----- Original Message ----- From: "sunny" <am...@tele2.se> To: <Undisclosed-Recipient:;> Sent: Sunday, November 29, 2009 08:47 Subject: [wanita-muslimah] Islam 'a religion, not a state; a message, not a govt'
http://www.kuwaittimes.net/read_news.php?newsid=NjUxMDc1Njc3 Islam 'a religion, not a state; a message, not a govt' Published Date: November 26, 2009 By Nawara Fattahova, Staff Writer KUWAIT: The American University of Kuwait (AUK) hosted a lecture titled 'Islam and Secularism' on Tuesday. Dr Souad Ali, a US Fulbright Scholar at the AUK was the keynote speaker during the event. She has written a book analyzing Abd Al-Raziq's book which was published in 1925. The book titled 'Islam and the Foundations of Rule: Research on the Caliphate and Government in Islam' (Al-Islam Wa Usul Al-Hukm: Bahth Fil Khilafah Wal-Huk?mah Fil Islam) by the Egyptian reformist scholar, Ali Abd Al-Raziq (d. 1966), caused an uproar in Egypt that continues to this day. ######################################################################################################################### HMNA: Who is Ali Abdur Raziq ? Please read my paper below: ******************************************************************************************* BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM Pasangan Suami Isteri Sekularisme Liberalisme memperanakkan Pluralisme oleh: H.Muh.Nur Abdurrrahaman (*) disajikan dalam: Seminar Nasional Mewaspadai Sipilis(**) penyelenggara: Senat Mahasiswa Sastra Universitas Hasanuddin pada: Hari Sabtu 11 Maret 2006 ================================= Assalamu 'alaykum wr.wb. Istilah Sekularisme berasal dari bahasa Latin saeculum, artinya dunia. Secularism is a system of political philosophy that reject all forms of religious faith]. Sekularisme itu pada mulanya adalah paham yang memisahkan politik dari agama tersebut, netral terhadap agama yang hanya dianggap sebagai urusan privat dimana pemerintah dilarang ikut campur di dalamnya. Tetapi sekulerisme kemudian berkembang menjadi ekstrim dan menjadi paham anti agama (khususnya Islam) di Turki sejak 1924 dan baru-baru ini juga kita lihat di Prancis, Jerman, dll, dimana agama (khususnya Islam) dipandang sebagai musuh dengan mengatasnamakan sekulerisme. Akar historis faham Sekularisme itu dari Yunani Kuno yang memuja keindahan, diteruskan oleh Romawi yang memuja kekuasaan. Indikator sekularisme yaitu menunjukkan sekurang-kurangnya: mundurnya pengaruh agama, desakralisasi lembaga-lembaga keagamaan seperti ikatan keluarga dsb, individualistis yaitu ketidakterikatan (disengagement) kepada masyarakat, dan pemindahan kepercayaan/iman dan pola-pola perilaku dari suasana keagamaan ke suasana sekular. Istilah `liberalisme' berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya `bebas' atau `merdeka'. Hingga penghujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka. Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk motto Revolusi Perancis 1789: kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberté, égalité, et fraternité) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya- adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia -yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya. Di sini kita mencium bau sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa "manusia adalah ukuran dari segalanya" - sebuah doktrin yang kemudian dirayakan oleh para penganut nihilisme semacam Nietzsche. Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sistem di mana negera tidak boleh mencampuri "privacy" warga-negara, negara tidak boleh mencampuri urusan moral individu. Sementara di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini liberalisme identik dengan kapitalisme. Di wilayah sosial, liberalisme berarti emansipasi perempuan, penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Biarkan perempuan menentukan nasibnya sendiri, tak seorang pun berhak dan boleh memaksa ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu. Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Maka prinsip amar ma'ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka liberalisme dipadankan dengan sekularisme. Di dunia Islam virus liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai "pembaharu". Mereka yang menjadi liberal antara lain: Rifa`ah at-Tahtawi (1801-1873 M), Qasim Amin (1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India. Di abad keduapuluh muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia yang bersekongkol dalam yang mereka namakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL), yang pada pokoknya libralisme yang dibungkus oleh kemasan yang kelihatannya Islami. Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal itu sebenarnya kurang lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, al-Qur'an dan Hadits mesti dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya(***), perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan hak asasi manusia, pluralisme dan lain lain-lain. Menurut JIL, pluralisme bersikap melihat agama-agama lain dibanding dengan agamanya sendiri dalam rumusan: other religions are equally valid ways to the same truth; other religions speak af different but equally valid truths; each religion expresses an important part of the truth. Intinya, JIL yang penganut pluralisme meyakini bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama. Menurut JIL, pemeluk suatu agama harus menganut teologi pluralisme. yaitu meyakini bahwa agama lain juga benar; yang berbeda hanya cara, tetapi tujuannya adalah sama. Ini sesungguhnya merupakan kemasan baru dari sinkretisme, yang hanya dikemas dengan istilah-istilah yang mentereng seperti inklusif, pluralis, dan sejenisnya, yaitu gagasan iblis, pendangkalan aqidah, atau sekularisme, yang semakin menjadi-jadi setelah World Parliement of Religions di Chicago tahun 1993 menyepakati perlunya suatu global ethics untuk membangun perdamaian dunia. Sejumlah benggolan di Indonesia juga rajin mengampanyekan gagasan ini, antara lain: mendiang Nurcholis Madjid, Ulil Absar Abdalla, Dawam Raharjo, Gus Dur. Mantan presiden RI ke-4 ini pernah mengeluarkan pernyataan bernada sinkretis ketika berkunjung ke Bali, "Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini paling penting. Oleh karena itu, semuanya benar. Semuanya benar." Apa kata mendiang Nurcholis Madjid ttg Gus Dur: "Terus terang, selain dia (Gus Dur -pen) sendiri punya potensi, banyak hal yang diambilnya dari saya, seperti ide toleransi, pluralisme. Itu bahasa-bahasa yang kita sosialisasikan kepada Gus Dur melalui Majelis Reboan. Setelah pindah dari Jombang ke Jakarta dia tidak punya forum yang serius, lalu, kita ciptakan antara lain Majelis Reboan. Karena itu ada banyak kesamaaan kami, antara lain, toleransi, inklusivisme. Terus terang, selain dia sendiri punya potensi, banyak hal yang diambilnya dari saya, seperti ide toleransi, pluralisme. Setelah pindah dari Jombang ke Jakarta dia tidak punya forum yang serius, lalu, kita ciptakan antara lain Majelis Reboan. Karena itu ada banyak kesamaaan kami, antara lain, toleransi, inklusivisme," kata Nurcholish dalam wawancaranya dengan Kompas. Alhasil, yang dijadikan paradigma oleh JIL adalah pasangan suami isteri Sekularisme Liberalisme dan anak-anaknya, seperti demokrasi, HAM, pluralisme dan genderisme. Paradigma, kerangka/frame work, atau pola pikir inilah yang dianggap benar secara mutlak. Jadi sesungguhnya yang menamakan diri sebagai Islam Liberal bukan Islam lagi, tetapi sudah tersungkur derajatnya menjadi Aliran Kepercayaan Liberal. Di atas paradigma tesebut istinbath dilakukan dengan disiplin ilmu hermeneutika, tidak terkecuali dalam hal kritik teks Al Quran,(***) dan menundukkan Syari'ah pada tuntutan zaman dengan apa yang disebut dengan kontekstual. Tidak jarang tuntutan seseorang yang dikultuskan sebgai "icon" disimpulkan sebagai kebutuhan-zaman dan terperangkap dalam "the fallacy of dramatic instance" akibat rampatan yang keliwat batas (over generalisasi). Ilmu hermeneutika tidak punya gigi untuk mengunyah istinbath baik hukum ibadah ritual maupun hukum ibadah non-ritual (mu'amalaat). Ilustrasi Sikap berpikir sekuler yang mendikhotomikan antara urusan ukhirawi dengan urusan duniawi telah mendobrak bingkai Nash: -- YAYHA ALLDZYN AMNWA ADKHLWA FY ALSLM KAFT WLA TTB'AWA KHTHWT ALSYY.THAN ANH LKM 'ADW MBYN (S. AL BQRT, 208), dibaca: Ya-ayyuhal ladzi-na a-manud khulu- fis silmi ka-ffataw wa la- tattabi'u- khuthuwa-tisy syayta-ni innahu- lakum 'aduwwum mubiyn (S. Al Baqarah, 208), artinya: -- Hai orang-orang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara total, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan, sesungguhnya iaitu musuhmu yang nyata (2:208). Sikap berpikir yang tidak kaffah, bahwa yang menyangkut urusan duniawi (masyarakat dan negara) diserahkan seluruhnya kepada akal manusia, padahal Nash menentukan rambu-pokok (2:208) tersebut. Sikap berpikir yang mendikhotomikan antara urusan ukhirawi dengan urusan duniawi itulah yang kita kenal dengan sekularisme. [Secularism (Lt, saeculum = world): a system of political philosophy that reject all forms of religious faith]. Kelompok yang menamakan diri sebagai "Islam Liberal" yang membuat network yang disebut Jaringan Islam Liberal (JIL) mempunyai sikap berpikir berlandaskan paradigma sekularisme yang mendobrak bingkai Nash, sudah keluar dari ruang lingkup Kaffah, sehingga tidak layak menyandang predikat "Islam" Liberal, melainkan cukup dengan predikat Aliran Kepercayaan Liberal, sub-sistem dari Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. WaLahu a'lamu bisshawab. Makassar, 11 Safar 1427 / 11 Maret 2006 ========================================= (*) Anggota Majlis Pengkajian MUI Sul-Sel (**) singkatan Sipilis ini bagian dari Nama penyelenggara seminar ini (***) Para benggolan JIL yang menimba dari para orientalis, ikut-ikutan pula mengkritisi Al-Quran. Padahal para orientalis itu bertolak dari asumsi keliru, karena menganggap Al-Qur`an semata-mata sebagai teks (Al-Kitab). Mereka lantas menerapkan hermeneutika: metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur`an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan ke-8 Masehi dengan masyarakat sekeliling mereka. Mereka mengatakan bahwa mushaf Utsmaniy yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!). Karena itu mereka mau membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, dan hendak membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Padahal, Al-Qur`an bukanlah tulisan (rasm atau writing), tetapi bacaan (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turunnya (pewahyuan), penyampaian, pengajaran, sampai periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan "membaca Al-Qur`an" adalah membaca dari ingatan (qara'a 'an zhahri qalbin atau to recite from memory). Lucunya, orientalis semacam Arthur Jeffery dan Gerd R Joseph Puin ("sumur" di mana para benggolan JIL menimba "air"tuba) keliru menyamakan qira'ah dengan readings. Qira'ah itu membaca dari ingatan (hafalan), sedang reading itu membaca dari tulisan. Mereka tidak tahu bahwa kaidah yang berlaku pada Al-Qur`an adalah tulisan mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi (rasmu taab'iun li riwaayah), bukan sebaliknya, sehingga historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism itu salah alamat. Sekali lagi saya ulangi tulisan (Al-Kitab, KTB = tulis) mengacu pada bacaan (Al-Quran, QRA = baca), bukan sebaliknya seperti Bible bacaan mengacu pada tulisan. Sehingga saya ulangi lagi, karena itu metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism hanya cocok untuk mengkritisi Bible. Lagi lagi Saya ulangi hermeneutika hanya cocok untuk Bible di mana bacaan mengacu pada tulisan, dan hermeneutika sama sekali tidak cocok untuk Al-Quran, oleh karena pada Al-Quran tulisan (KTB). mengacu pada bacaan (QRA) ######################################################################################################################## Dr. Souad Ali provided a background about the author. "Abd Al-Raziq was the first Azhar-educated scholar who was ranked as the AIim (Muslim scholar with expertise in Islamic Jurisprudence) to declare that "Islam is a religion, not a state; a message, not a government." More than eighty years after its publication, 'Abd Al-Raziq's book continues to draw wide attention and his controversial ideas are increasingly debated upon between intellectual, religious, and political circles," she said. She then spoke about her analysis of the book, "This study examines Abd Al-Raziq's book in light of the continuing political upheaval in the contemporary Islamic world and attempts to evaluate the importance of the book as a modern and moderate development in Islamic thought. The urgency of such an investigation becomes particularly significant in the midst of the current resurgence of Islamic 'fundamentalism,' or lslamist ideologies with reference to political Islam," noted Dr. Ali. The Islamist view, held by such figures as Sayyid Qutb (d. 1966) stands in direct contrast to 'Abd AI-Raziq's advocacy of political secularism and his separation of Islam and government. Interestingly, 'Abd Al-Raziq presented his arguments through traditional Islamic methods, utilizing the Quran, Sunna, Ijma (consensus) and Qiyas (reasoning by way of analogy), in his contention that Islam is 'a religion, not a state," she further said. The Book My new book 'A Religion, Not A State: Au 'Abd Al-Raziq's Islamic Justification of Political Secularism' explores, and is situated within the history of Muslim thought, Sheikh 'Abd Al-Razlq's Islamic argument for declaring the notion of universal Islamic polity where one individual bears the title of Caliph is invalid; not advocated by the religion," pointed out Dr. Ali. The argument is described as 'Islamic' because it employs a traditional Islamic conceptual framework. "On the other hand, when placed within the context of previous concept of a Caliphate, Abd Al-Raziq's argument is unique in the sense that he does not just declare the end of the Caliphate. Rather, he declares the caliphate, considered an Islamic institution based on an ideology that was supposedly founded by the Prophet himself, to be a human innovation rather than a religious imperative," she explained . Dr. Ali then shortly spoke about the historical background of the juristic theories of the Caliphate and the Caliphate in the Colonial Era. Then she mentioned three important events: "In the year or so after abolition of the Caliphate in Turkey three important events occurred:(1) the British-supported 1-Hashimite ruler of the Hijaz, Sharif Hussein, who became the self- proclaimed Caliph, only to be ousted by the Saudi forces; (2) The ruler of Egypt, King Fpuad, expressed interest in the elevated post of Caliph of all Muslims, placing Egypt with its famed center of Muslim learning (Azhar) as a worthier seat of the Caliphate than Istanbul (or Ankara) and (3) Abd Al-Raziq published his book, affirming the non-validity of the very concept of Caliph," she said. The lecture also included information about Sheikh Au 'Abd Al-Raziq's Intellectual Formation and the place he occupies among Disciples of Sheikh Muhammad Abduh (d. 1905). Then Dr. Ali explained the system of governance practiced during the time of the Prophet and the critiques of 'Abd Al-Raziq's position. Dr. Ali then concluded by detailing the implications that 'Abd Al-Razlq's study has on the debate over Islam and politics. [Non-text portions of this message have been removed]