http://www.sinarharapan.co.id/cetak-sinar/berita/read/sudah-25-anak-dijual-dari-kampung-beting/

Senin, 15 Pebruari 2010 13:31 
Kasus Penjualan Janin

Sudah 25 Anak Dijual dari Kampung Beting


Jakarta - Sepanjang 1990 hingga 2010, sedikitnya ditemukan 25 kasus penjualan 
anak yang terjadi di Kampung Beting Remaja, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan 
Koja, Jakarta Utara.

     
Motifnya karena kemiskinan yang membelenggu di kawasan tersebut. Hal itu 
diungkap oleh Ke­tua Forum Bersama Penggugat Kampung Beting Ricardo Hutahaean 
di Jakarta, Senin (15/2) siang ini. Dia menyebut­kan, berdasarkan data yang ia 
punya sejak 1990 hingga 2010, sedikitnya ada 25 kasus penjualan anak di Kampung 
Beting Remaja. "Motifnya karena kemiskinan, mereka tidak punya biaya 
persalinan," katanya.  Dia berpendapat, kejadian itu menunjukkan ketidakmampuan 
pemerintah dalam mengurus masalah kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya. 
Pernyataan tersebut dikemukakan terkait kasus penjualan anak yang dilakukan 
pasangan Rudy (37) dan Marni (35), warga Kampung Beting Remaja, Kelurahan Tugu 
Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. 


Sebelumnya, Rika (bukan nama sebenarnya) (24) warga setempat juga nekat 
mena­warkan anak yang masih di dalam kandungan demi melunasi utang sebesar Rp 
550.000. Saat ini usia kandungan Santi padahal baru sekitar delapan bulan. 
Baik Rudy (37) maupun Marni (35) (keduanya bukan nama sebenarnya) tidak mau 
disebut sebagai penjual anak. "Kami butuh uang, mereka punya uang dan kebetulan 
belum punya keturunan. Jadi mereka yang mengurus anak-anak kami," ujar Marni 
saat ditemui di rumahnya di Kampung Beting Remaja, Blok A, Kelurahan Tugu 
Utara, Koja, Jakarta Utara, Senin (15/2). Pasangan Rudy dan Marni yang 
berprofesi sebagai pengamen keliling ini mengaku merelakan dua dari enam 
anaknya diserahkan kepada orang lain, pada 1995 dan 2000 silam. "Mereka adalah 
anak kedua dan keempat kami," ujarnya.

Rudy dan Marni hanya meminta dibayari ongkos persalinan antara Rp 500.000 
hingga Rp 1 juta. Putri kedua diambil oleh seorang keturunan Tionghoa asal 
Bandung, sedangkan yang kedua diambil oleh orang asal Surabaya. "Saya tidak 
tahu di mana mereka sekarang, sampai saat ini kedua orang itu nggak pernah 
membawa mereka untuk bertemu saya. Saya padahal ibu kandungnya," ujar Marni 
sambil meneteskan air mata.


Baik Marni maupun Rudi mengaku menyesal telah menjual kedua anaknya. "Saat itu 
kami benar-benar terpaksa karena sudah tidak uang lagi untuk biaya persalinan," 
tukas Rudi yang menemani istrinya di rumah gubuk mereka yang berukuran 2 x 3 
meter. Menurut Rudi, sejak keduanya menikah tahun 1992 silam, mereka langsung 
berpisah dari keluarga besarnya. "Pernikahan saya tidak direstui oleh kedua 
orang tua kami. Sekarang keluarga saya mupun keluarga istri tidak mau mengakui 
kami, sebab kami miskin," tambahnya.

Bayar Utang
Sebelumnya, Rika (bukan nama sebenarnya) (24) warga Kampung Beting, Koja, 
Jakarta Utara, nekat menawarkan anak yang masih di dalam kandungannya demi 
melunasi utang sebesar Rp 550.000. Saat ini usia kandungannya baru sekitar 
delapan bulan. "Saya terpaksa, karena tidak punya uang sama sekali untuk 
membayar biaya melahirkan," kata Rika saat ditemui di rumah kontrakannya di 
Kampung Beting, Koja, Jakarta Utara, Minggu (14/2) siang.


Anak yang masih dikandungan Rika tersebut, merupakan anak keduanya dengan 
Taufik-bukan nama sebenarnya-(29). Anak pertama Rika saat ini telah berusia 10 
tahun, dan dirawat oleh orang tua suaminya di Palopo, Sulawesi Selatan. "Sudah 
ada dua orang yang siap membayar Rp 1 juta," ujarnya. 


Namun, Rika tidak bersedia menyebutkan nama dan alamat dua orang yang bersedia 
membeli calon anak Rika itu. Rika dan Taufik mengaku terpaksa menjual calon 
anaknya ini karena kemiskinan mereka. "Sekarang masalah bertambah dengan 
dipecatnya suami saya dari pekerjaannya sebagai juru mudi di kapal tongkang 
milik PT Inti Lintas Tirta Nusantara sejak Januari lalu, " katanya.


Selain untuk membayar biaya persalinan, uang tersebut nantinya juga akan mereka 
gunakan untuk membayar utang sebesar Rp 550.000 kepada seorang pemilik rumah 
kontrakan yang pernah ditinggalinya, di Kampung Sawah, Tanjung Priok. 
"Jatuh tempo utang tersebut pada 22 Februari nanti," tambahnya.(cr-9)

++++

http://www.sinarharapan.co.id/cetak-sinar/berita/read/kekerasan-terhadap-anak-kian-meningkat/

Senin, 15 Pebruari 2010 13:29 

Kekerasan terhadap Anak Kian Meningkat 
OLEH: NAOMI SIAGIAN



Jakarta - Satu anak mengalami kekerasan sudah terlalu banyak. Namun, yang 
terjadi di Indonesia sebalik­nya. Jumlah kekeras­an terhadap anak meningkat 
setiap tahun. Tragisnya, negara abai memberi perlindungan.

     

Belakangan ini, kasus kekerasan terhadap anak muncul dengan sangat mengejutkan. 
Mutilasi dan pedofilia, perdagangan anak lewat Facebook, mempekerjakan anak di 
bawah umur, dan kekerasan seksual terhadap anak, muncul secara beruntun di 
negara yang diakui sebagai negara beradab ini. 


Fakta Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan, lebih dari 100 
pengaduan setiap bulan mereka terima atas berbagai kasus pelanggaran hak anak 
selama tahun 2009. Total, Komnas menerima laporan pengaduan sepanjang tahun itu 
mencapai 1.998 kasus. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2008, yakni 1.736 
kasus. Bentuk pelanggarannya pun makin kompleks dengan beragam modus.     
"Fakta dan data yang dilaporkan masyarakat ke Kom­nas Perlindungan Anak makin 
kompleks, di luar akal sehat manusia dan tidak bisa ditoleransi," tegas 
Sekretaris Jenderal Komnas PA Ariest Merdeka Sirait dalam diskusi Kekerasan 
terhadap Anak: Siapa yang Bertanggung Jawab yang diselenggarakan Centre for 
Dia­lo­gue and Coo­peration among Civilisations (CDCC), di Ja­karta, Kamis 
(11/2) pekan lalu. 


Hasil survei Organisasi Bu­ruh Internasional atau Inter­national Labour 
Organizations (ILO) dan Badan Pusat Sta­tis­tik (BPS) terbaru tentang pekerja 
anak di Indonesia, juga sangat mencengangkan. Dari 58 juta anak berusia 5-17 
tahun, sebanyak 4,05 juta atau 6,9% masuk ketegori anak bekerja. Dari jumlah 
keseluruhan anak yang bekerja, sebanyak 1,76 juta atau 43,3% merupakan pekerja 
anak. 


Dari keseluruhan anak yang bekerja, ada 48,1 juta anak atau 81% bersekolah dan 
24,3 juta atau 41,2% terlibat dalam pekerjaan rumah dan 6,7 juta atau 11,4% 
anak tergolong idle, yaitu tidak bersekolah, tidak membantu di rumah, dan tidak 
bekerja.  Anak yang bekerja umumnya masih bersekolah, bekerja tanpa dibayar di 
berbagai bi­dang industri, jasa, dan pertanian. Siapa bisa menoleransi kasus 
kekerasan yang terjadi pada anak? Anak begitu mu­dah dieksploitasi orang 
de­wa­sa, di jalanan, di rumah mau­pun di sekolah. Kita melihat anak mendapat 
caci maki, pemaksaan, pemerasan, dan berbagai cara lainnya. Angka-angka yang 
terpapar menunjukkan betapa memprihatinkannya kondisi anak Indonesia. Trihadi 
Saptoadi, Direktur World Vision Indonesia (WVI) bahkan menegaskan, kekerasan 
atau pelanggaran hak anak layak disebut tragedi kemanusiaan. 

"Kalau ditanya siapa yang bertanggung jawab atas kekerasan terhadap anak, 
jawabnya sudah pasti negara. Tetapi, ada cara pandang yang salah dari negara 
terhadap anak sehingga kebijakan yang diambil tidak berpihak pada anak," kata 
anggota Komisi IX DPR Rieke Dyah Pitaloka.   Negara tidak memandang anak 
sebagai sebuah pribadi. Anak adalah milik keluarga, milik pribadi. Hal itu 
tidak lepas dari paradigma budaya masyarakat Indonesia yang menempatkan pada 
level terbawah. 


Maria Ulfa, Ketua Umum Fatayat NU menegaskan, fakta kekerasan yang dialami anak 
merupakan tanggung jawab negara dan orang tua. Budaya pragmatis yang semakin 
kuat di Indonesia tidak jarang menjadikan anak sebagai mesin uang. Contohnya 
saja, banyak orang tua memaksakan anak ikut kompetisi menyanyi Idola Cilik 
karena hanya memikirkan bagaimana anak bisa menghasilkan uang. Ironisnya, kata 
Maria, sistem pendidikan yang hanya mengejar kurikulum, juga ikut melakukan 
kekerasan terhadap anak. Sistem pendidikan tidak menyediakan ruang bagi anak 
mengembangkan potensi dirinya. 

Peran Agama Hilang
Banyak yang kemudian mempertanyakan di mana peran agama sehingga kekerasan pada 
anak marak terjadi. Indonesia padahal merupakan negara beragama, semua rakyat 
menganut agamanya masing-masing. 
Romo Benny Susetyo dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) menegaskan agama 
telah kehilangan kepekaan kemanusiaannya. "Sekarang agama jadi agama 
Mcdonalisasi. Agama cuma menjadi bisnis ritual, tidak masuk dalam kebatinan," 
tegas Romo. 


Agama terjebak pada ke­sa­lehan pribadi, namun sekaligus mengabaikan lingkungan 
sosial. Tokoh agama lebih se­nang pada simbol-simbol ke­agamaan, namun tidak 
memperhatikan martabat manusia.  Oleh karena itu juga, ketika kekerasan 
terhadap anak terjadi, tokoh agama membiarkannya. Negara leluasa memproduksi 
kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. "Sekarang Presiden membiar­kan 
anak-anak ditindas, dan seharusnya tokoh agama be­ra­ni mengingatkan. Tokoh 
agama harus ikut mencegah kekerasan," katanya menekankan.  Menurutnya, 
Indonesia negara ketiga terbanyak me­lakukan kekerasan terhadap rumah ibadah, 
anak-anak, dan perempuan. Mencegah kekerasan terhadap anak harus dilakukan 
sejak sekarang. Jika tidak, anak akan terus-menerus menjadi mangsa. Sudah 
saatnya ada koalisi semua masyarakat sipil bergerak mengingatkan pemerintah 
untuk mencegah kekeras­an terhadap anak. 


Tuntutan ini tidak berlebihan. Regulasi untuk mendukung perlindungan anak sudah 
lengkap. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak yang 
dituangkan dalam undang-undang (UU). Sekarang tinggal bagaimana 
implementasinya. 


Bahkan, Ariest Merdeka dengan tegas menyatakan, bila pemerintah tidak 
menjalankan kebijakan, harus bisa dikriminalkan. "Contohnya saja, pemerintah 
menjanjikan Kota Ramah Anak di setiap wilayah, kalau tidak dipenuhi yang 
membuat kebijakan itu dikriminalkan." tandasnya.   Saatnya negara memproduksi 
kebijakan dan masya­ra­kat harus berkomitmen demi kepentingan terbaik anak. 
Anak Indonesia harus diselamatkan. n



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to