----- Original Message ----- 
From: "ah-mbel-ah" <eyang_mbelge...@yahoo.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Monday, February 22, 2010 11:13
Subject: [wanita-muslimah] Re: Ulama Pasuruan Tolak RUU Nikah Siri

Sebenarnya hanya kantor catatan sipil saja yang boleh mewakili negara dalam hal 
pencatatan perkawinan, kelahiran dan kematian warganegaranya. Departemen Agama, 
dan oleh karenanya KUA, adalah duplikasi catatan sipil yang menambah kekisruhan 
kewarganegaraan, menambah birokrasi, memperuncing perbedaan keyakinan dan 
membebani keuangan negara. 

Perlu diingat bahwa sebagian besar APBN dibiayai oleh pajak. Pembayar pajak 
besar adalah para pengusaha. Sementara itu, mayoritas dari pengusaha besar 
bukanlah pengguna jasa dari Departemen Agama/KUA sehingga tidak memerlukan 
keberadaannya. Jika Depag/KUA dibubarkan, keuangan negara dapat dihemat dan 
dialihkan untuk pemenuhan kesejahteraan sosial lain yang lebih penting daripada 
urusan-urusan yang sebenarnya tidak diperlukan.

Jika departemen agama dibubarkan, KUA tidak diperlukan lagi. Dengan demikian, 
MUI juga akan mengikutinya. Jika tidak ada MUI, masyarakat dapat menjalani 
hidupnya tanpa fatwa-fatwa yang bermutu rendah. 
#################################################################################################
HMNA:
Biuh, biuh, biuh, seirama dengan visi misionaris Abdullah an-Na'im yang 
mengemban missi/diplomasi sekularisme yang dikirim oleh Amerika ke Indonesia. 
Baca Seri 792 di bawah:
***********************************************************
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU  DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
792 An-Na'im Setali Tiga Uang Dengan Abu Zayd 

Dalam rangka mengemban missi/diplomasi sekularisme yang dikirim oleh Amerika ke 
Indonesia, sudah lebih sepekan Abdullah an-Na'im melakukan roadshow di 
Indonesia. Abdullah an-Na'im sebagai duta sekularisme yang dikirim Amerika  
berupaya "menjual" dagangannya yang tertuang  dalam bukunya yang sudah 
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: "Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan 
Masa Depan Syariah." An Na'im menyempatkan diri bertandang ke redaksi Fajar, 
pada hari Selasa 7 Agustus 2007, sehari sebelum bukunya itu dibedah di UIM 
(mantan IAIN) Alauddin Makassar. Dalam kolom ini saya kemukakan yang belum 
sempat muncul dalam bedah buku di UIM tersebut, yaitu seperti judul di atas 
"Abdullah an-Naim Setali Tiga Uang Dengan Nasr Hamid Abu Zayd". (Saya potong 
nama lengkap keduanya, supaya judul itu tidak terlalu panjang).

"Idealnya negara harus berbentuk sekuler, semua warga negara diuntungkan. 
Negara sekular bukan untuk ditakuti umat Islam. Agama mesti dipisahkan dari 
otoritas negara. Tidak ada institusi yang bisa mengatur urusan keagamaan 
masyarakat, karena itu adalah hak personal yang tidak bisa diintervensi. 
Syariah adalah produk penafsiran, produk pemikiran dan produk pengalaman 
manusia. Jadi syari'ah bukanlah produk Tuhan, tidak abadi dan tidak mengikat," 
demikian menurut an-Na'im.

***

An-Na'im terlalu menyederhanakan negara sekuler dan syari'ah. Negara sekuler 
tidak ada yang polos. Negara sekuler Perancis(*) berdasarkan sinergi 
humanisme-liberalisme. Negara sekuler Turki berdasarkan Kemalist yang anti 
agama. Realitas di Perancis dan Turki tidak menguntungkan ummat Islam, semua 
yang suka membaca berita kontemporer tahu akan hal itu. Ratu Inggris Elizabeth 
II memberikan gelar bangsawan "Sir" buat Salman Rushdie penulis buku "The 
Satanic Verses". Bahkan Tom Trancendo kandidat presiden AS dari Partai 
Republik, yang partainya Geoge War Bush, mau membom nuklir Makkah dan Madinah. 

Pandangan An-Naim tentang syari'ah di atas itu menunjukkan dia itu merelatifkan 
syari'ah. An-Na'im yang merelatifkan syari'ah tersebut, sama sekali tidak na'im 
(nyaman), karena dia berusaha memperkecil peran dan pengaruh hukum syariah 
dalam kehidupan publik ummat Islam. Bahkan lebih dari itu, Islam dan hukum 
syariah tidak bisa berperan sama sekali dalam ranah publik. Kalau idenya ini 
direalisasikan di Indonesia, maka semua institusi yang berlebelkan Islam harus 
dihapus, UU yang menjadi dasar pembentukan Nanggroe Aceh Darussalam harus 
diganti, GAM lalu berontak lagi, semua upaya perdamaian yang dengan susah payah 
dicapai, akan menjadi sia-sia, seluruh keadaan di Indonesia menjadi amburadul, 
karena Departemen Agama, Peradilan Syari'ah, Majelis Ulama Indonesia di pusat 
dan di daerah-daerah harus dihapus total. 

Merelatifkan syari'ah itu sangat keterlaluan liberalnya. Firman Allah:
-- W aATYNHM  BYNT MN ALAMR (S. ALJATsYt, 45:17), dibaca:
-- wa a-tayna-hum bayyina-tin minal amri, arinya:
-- dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang 
urusan;
 
-- TsM J'ALNK 'ALY SyRY'At  MN ALAMR FATB'AHA WLA TTB'A AHWAa ALDzYN LA Y'LMWN 
(45:18), dibaca:
-- tsumma ja'alna-ka 'ala- syari'atim minal amri fattab'ha- wa la- tattabi' 
ahwa-al ladziyna la- ya'lamu-n, artinya:
-- Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariah dari urusan, maka 
ikutilah syariah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak 
mengetahui.

Kemudian dilanjutkan pada ayat (45:19) bahwa orang-orang zhalim yang menolak 
syari'ah dalam hal urusan, mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. 
-- WAN ALZhLMYN B'ADhHM AWLYAa B'ADh dibaca:
-- wa innzha-limi-na ba'dhuhum awliya-u ba'dhin. 
arinya:
-- dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong 
bagi sebagian yang lain. 

Apa yang dimaksud dengan al-amr (urusan) dalam ayat-ayat di atas itu?
-- WAMRHM SyWRY BYNHM (S. ALSyWRY, 42:38), dibaca:
-- wa amruhum syu-ra- baynahum, artinya:
-- dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.

Jadi urusan dalam syari'ah dalam ayat-ayat di atas itu adalah mengenai urusan 
kenegaraan.

Rasulullah SAW bersabda: 
Umat ini senantiasa tetap pada syariah, selama belum nampak tiga perkara:
1- Belum dilenyapkannya ilmu (agama) dari mereka, 
2- Belum banyaknya anak-anak dari hasil perzinaan, 
3 dan belum nampak Shaffarun. 
Mu'adz bertanya, apakah Shaffarun atau Shaffalawun itu ya Rasulullah? Beliau 
bersabda: Mereka itu adalah manusia yang muncul di akhir zaman, di mana ucapan 
selamat atau pujian (tahiyyah) di kalangan mereka adalah pelaknatan"(HR. Ahmad).

Jika Nasr Hamid Abu Zayd mengemukakan paham relativisme dalam hal wahyu dan 
aqidah, maka an-Naim mengemukakan relativisme itu dalam tataran hukum syariah 
vs negara. Ini tidak aneh, sebab sesama kalangan liberal adalah ba'dhuhum 
awliya-u ba'dhin, seperti disebutkan dalam ayat (45:19) yang dikutip di atas 
itu.
 
Menurut Dr.M. Emarah, dari sudut latarbelakang pemikiran, Abu Zayd merupakan 
seorang kader "Sosialis"-"Marxis" Arab muda,  sehingga kunci untuk memahami 
pemikiran Nasr ada pada methodologi dialektika Marxisme: 
"Historische-Materialisme." Bagi Nasr aqidah dibangun diatas landasan 
persepsi-persepsi "mitos", dalam kebudayaan komunitas manusia, sehingga aqidah 
sifatnya relatif. Menurut An-Naim, negara adalah benda mati, jadi negara tidak 
bisa menjadi atau disebut Islami. Kalau diperturutkan logika An-Naim bahwa 
negara adalah benda mati, sehingga An-Naim bilang tidak boleh ada negara Islam, 
maka negara sekulerpun tidak boleh ada juga, dan kalau logika ini seterusnya 
diperturutkan, maka menuju kepada konsep kekafiran Marxime yang berangan-angan 
dengan spekulasi: "masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara." 

Di Makassar ini an-Na'im mendapat tantangan sengit di forum UIM Alauddin, maka 
elok juga ulasan ini ditutup dengan mengemukakan dua hal yang lucu, 
pertama, macam mana pula orang seperti an-Naim, yang sangat sederhana memaknai 
hukum syariah vs negara, melakukan roadshow mengkampanyekan sekularisme, bisa 
dijadikan duta Amerika Serikat, yang kandidat presidennya mau membom nuklir 
Makkah dan Madinah,  
kedua, buku an-Naim edisi Indonesia ini, mendapat pengakuan dan sanjungan dari 
dua akademisi nasional, Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Ahmad Syafii 
Maarif dalam sampul (cover) depan dan belakang. semoga butir kedua ini bukan 
"ba'dhuhum awliya-u ba'dhin".  WaLlahu a'lamu bisshawab.


*** Makassar, 19 Agustus 2007
     [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2007/08/792-naim-setali-tiga-uang-dengan-abu.html
--------------------------------
(*)
Update:
Contoh nyata negara sekuler:
Kehadiran Burger Halal Hebohkan Prancis
Date:  Saturday,  February 20, 2010, 05:58Sumber : www.okezone.comPARIS - 
Sebuah restoran cepat saji di Prancis menawarkan sebuah menu baru yang membuat 
berang beberapa politisi di Prancis. Restoran ini menawarkan menu burger halal 
dalam layanannya, sekaligus tidak lagi menjual burger daging babi. Restoran 
cepat saji yang bernama Quick ini menarik penggunaan daging babi di salah satu 
cabangnya di kota Roubaix, Utara Prancis. Layanan serupa juga mereka terapkan 
di cabang mereka di Marseille dan Argenteuil. Layanan ini dilakukan oleh Quick 
sebagai respons meningkatnya pasar makanan halal yang dicari oleh warga muslim. 
Layanan yang dimaksudkan untuk menarik pelanggan muslim ini, langsung 
mengundang kecaman dari politisi garis keras Prancis. Sebagian politisi dari 
golongan kiri dan sayap kanan Prancis menilai, pengalihan dari menu mengandung 
babi ke menu halal termasuk untuk burger, dianggap menekan hak warga nonmuslim 
Prancis untuk mendapatkan menu sehari-hari mereka. Akibat layanan baru dari 
Quick ini, menyebabkan warga nonmuslim harus berjalan jauh untuk mencari cabang 
Quick lain yang masih menyediakan menu daging babi. Walikota Roubaix Frank 
Berton melayangkan keberatannya atas tindakan yang dinilai diskriminatif ini. 
Ia pun melayangkan tuntutan hukum atas hal ini."Saya tidak terganggu dengan 
tersedianya menu halal," ucap Walikota Roubaix, Frank Berton seperti dikutip 
AFP, Jumat (19/2/2010). "Tetapi layanan ini menjadi satu-satunya yang 
disediakan dan menjadikannya layanan yang diskriminatif," lanjut Frank Berton. 
Politisi sayap kanan Prancis Marine Le Pen menuduh, jika menu halal ini 
menyediakan jaminan finansial bagi organisasi muslim yang membenarkan 
pembantaian binatang seperti sapi dan kambing, yang berbalut atas nama kurban. 
Le Pen sendiri mengecam jika menu halal ini tidak dapat diterima dan menilai 
hal tersebut merupakan bentuk Islamisasi yang kian dekat ke masyarakat Prancis. 
(faj)(rhs

***
Dan dari file lama:
http://www.republika.co.id/ASP/koran_detail.asp?id=152066&kat_id=16

Senin, 02 Februari 2004

Jilbab, HAM, dan Sekularisme 

Laporan : Heru Susetyo, SH. LL.M. M. Sos. 


Heru Susetyo, SH. LL.M. M. Sos.
Ketua Dewan Pengurus Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia (PAHAM)

Kaum muslimin yang berjenggot dan muslimah yang berjilbab barangkali
kini tengah bersyukur dan mengucap: "untung saya tidak tinggal di
Perancis." Pangkalnya adalah pidato Presiden Perancis Jacques Chirac
pada 17 Desember 2003 tentang penegasan kembali prinsip-prinsip
sekularisme di Perancis yang pada akhirnya mempersoalkan penggunaan
atribut-atribut keagamaan seperti jilbab/hijab (Islamic veil) bagi
umat Islam, kippa bagi umat Yahudi, dan salib bagi umat Kristiani.
Atribut-atribut keagamaan tersebut dilarang digunakan di
sekolah-sekolah publik dari tingkat dasar hingga menengah. Tak cukup
jilbab, menteri Perancis Luc Ferry juga mempersoalkan jenggot, yang
menurutnya harus ditinjau ulang untuk dapat eksis di negara sekuler
seperti Perancis (Republika, 26/1 -04).

Komentar yang paling umum terhadap pelarangan tersebut adalah mengapa
di negara sekuler yang seharusnya tidak mencampuri urusan privat
warganegaranya (termasuk masalah ibadah dan kebebasan mengekspresikan
agama), masalah jilbab dan jenggot dipersoalkan?

Wajarlah, gelombang aksi dan protes massa, utamanya dari masyarakat
muslim di dunia, tak henti-hentinya membombardir kedutaan dan
perwakilan Perancis di seluruh dunia. Di Indonesia, perwakilan Pusat
Kebudayaan Perancis di Surabaya dan Kedutaan Besar Perancis di Jakarta
tak luput dari kunjungan para demonstran. Satu komentar yang menarik
dari seorang demonstran di Jakarta adalah, ''Kalau warga muslim di
Perancis tak boleh pakai jilbab, semestinya turis Perancis-pun tidak
boleh pakai celana pendek di Indonesia. Itu namanya adil.''

Apapun motifnya, pelarangan atribut-atribut keagamaan di Perancis ini
menarik untuk dikaji. Utamanya dari sisi hak asasi manusia dan
perspektif sekularisme terhadap agama. Benarkah sekularisme bisa
berarti peniadaan ekspresi keagamaan?

Pidato Chirac
Dalam pidatonya pada 17 Desember 2003 (dapat diakses pada situs
kedubes Perancis), Presiden Perancis Jacques Chirac menegaskan bahwa
Perancis adalah negeri tempat lahirnya ide-ide dan prinsip-prinsip
besar. Negeri yang ramah dan mewarisi kekayaan sejarah dalam hal
pluralitas (diversity) baik budaya, suku, keyakinan/ agama, bahasa,
dan lain-lain. 

Menurutnya, mengkotak-kotakkan masyarakat ke dalam berbagai komunitas
tidak menjadi pilihan bagi Perancis. Bahkan, bertentangan dengan
sejarah, tradisi, dan budaya Perancis. Juga, bertentangan dengan
prinsip-prinsip humanisme Perancis. Kemuliaan Perancis yang membawanya
pada peradaban sosial yang tinggi sangat bergantung pada komitmen
terhadap persamaan (equality) dan persaudaraan (fraternity) di antara
masyarakat Perancis. 

Chirac mengatakan pula, demi menjaga integrasi dan menjamin kesempatan
yang sama di Perancis, maka kita harus terus menghidupkan prinsip
sekularisme, yang merupakan pilar dari konstitusi kita. Sekularisme
mengekspresikan ketetapan kita untuk hidup bersama secara saling
menghargai, mengembangkan dialog, dan toleransi. Sekularisme
menghargai kebebasan nurani dan kebebasan untuk berkeyakinan atau
tidak berkeyakinan. Setiap orang bebas untuk mengekspresikan dan
mempraktekkan keyakinannya secara damai dan bebas, tanpa ancaman dari
penganut keyakinan yang lain. Kemerdekaan untuk mengekspresikan
keyakinan agama dapat dibatasi hanya ketika bertentangan dengan
kebebasan orang lain, dalam rangka ketaatan terhadap aturan hidup
bersama dalam masyarakat (rules of life in society). Kemerdekaan
berkeyakinan tak dapat merusak aturan hidup bersama.

''Saya telah mempertimbangkan bahwa penggunaan pakaian-pakaian atau
tanda-tanda yang menunjukkan afiliasi kepada suatu agama tertentu
haruslah dilarang di sekolah-sekolah. Terkecuali, salib, bintang Daud
(star of David), tangan Fatima (hand of Fatima) dapat tetap diijinkan.
Sebaliknya, tanda-tanda yang menyolok dan menarik perhatian seperti
kerudung/jilbab (Islamic veil), Kippa (bagi umat Yahudi), dan tanda
salib yang terlalu besar, tidak punya tempat di sekolah-sekolah
publik. Sekolah-sekolah publik harus tetap sekuler.'' 

Korban-Korban Pelarangan Jilbab
Islamic Human Rights Commission, satu NGO Islam di Inggris, melaporkan
(Januari 2003) bahwa telah 400 kasus terjadi di Perancis berkenaan
dengan pelarangan jilbab ini sebelum dan sesudah pidato Chirac.
Majalah Tarbawi (Januari 2004) menyebutkan bahwa sejumlah muslimah
berjilbab diberhentikan dari tempat kerja di institusi pemerintahan
dan pendidikan Perancis. Seorang anggota tim Juri pengadilan kota
Bubini, Paris, juga dipecat dari pekerjaannya atas perintah jaksa
agung Perancis, karena berjilbab. Menteri kehakiman Dominique Perben
melarang perempuan berjilbab berada di gedung pengadilan. Ia
mengatakan tidak dapat menerima simbol-simbol keagamaan ada di ruang
pengadilan.

Menlu Perancis Nicole Sarkozi mengungkapkan pada 19 April 2003 bahwa
mereka yang mengenakan jilbab harus melepaskan jilbab bila terkait
urusan kepolisian. Pernyataan ini disampaikan di hadapan 15.000
muslimin Perancis.

Pada awal November 2003, beberapa muslimah dilarang masuk sekolah
karena mereka mengenakan jilbab. Kemudian dua orang muslimah, Laila
dan Levi, dikeluarkan dari sekolah di wilayah Eberfily, Paris Utara.
Keduanya tetap kukuh tak ingin melepaskan jilbab. Lalu, seorang
perempuan Perancis asal Turki dikeluarkan dari tugasnya sebagai guru,
juga karena memakai jilbab. 

Jilbab=Simbol Keagamaan?
Di dalam isu pelarangan jilbab, kippa (Yahudi), dan salib (Kristiani)
tersebut di Perancis (dan juga di Jerman), kata kunci yang sering
digunakan adalah bahwa ekspresi keagamaan tersebut adalah merupakan
simbol-simbol agama (religious symbols) yang seharusnya tak
ditampakkan secara menyolok (conspicuous) pada negara sekuler. Jadi,
menurut para sekularis tulen, menampilkan simbol-simbol keagamaan di
lingkungan kenegaraan adalah bertentangan dengan semangat pemisahan
agama dari negara (Sekularisme). Padahal, jilbab bukanlah simbol Islam
(religious symbol). 

Doktor Yusuf Qardhawi dalam situs islamonline.com (majalah Tarbawi,
Januari 2004) menyebutkan bahwa pelarangan jilbab sama sekali
bertentangan dengan prinsip kebebasan hidup modern, yakni kebebasan
individu dan kebebasan beragama. "Ada kesalahan besar bila dikatakan
jilbab adalah simbol keagamaan. Ini aneh. Jilbab bukan simbol agama,
tapi kewajiban. Tak ada terbetik dalam di pikiran seorang muslimah
bahwa jilbab untuk menunjukkan keislaman seseorang. Jilbab tidak sama
dengan salib atau dengan kippa milik orang Yahudi," ujar Qardhawi.

Karena jilbab merupakan kewajiban agama, maka seharusnya jilbab
dilindungi oleh prinsip sekularisme. Karena, pada saat yang sama,
sebetulnya, sekularisme mengakui kebebasan beragama. Hakikat
sekularisme tercermin pada ungkapan Bibel (Perjanjian Baru): "Render
to God what is God's, and render to Caesar what is Caesar's" (Berikan
kepada Tuhan apa yang menjadi urusan Tuhan, dan berikan kepada Kaisar
apa yang menjadi urusan Kaisar). 

Pelanggaran HAM
Pelarangan hijab/jilbab disamping bertentangan dengan semangat dasar
sekularisme, juga bertentangan dengan hak-hak sipil yang terkandung
dalam beberapa instrumen HAM universal. 

Pasal 18 Deklarasi HAM Universal, 1948, menyebutkan bahwa : "Setiap
orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama; hak ini
termasuk kebebasan menyatakan agama dan kepercayaannya dengan cara
mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, dan di tempat umum maupun
tersendiri." Muatan pasal ini hampir senada dengan pasal 9 Konvensi
Eropa tentang Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
tahun 1950. Sementara itu, pasal 18 ayat (2) Kovenan Internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966 menambahkan bahwa tidak
seorang-pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu
kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan
pilihannya sendiri. 

Pembatasan yang diperbolehkan Pasal 18 ayat (3) Kovenan Internasional
Hak-hak sipil dan Politik tahun 1966, dan pasal 9 ayat (2) Konvensi
Eropa tentang Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
tahun 1950 memang mengenal pembatasan tertentu untuk hak-hak kebebasan
beragama dan beribadah, seperti untuk melindungi keamanan, ketertiban,
kesehatan, kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang
lain.

Masalahnya adalah, apakah penggunaan hijab, kippa atau salib telah
mengganggu keamanan, ketertiban, kesusilaan umum, dan melanggar
hak-hak asasi orang lain? Jawabannya tentu tidak. Karena barangkali
mereka yang berjilbab, ber-kippa ataupun bersalib akan dengan mudah
mengatakan bahwa kami juga amat terganggu dengan orang-orang yang
menonjolkan ataupun membuka auratnya, baik dengan bercelana pendek,
rok mini, ataupun tanpa busana sekalipun. Walaupun di Perancis,
Belanda, dan di negara-negara barat lainnya ada pantai khusus untuk
kaum nudist (telanjang), toh kami tak pernah meminta tempat tersebut
ditutup. Ketika kaum nudist ataupun mereka yang gemar mempertontonkan
auratnya bisa berdalih bahwa adalah hak mereka untuk mengumbar atau
mengekspresikan keindahan tubuhnya, maka seharusnya kamipun bisa
mengatakan dan berhak atas hak-hak yang sama. Untuk mengekspresikan
agama dan kepercayaan kami. 

Penutup
Menyebutkan pelarangan hijab/jilbab dan ekspresi keagamaan yang lain
sebagai bertentangan dengan semangat sekularisme adalah asumsi yang
kurang berdasar. Semestinya, sekularisme justru tidak ambil peduli
dengan masalah-masalah privat masyarakat seperti kemerdekaan
mengekspresikan agamanya. Nuansa yang terlihat lebih dominan justru
adalah pengekangan hak asasi manusia, khususnya dalam wilayah hak-hak
sipil. Memang, instrumen HAM universal mengenal pembatasan ekspresi
keagamaan, yaitu ketika sudah melanggar keamanan, ketentraman, dan
kesusilaan umum. Apakah ekspresi keagamaan seperti jilbab melanggar
kesusilaan umum? Kesan yang lebih terlihat justru adalah suatu
Islamophobia, rasa kurang suka atau takut dengan perkembangan Islam
dan umat Islam. Kesan seperti ini merebak deras pasca tragedi 11
September 2001 (9/11) yang tertuju kepada kaum muslimin di seluruh
penjuru dunia. Maka, apabila logika melanggar keamanan, ketentraman
dan kesusilaan umum yang digunakan, maka bisa jadi turis-turis
Perancis yang datang ke Indonesia-pun akan dilarang untuk menggunakan
celana pendek ataupun rok mini. Karena, membuka aurat adalah selamanya
mengganggu kesusilaan umum. Wallahua'lam
 
http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0402/02/int4.htm








Ingat NKRI bukan NII.

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to