Bercermin di muka Arca Waktu menjelang pagi dan mataharipun memancarkan cerahnya cahaya disepanjang bentangan sawah padi berbukit. Burung-burung pun terlihat pula beterbangan hilir-mudik sembari mengibas sayapnya, seperti bersorak ria mendendangkan irama pencerahan.
Sementara itu sosok perempuan duduk khusuk memandang ke luar, bibir indahnya berkomat-kamit tak henti-hentinya, kadang mengucap menghembus sang surya yang melintasi celah-celah tirai tipis dibalik jendela. Bis umum yang ditumpanginya mulai memasuki kota tua, berpenduduk sekitar hampir dua juta orang. Kota ini memang dikenal oleh para pengunjung turis asing sebagai kota budaya berkarakter mistik dan eksotik. Namun buat perempuan itu, si Nasib Ayu yang tak bisa menyelesaikan bangku sekolah dasar, hanyalah terpancang pada satu pengharapan baru, yaitu ingin meraih nasib baik buat menyambung hidup. Sepanjang perjalanan ke kota tua itu ditempuhnya selama 13 jam, tak terelakkan telah mengingatkan kembali rekaman masa lalu hidup dirinya yang dirasakan kelam. Keinginannya untuk bisa bertahan hidup dilaluinya dengan keyakinan jiwa loyalitasnya terhadap keluarga dan kemampuan dirinya. Sementara si Nasib Ayu sedang mengoletkan badannya, tercermin masih diselubungi pahit getirnya kehidupan dunia kupu-kupu malam, yang seketika seperti terhenyak kaget ketika terdengar derungan suara mesin bis yang ditumpanginya, yang berhenti di sebuah terminal kota Chiang Mai yang dituju. Saat kesejukan jiwa yang baru dirasakannya tiba-tiba tercekam aura kota tua yang dirasa masih memiliki tradisi Budhisme. Dirasakannya vibrasi getaran di tubuhnya yang gemulai semakin menghimpit alur detak jiwa derita atas penghianatan hidupnya. Kehadiran si nasib Ayu di tengah-tengah kehidupan kota tua ini memang menjadi suatu tantangan baru buatnya. Letak kota dibelahan utara Thailand ini memang dianggap memiliki kesejukan dan kenyamanan hidup bagi pasar turism di Smiling Country. Tapi buat si nasib Ayu hanyalah sebagai khayalan ilusi yang dipaksakan oleh kondisi hidupnya sebagai penghibur hati sang para pengunjung turis asing. Iapun menyadari atas kehadirannya yang dipuja sebagai salah satu penghias ritual tradisi Budhisme dalam catatan tinta hitam kehidupan kupu-kupu malam. Perjalanan hidupnya nyatanya telah menjadikan dirinya untuk jaminan spekulasi kenikmatan para pengunjung turis asing, dianggapnya ini demi menyelamatkan hidupnya biarpun si pengunjung turis asing pun tidak akan peduli atas hikma dan takdir dari kota mistik nan erotis, tetap terkesan indah, cantik, ramah dan selalu tersenyum mesra. Jejak langkah mengarungi rintangan perjalanan hidupnya disepanjang mata rantai pegunungan Omkoi, Mae Jam, Chiang Dao dan Mae Ai, telah menjadi takdir luka dalam gurasan penikmat kupu-kupu malam yang dahaga kehangatan jiwa insani dimana sementara seruan si nasib Ayu atas dirinya dijadikan lahan jiwa passie hidupnya. Aagh… si nasib Ayu tetap tegar menekuni doa bersimpuh menghadap Arca mungil, bibir indahnya mengalunkan irama syahdu, sentuhan dupa diantara jari tangannya yang lentik dan elok mengayun hanyut dalam alunan senandung rindu derita dengan penuh harapan baru. Pancaran matanya yang sendu, tetesan air matanya dilimpahkannya bagaikan air mengalir amarah disepanjang sungai keruh jiwanya. Dirasakannya sekujur tubuhnya mengucur letupan butir-butir ingatan masa lalu, bergetar dalam alur jaringan tegangan ilusi kehidupannya. Kekecewaan nasib hidupnya terdahulu terasa semakin menghimpit dalam cengkraman penghianatan cinta kasih yang dimilikinya. Tiada tempat baginya untuk memberikan rasa cintanya pada insani, dan hanyalah senyuman patung Budha yang mungil itulah dianggap sebagai refleksi penghibur lara curahan hati. Roda kehidupan si nasib Ayu serasa semakin mengerang perih dari luka deritanya menyusuri lahan-lahan pengharapan baru. Lain halnya bagi para pengunjung turis asing yang terus mengalir deras arus nikmatinya kepuasan pada jiwa keterasingan dirinya untuk membeli kehangatan jiwa cinta kasih insani itu di taman labirin Pasar Bebas istana kapitalisme. Valentine's days, 14 Februari 2004 Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://sastrapembebasan.wordpress.com/ [Non-text portions of this message have been removed]