http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=644:kejahatan-negara-dan-penegakan-ham&catid=14:politik-hukum-dan-ham&Itemid=131


      KEJAHATAN NEGARA dan PENEGAKAN HAM     
      Written by Edy Syah Putra | Bekerja di Farza Law Firm (Advokat dan 
Pengacara). Staf di SPKP HAM Banda Aceh.     
      Friday, 06 November 2009 15:25 
     
     
      "Apalah artinya negara yang tak memiliki keadilan selain hanya gerombolan 
perampok ada dimana-mana", (Santo Agustinus, The City of God c. 427CEI). 
Mungkin perumpaan "gerombolan perampok" yang dituliskan oleh Agustinus tersebut 
menjadi sebuah ramalan yang begitu tepat dimasa sekarang. Mengenai "gerombolan 
perampok" dan "negara tanpa keadilan" terletak pada keberadaan negara itu 
sendiri yang memiliki kekuasaan untuk menentukan mana yang selayaknya 
dilakukan. Berbicara mengenai "kejahatan negara", maka negara itu sendiri 
sebenarnya dapat menjadi penjahat pada saat negara itu melakukan berbagai 
pelanggaran atas hukum yang dibuatnya sendiri. Sejarah perjalanan penegakan 
terhadap hak asasi manusia di Indonesia terlalu kelam. Pengungkapan terhadap 
penegakan hukum dan perlindungan terhadap HAM di negeri ini menjalani 
perjalanan yang panjang dan menghabiskan waktu yang melelahkan, khususnya bagi 
pihak yang menuntut adanya perbaikan sistem hukum sesuai dengan filosofis yang 
telah di tuliskan dalam UUD 1945 Negara Indonesia oleh para pendiri bangsa. 


      Namun permasalahan tersebut, menjadi perdebatan yang hingga kini masih 
belum punya satu sinergi kesamaan, baik antara pemerintah, elemen sipil dan 
lembaga penegak hukum itu sendiri. Masalah yang cukup pelik adalah tentang 
kejahatan yang telah di lakukan oleh negara. Pengungkapan kejahatan yang 
dilakukan oleh negara terhadap masyarakat dalam berbagai kejadian telah 
menimbulkan pro dan kontra tentunya. Negara disatu sisi dalam hal menjalankan 
dan menggunakan kekuasaannya, beranggapan bahwa mereka-mereka yang dianggap 
berlawanan dengan pemerintahan harus dihukum sesuai dengan Undang-undang 
sebagaimana yang telah ditentukan oleh si negara.

      Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, benarkah hukuman yang diberikan 
kepada mereka yang dianggap berlawanan dengan pemerintah sesuai sebagaimana 
yang telah diatur dalam Undang-undang? Pertanyaan tersebut, tentu kembali 
menimbulkan pro dan kontra. Namun, ekses dari hal tersebut korban pun 
berjatuhan dari pihak sipil. Penyimpangan yang dilakukan oleh negara secara 
sistematis melalui aparatur negaranya adalah tindakan pelanggaran terhadap hak 
asasi manusia.

      Definisi Kejahatan Negara

      Jika negara menguat atau amat kuat, kejahatan dan penyimpangan oleh 
negara lebih berupa suatu tindakan aktif (commission) dalam rangka melanggar 
hak-hak warga negara dengan atau tanpa mengindahkan sistem hukum yang ada. 
Sebaliknya, jika negara melemah sebagaimana terlihat dewasa ini, maka kejahatan 
dan penyimpangan oleh negara lebih berupa pembiaran (omission) terkait dengan 
kejahatan dan penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak lain.

      Definisi kejahatan negara yang digunakan dalam pembahasan ini adalah dari 
Green and Ward, sebagaimana dikutip Christine A. Monta, "State organizational 
deviance involving the violation of human rights." Definisi tersebut kemudian 
dielaborasi lebih jauh menjadi tiga komponen, yakni negara, penyimpangan 
organisasi, dan HAM. Yang dimaksud dengan "negara", adalah pihak yang memiliki 
kewenangan eksklusif untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan (force). 
Sedangkan penyimpangan organisasional menunjuk pada pelanggaran terhadap satu 
atau lebih standar perilaku (termasuk hukum) dalam rangka mencapai 
tujuan-tujuan negara. Terakhir, Green & Ward melihat HAM sebagai suatu klaim 
moral yang dibuat dalam rangka pemenuhan kebutuhan fundamental.

      Green & Ward melihat beberapa varian aktivitas kejahatan negara. Varian 
itu adalah: kejahatan yang sering terjadi dan kerap tidak dilaporkan (seperti 
korupsi, kejahatan korporasi berkolaborasi dengan negara, serta kejahatan 
terorganisasi), kejahatan yang termasuk mengerikan dan luar biasa (teror oleh 
negara, terorisme, penyiksaan, kejahatan perang, dan genosida), serta krisis di 
mana negara bukanlah pelaku langsungnya (misalnya, bencana alam dan kejahatan 
terkait kepolisian).

      Telaah di atas jauh lebih dalam dibanding Robert Elias yang melihat bahwa 
kejahatan negara adalah sekadar ilegalitas yang dilakukan oleh negara sendiri. 
Kejahatan negara dalam hal  ini dilakukan dengan cara melanggar hukum umum 
maupun hukum khusus, yang sengaja dilakukan untuk membatasi oposisi politik.

      Memang benar bahwa kejahatan negara lebih banyak dikaitkan dengan politik 
dan penggunaan kekerasan (salah satunya oleh militer), utamanya ditujukan 
terhadap perilaku politik kalangan non-negara atau oposan pemerintah. 
Pembahasan ini tentu mencari asosiasi antara kejahatan negara dan variabel 
lainnya yang lebih kurang umum, yakni dalam konteks kemasyarakatan (sistem 
sosial) dan mekanisme pencarian keadilan (sistem hukum).

      Dengan semakin tingginya kecanggihan (sophistication), terlihat adanya 
hubungan dan prevalensi atau ketermungkinan terjadinya kejahatan negara dalam 
berbagai jenis, pola, dan motivasinya. Salah satunya adalah pelanggaran hak 
asasi manusia yang telah terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas 
sedangkan gejala pelanggaran kian bertambah. Berbagai kasus pelanggaran hak 
asasi manusia tersebut dapat di temukan dalam kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, 
Papua dan kasus pelanggaran HAM berat Timor-timur selama pra dan pasca pendapat 
belum ada yang terselesaikan hingga kini.

      Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan tahunannya 
menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM 
yang pernah terjadi di tanah air sebagai akibat dari struktur kekuasaan orde 
baru yang otoriter.

      Berbicara tentang Hak Asasi Manusia, maka kita harus kembali melihat 
bagaimana sebuah UU Dasar negara ini yang mengatur persoalan tersebut. Dalam 
UUD 1945, pengaturan dan pengakuan terhadap HAM baru muncul setelah di awali 
dengan tahapan amandemen dari UUD 1945 tersebut, amandemen yang pertama kali 
dilakukan tidak luput dari kejatuhan presiden Soeharto yang telah memimpin 
Indonesia selama 33 tahun (1965 - 1998). Rezim Orde Baru (masa Presiden 
Soerhato) pada waktu itu dalam membangun negara ini, dipenuhi dengan  tindakan 
otoriter yang sangat dan memang menyesakkan bagi mereka yang menuntut adanya 
pengakuan terhadap hak asasi manusia. Mereka yang menuntut adanya pengakuan dan 
perlindungan terhadap HAM tidak luput dengan penangkapan dan kemudian beralih 
kepada peradilan yang menyesatkan. Salah satunya adalah kejadian penghilangan 
secara paksa pada tahun 1997 - 1998.

      Kemudian setelah runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, munculnya 
masa reformasi dan kemudian UUD 1945 dilakukan amandemen, tapi tidak serta 
merta hak asasi manusia mendapat tempat pengaturannya. Baru pada Amandemen 
kedua dan kemudian juga melahirkan pula undang-undang organiknya, yakni UU No. 
39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak 
Asasi Manusia.

      Pertanyaannya yang muncul adalah, apakah pengaturan terhadap hak asasi 
manusia dalam UUD 1945 dan beserta dengan Undang-undang organiknya (UU No 39 
tahun 1999 tentang HAM dan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM) yang 
dikeluarkan oleh pemerintah telah menyelesaikan perkara dalam pengungkapan 
kejahatan yang telah dilakukan oleh negara dan upaya penegakan hukum sesuai 
dengan hak asasi manusia? Disatu sisi, pertanyaan tersebut mungkin menjawab 
pertanyaan, bahwa di satu segi, pengaturan dan penghormatan terhadap HAM dalam 
UUD 1945 lebih baik dilakukan bila dibandingkan dengan masa ketika pemerintahan 
Presiden Soeharto berjalan. Namun di segi lainnya, pengaturan dan penegakan 
terhadap HAM bukan hanya sekedar di tulis dan diucapkan, lebih dari itu adalah 
adanya implementasi yang utuh dalam kehidupan bangsa dan negara ini dalam 
penegakan dan penghormatan terhadap HAM.

      Negara dan Sistem

      Negara baru bisa berjalan dan berfungsi jika secara simultan dan 
komplementer menjalankan berbagai sistem yang secara inklusif dan eksklusif 
memang merupakan kewenangan dan porsi negara untuk menjalankannya. Sistem 
tersebut adalah sistem politik, ekonomi, serta hukum. Masih menjadi perdebatan, 
apakah terkait sistem-sistem lain, negara juga memiliki kewenangan dan porsi 
sebesar tiga sistem sebelumnya; katakanlah menyangkut sistem sosial, sistem 
budaya, sistem adat (ada pula yang menyatukannya dengan sistem budaya), sistem 
agama, sistem keamanan,  serta sistem perilaku (terdapat kalangan yang tidak 
menyetujui penyebutan tentang hal ini). Khusus mengenai sistem politik dan 
sistem ekonomi sendiri, ada yang menyebutnya sebagai sistem ketatanegaraan 
serta sistem moneter.

      Mengapa disebut sistem, karena pada dasarnya terjadi proses pengolahan 
atas input guna menjadi output yang dikehendaki dan, setelah memasuki tingkatan 
dampak, akan kembali menjadi sumber input. Dalam konteks tersebut, maka sistem 
politik dapat dikatakan merupakan sistem yang mengolah variabel-variabel yang 
diperlukan dalam rangka dihasilkannya suatu keputusan, kebijakan, atau tindakan 
politik tertentu. Adapun pengolahnya adalah para partisipan  yang aktif dalam 
sistem politik seperti pemerintah yang berkuasa, parlemen, partai politik, 
maupun individu ataupun lembaga yang biasa dikelompokkan menjadi entah itu 
kelompok pengawas (oversight group) kelompok penekan (pressure group), atau 
kelompok kepentingan (interest group).

      Terkait sistem hukum, yang dilihat adalah berbagai proses dan interaksi 
dalam rangka pembentukan, evaluasi, dan penerapan hukum seiring dengan niatan 
melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi terkait perilaku tertentu. Hal 
tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti pengadilan, kejaksaan, 
kepolisian, berbagai komisi yang terkait dengan hukum, parlemen, media massa, 
serta masyarakat sendiri selaku subjek hukum.

      Tentu saja, dalam rangka pergulatan atau interaksi dalam ketiga sistem 
tersebut, selalu akan terjadi situasi menang-kalah, berhasil-gagal, 
terpenuhi-tidak terpenuhinya aspirasi serta kepentingannya, dilanjutkan dengan 
timbulnya perasaan seperti senang-sedih, jengkel-bangga, dan sebagainya. 
Meskipun demikian, apabila yang muncul justru perasaan sebagai korban (felt 
victimized), maka ada kemungkinan proses atau interaksi dalam sistem tersebut 
sebenarnya berlangsung tidak transparan (sehingga banyak hal menjadi tidak 
terbuka), curang, tidak etis, tidak adil atau diskriminatif, ataupun telah 
direkayasa agar berakhir dengan hasil tertentu yang dikehendaki.

      Penutup

      Prof. Drs. Adrianus Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D. dalam pidato 
pengukuhannya sebagai Guru Besar FISIP Bidang Kriminologi pada pertengahan 
September 2006, mengatakan bahwa "keunikan" dari bahaya yang bisa dibawa oleh 
kejahatan negara terletak pada situasinya yang mirip  kapal besar yang diam 
yang ombaknya saja sudah bisa menjungkirbalikkan kapal-kapal kecil. Dengan kata 
lain, tanpa benar-benar berbuat pun sebetulnya sudah bisa terjadi kejahatan 
negara, apalagi berbuat.

      Seperti yang telah dituliskan di atas, bahwa di Indonesia, kasus 
pelanggaran hak asasi manusia sangat banyak terjadi pada masa rezim orde baru 
(masa Presiden Soeharto). Berbagai kasus tersebut kembali menjadi satu 
tantangan tersendiri pada masa pemerintahan sekarang, masa pemerintahan Susilo 
Bambang Yudoyono, dimana masyarakat menunggu komitmen nyata dalam pengungkapan 
terhadap kasus-kasus tersebut, seperti kasus yang telah mendapatkan rekomendasi 
di DPR untuk segera diungkapkan, yakni kasus penghilangan secara paksa yang 
terjadi pada tahun 1997 - 1998 dan setidaknya menjadi kesekian kalinya 
kejahatan negara yang tak pernah terungkap.Harapannya,  penegakan dan memajukan 
hak asasi manusia terkait dengan kejahatan yang dilakukan oleh Negara di 
Indonesia bukanlah mimpi dari sebuah tidur panjang yang begitu melelahkan.

      Edy Syah Putra | Bekerja di Farza Law Firm (Advokat dan Pengacara). Staf 
di SPKP HAM Banda Aceh.

      Hak Cipta Terlindungi © Copyrights by The Aceh Institute
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke