Dahlan Iskan: Hati Kecil Saya untuk Sri Mulyani
Jawapos, 7 Desember 2009
 
HATI kecil saya masih berharap mudah-mudahan hasil pemeriksaan
investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kasus Bank Century itu tidak 
seluruhnya benar. Sebab, kalau memang tidak ada yang salah,
akibatnya akan sangat dramatis: kita bisa kehilangan menteri keuangan
yang sangat kita banggakan. Seorang menteri, Sri Mulyani, yang
reputasinya begitu hebat. Baik di dunia internasional maupun dalam
mengendalikan keuangan negara. Secara internasional dia terpilih
sebagai menteri keuangan terbaik di dunia dua tahun berturut-turut. Didalam 
negeri dia dikenal sebagai menteri pertama yang berani
mereformasi birokrasi di departemennya. Juga menteri yang sangat ketat 
mengendalikan anggaran negara. Bahkan, dialah satu-satunya menteri yang berani 
minta berhenti ketika ada gelagat pemerintah akan membela seorang konglomerat 
yang dia anggap tidak seharusnya dibela.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada yang tiba-tiba
mengatakan: kesimpulan BPK itu diperoleh dengan cara kerja yang kurang benar. 
Maka kita tidak akan kehilangan menteri keuangan yang pandainya bukan main itu. 
Pandai dalam ilmunya, pandai dalam menjelaskan pikirannya, dan pintar bersilat 
kata. Saya melihat kecepatan berpikirnya sama dengan kecepatan bicaranya. Kalau 
lagi melihat cara dia mengemukakan pikiran, seolah-olah otak dan bibirnya 
berada di tempat yang sama.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang tiba-tiba 
menemukan data bahwa BPK telah salah ketik. Maka, kita tidak akan kehilangan 
menteri yang mampu rapat dua hari dua malam nonstop untuk menyelamatkan 
keuangan negara. Rapat itu tidak boleh berhenti karena lengah sedikit berakibat 
pada kebangkrutan ekonomi nasional. Rapat itu tentu melelahkan karena 
angka-angkalah yang akan terus berseliweran. Angka-angka yang rumit: kurs, suku 
bunga, devisa, likuiditas, rush, neraca perdagangan, stimulus, dan seterusnya. 
Angak-angka itu saling bertentangan, tapi menteri tidak boleh memilih salah 
satunya. Dia harus membuat keputusan yang harus memenangkan semua angka yang 
saling merugikan itu. Padahal, dia baru saja tiba dari Washington, AS, untuk 
berbicara di forum KTT G-20 yang amat penting itu. Di Washington dia tahu 
bahayanya ekonomi dunia. Tapi, dia mampu memikirkan keuangan internasional 
sekaligus keuangan nasional dalam waktu yang sama dibelahan dunia yang berbeda. 
Dia harus menghadiri KTT G-20 di Washington saat itu (kebetulan saya ikut di 
rombongan situ) saat rupiah tiba-tiba melonjak menjadi Rp 12.000 per dolar AS. 
Dia harus tampil cool di forum dunia yang Singapura pun tidak boleh ikut di 
dalamnya itu sambil tegang bagaimana harus mengendalikan rupiah yang sudah 
membuat warga negara Indonesia panik semuanya. Dialah menteri yang datang ke 
Washington hanya untuk mengemukakan pikiran briliannya dan harus langsung 
kembali ke tanah air pada hari yang sama untuk mencurahkan perhatian pada 
ekonomi yang hampir bangkrut itu.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang
mengatakan bukan dia yang harus bertanggung jawab. Tapi, ada pihak
lainlah yang harus mendapat hukuman. Kalau tidak, kita akan kehilangan seorang 
menteri yang di saat ibu kandungnya, Prof Dr Retno Sriningsih Satmoko, sedang 
sakit keras menjelang ajalnya, dia tidak bisa menengok sekejap pun. Dia memilih 
mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan emosinya untuk menyelamatkan ekonomi 
bangsa ini. Dia tidak bisa menjenguk ibu kandungnya yang jaraknya hanya 45 
menit penerbangan di Semarang sana. Dia harus mencucurkan air mata untuk dua 
kesedihan sekaligus: kesedihan karena ibundanya berada di detik-detik akhir 
hidupnya dan kesedihan melihat negara dalam bibir kehancuran ekonomi. 
Dua-duanya tidak bisa ditinggal sedetik pun. Rupiah lagi terus bergerak hancur 
dan detak jatung ibunya juga lagi terus melemah. Dan, Sri Mulyani memilih 
menunggui rupiah demi nyawa jutaan orang Indonesia.

Maka hati kecil saya masih berharap ada data di kemudian hari bahwa
kebijaksanaan itu sendiri tidak salah. Sebab, sebuah kebijaksanaan
bisa diperdebatkan salah benarnya. Saya masih berharap yang salah itu
dalam pelaksanaan kebijaksanaannya. Yakni, saat mendistribusikan
uangnya yang Rp 6,7 triliun itu. Dan saya sangat-sangat yakin dia
tidak mendapatkan bagian serupiah pun.

Maka saya sangat bersedih karena sampai hari ini belum ada satu pihak
pun yang berhasil mengatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK itu salah.
Belum ada yang membantah bahwa hasil pemeriksaan BPK itu keliru. Semua masih 
mengatakan, hasil pemeriksaan BPK itu menunjukkan bahwa dia bersalah dalam 
mengambil keputusan. Dan hukum harus ditegakkan. (*)

 



Kirim email ke