible, The Qur’an and Science which argued that the Qur’an contains
no statements contradicting established scientific fact[4]. In 1991,
another book by Bucaille, Mummies of the Pharaos: Modern Medical
Investigations, was published in English.
The Bible, The Qur’an and Science
In his book, The Bible, The Qur’an and Science,[5] Bucaille aims to
prove the Qur’an is in agreement with scientific facts, while the Bible
is not. He claims that in Islam, science and religion have always been
“twin sisters” (vii). According to Bucaille, there are monumental
errors of science in the Bible and not a single error in the Quran
(120), whose descriptions of natural phenomena make it compatible with
modern science. Bucaille concludes that the Qur’an is the reliable word
of God.
Bucaille argues that the Old Testament should have been distorted
because of numerous translations and corrections as it was transmitted
orally. He highlights, in his words, “numerous disagreements and
repetitions”, in the Old Testament (12) and the Gospels (85, 95). In
his analysis, Bucaille claims he makes use of many propositions of
Biblical criticism, such as the Documentary hypothesis.

With regard to the Qu’ran, Bucaille however followed the Islamic
tradition that the Quranic scrolls are said to be collected during
Muhammad’s lifetime and were deemed accurate by the archangel Gabriel
himself (132).

Source :http://en.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille
        


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke