http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/8057-pembaruan-hukum-yang-sia-sia-oleh-mariyadi-faqih.html


      Jumat, 13 November 2009 10:55  

      Pembaruan Hukum yang Sia-Sia 
      Oleh: Mariyadi Faqih  



      MASIH perlukah pembaruan hukum atau produk baru peraturan 
perundang-undangan di negeri ini? Haruskah negeri yang beridiom "negara" hukum 
ini membutuhkan karya-karya legislatif untuk mengisi khazanah dunia peradilan 
atau memediasi pencari keadilan? Atau, sudah tidak perlukah negeri ini 
dibingkai oleh kekuatan legal formal (de jure) untuk memenuhi aspirasi pencari 
keadilan dan mewujudkan keadaban publik?

      Syafi'i Ma'arif (2009) mengatakan, di negeri ini memang banyak aparat 
penegak hukum tidak baik dan orang-orang "busuk". Tetapi, tidak sedikit pula 
aparat penegak hukum yang baik dan tetap berjuang menjaga kewibawaan negeri 
ini. Jika asumsi itu benar, tentulah suatu produk hukum, betapa pun mahalnya, 
tetap diperlukan. Asalkan, produk hukum tersebut bertujuan untuk menegakkan 
kebaikan atau diorientasikan mendukung atau menjembatani kepentingan 
masyarakat. Di antaranya, keadilan publik (public justice). 

      Apa yang disampaikan mantan ketua PP Muhammadiyah itu sebenarnya mengajak 
kita, khususnya elemen struktural atau elite strategis negara, untuk bersikap 
optimistik bahwa pembaruan haruslah terus mengalir seperti air. Pembaruan harus 
didorong dengan kekuatan penuh untuk menjadikan aspek fundamental bangsa ini 
sebagai "lokomotif" agar keadilan, kedamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan 
rakyat terwujud. 

      Ongkos pembaruan hukum tidaklah murah. Mengacu pada capaian (kinerja) DPR 
perioode 2004-2009 yang dalam lima tahun menyelesaikan 193 RUU, jika DPR 
perioode 2009-2014 akan menyelesaikan RUU dalam jumlah sama, anggaran yang akan 
dihabiskan mencapai Rp 1 triliun lebih dalam lima tahun. 

      Menurut Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Ignatius Mulyono, itu terjadi 
karena anggaran negara yang disediakan untuk membiayai pembahasan satu 
rancangan undang-undang (RUU) di DPR semakin besar. Biayanya mencapai Rp 5,8 
miliar. Anggaran tersebut membengkak sepuluh kali lipat jika dibandingkan 
dengan lima tahun lalu yang hanya Rp 560 juta (Jawa Pos, 11 November 2009). 

      Itu menunjukkan bahwa "cost" untuk memproduk hukum atau memperbarui norma 
yuridis, ternyata, tidak murah. Dana Rp 1 triliun yang secara umum menjadi 
biaya akomodasi, transportasi, dan lain-lain bagi elite politik kita jelas 
sangatlah besar. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi perekonomian masyarakat 
dari lapis strata akar rumput (grassroot). 

      ***

      Meski pengeluaran untuk memperbarui hukum itu terlihat besar, menjadi 
tidak terasa besar manakala target pengimplementasiannnya terlaksana. "Harga" 
kepentingan masyarakat Indonesia di berbagai sektor fundamental jauh lebih 
besar jika dibandingkan dengan harga produk hukum. Meski demikian, dana Rp 1 
triliun menjadi bagian dari konsumerisme dan segmentasi program "menyakiti" 
rakyat bilamana kepentingan yang sudah diakomodasi dalam produk peraturan 
perundang-undangan gagal "membumi" dalam anatomi kebidupan masyarakat. 

      Kata sosiolog hukum kenamaan asal Undip Satjipto Rahardjo, di negara 
berkembang itu karakteristiknya adalah ''banjir" produk hukum, gampang menyusun 
atau melahirkan norma hukum untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Di negara 
tipe demikian, hukum dianggap sebagai ''resep cespleng" atau ''pil tuntas" yang 
bisa dan sangat ampuh menuntaskan masalah. 

      Di dalam norma hukum itu, terkandung rumusan kaidah yang dapat diandalkan 
atau disajikan sebagai senjata ampuh guna menjawab problem masyarakat dan 
negara yang sedang terjadi. Hukum dinilai sebagai alternatif utama yang bisa 
menuntaskan berbagai bentuk fenomena perilaku deviatif yang sedang menguji 
kredibilitas negara hukum. 

      Hukum dalam posisi di negara demikian cenderung dipaksakan mengikuti 
''ambisi pasar" atau perkembangan dan pergumulan sosial, politik, pendidikan, 
budaya, ekonomi, dan agama. Kalau bursa empiris kehidupan masyarakat tidak 
mendesaknya, pembaruan tak perlu dilakukan. 

      Repotnya, pembaruan substansi hukum yang sudah dan ke depan tetap menjadi 
"proyek" istimewa negeri ini menjadi kehilangan kebermaknaannya ketika dalam 
ranah das sein atau penerapannya tidak didukung oleh elemen (aparat) penegak 
hukum yang punya integritas moral tinggi untuk menegakkannya. Komunitas elite 
itu lebih memilih mendesain atau memproduk "hukum" menurut selera dan 
kepentingan eksklusifnya daripada menegakkan norma produk negara. 

      Itu dapat dibuktikan melalui pergulatan antarelite penegak hukum 
belakangan ini yang lebih mempertontonkan supremasi individualitas dan kelompok 
daripada supremasi yuridis. Mereka tergiring bukan menjadi pelaksana-pelaksana 
yang teguh menegakkan norma, tetapi sibuk mempermainkan atau merekayasa ucapan, 
sikap, dan perilaku yang dibuatnya seolah-olah sejalan dengan norma. 

      Pelaksana hukum merupakan kunci utama atau pilar fundamental yang 
menentukan citra penegakan hukum, negara hukum (rechstaat), dan nasib pencari 
keadilan, serta masa depan produk hukum itu sendiri. Hukum yang dibuat "menu" 
permainan seperti dalam konflik KPK-Polri, misalnya, merupakan hukum yang 
sejatinya sudah sampai pada ranah ketidakberdayaan atau bahkan kematiannya. 
Dalam wacana, seperti ada penegakan yang dimunculkan, tetapi boleh jadi, dalam 
ranah pergulatannya sudah sampai ke pengamputasiannya secara sistemik. 

      Dalam kasus tersebut, aparat penegak hukum tidak ubahnya sebagai gorila 
yang menerkam nadi kehidupannya. Mereka terjerumus dalam opsi yang bukan hanya 
salah, tetapi sekaligus keji. Pasalnya, apa yang diperbuatnya bukan hanya 
menghabisi peluang hidupnya, berdayanya, dan progresivitasnya penegakan hukum, 
tetapi juga "membunuh" investasi pembaruan hukum di masa mendatang. 

      Produk hukum yang menghabiskan dana besar akan dicibir sebagai "kandidat" 
pasal-pasal mati, mayat hidup, atau ayat-ayat negara yang kehilangan 
sakralitasnya. Eksistensinya sebagai produk legislatif hanya meninggalkan 
sejarah sebagai produk dengan biaya mahal, sementara untuk menjadi produk 
unggulan yang bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa ini tidak pernah bisa 
dicapainya. 

      Lantas, apa gunanya menghambur-hamburkan uang triliunan rupiah hanya 
untuk membuat produk yang berujung pada kesia-siaan atau dikalahkan secara 
mengenaskan oleh praktik rekayasa kasus dan pembengkokan idealisme yuridisnya? 
(*) 

      *) Mariyadi Faqih SH, s edang menyelesaikan program doktor ilmu hukum di 
PPS Unibra
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke