Seri : Tafsir Hadist
dakwatuna.com - Dari Abi `Abdillah Tsauban Bin Bujdad bahwa Rasulullah saw. 
Bersabda, "Dinar yang paling utama yang dibelanjakan seseorang adalah dinar 
yang ia belanjakan untuk keluarganya, dinar yang ia belanjakan untuk 
kendaraannya di jalan Allah, dan dinar yang ia infakkan untuk rekan-rekannya 
(yang tengah berjuang) di jalan Allah." (Muslim)
Dalam kitab Nuzhatul-Muttaqin (syarah Riyadush-Shalihin karya Imam An-Nawawi) 
disebutkan, hadits itu menjelaskan peringkat keutamaan pengeluaran harta 
(infak) bahwa memberi nafkah kepada keluarga merupakan infak yang paling mulia. 
Dalam hadits lain disebutkan:

"Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk 
(mememerdekakan) hamba sahaya, dinar yang engkau infakkan kepada orang miskin, 
dan dinar yang engkau infakkan untuk keluarga, yang paling utama di antara 
semua itu adalah dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu." (Muslim)

Ke manapun alokasinya, yang jelas seseorang tidak mungkin dapat berinfak jika 
tidak memiliki harta. Lebih-lebih jika kita mencermati ayat-ayat Al-Quran yang 
memerintahkan kita terlibat dalam jihad. Selalu saja disandingkan antara 
kewajiban berjihad dengan jiwa dengan kewajiban berjihad dengan harta. Bahkan 
dari semua ayat yang memerintahkan kita berjihad dengan harta dan jiwa, 
berjihad dengan harta selalu didahulukan kecuali pada satu ayat saja yakni ayat 
111 surah At-Taubah, yang maknanya:

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dan harta mereka 
dengan mendapatkan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu 
mereka membunuh atau terbunuh."

Selebihnya, hartalah yang disebut terdahulu. Perhatikan ayat-ayat berikut:

"Wahai orang-orang yang beriman, inginkah kalian aku tunjukkan pada suatu 
perniagaan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih. Kalian beriman 
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kalian berjihad di jalan Allah denganh harta dan 
jiwa kalian." (Ash-Shaf: 10-11)

Ini diperkuat dengan adanya kewajiban zakat. Dalam urusan yang satu ini memang 
ada kesalahan persepsi pada sebagian kaum muslimin. Kewajiban zakat sering 
dipahami begini: kalau punya harta, zakatlah; kalau tidak punya, tidak usah 
mengeluarkan zakat. Secara fiqih, pemahaman itu sangat benar. Tapi semangatnya 
bukanlah semangat kepasrahan pada keadaan. Semangat perintah zakat harusnya 
dipahami: carilah uang, kumpulkanlah harta agar dapat melaksanakan perintah 
Allah yang bernama zakat. Seharusnya kita membawa semangat shalat untuk 
diterapkan pada zakat. Kita selalu berpikir kita harus bisa melaksanakan shalat 
dengan segala perjuangan yang menjadi konsekuensinya. Dari mulai mencari 
penutup aurat, mencari tempat shalat, menentukan arah kiblat, mensucikan diri, 
dan seterusnya.

Itu semua mematahkan anggapan yang masih dianut sebagian orang bahwa kesalihan 
dan ketakwaan identik dengan kepapaan, kemelaratan, kesengsaraan, dan 
ketertindasan. Seolah-olah hanya orang miskin, jelata, dan tertindaslah yang 
layak menghuni surga. Sebaliknya orang kaya dan orang yang punya jabatan tidak 
punya tempat di surga. Ini diperparah dengan sering disitirnya hadits-hadits 
dha'if (lemah) atau bahkan maudhu' (palsu) yang memberikan pesan untuk menjauhi 
dunia sejauh-juahnya demi mencapai ketakwaan dan kesucian jiwa. Atau mungkin 
juga menyitir hadits shahih tentang zuhud dengan pemahaman yang salah.

Zuhud tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah kepuasaan hati dengan apa 
yang diberikan Allah swt. Zuhud adalah ketiadaan ikatan hati kepada kekayaan. 
Bahwa sambil merasa puas dengan apa yang Allah berikan dan sambil meniadakan 
ikatan hati dengan harta seseorang memiliki harta dan jabatan, tidaklah 
menafikan sifat zuhud.

Utsman Bin `Affan adalah konglomerat dan kaya raya. Beliau termasuk sahabat 
Nabi saw. yang dijamin masuk sorga. Demikian pula halnya dengan `Abdurrahman 
Bin `Auf. Beliau sukses dalam bisnis dan menjadi saudagar kaya raya. Toh beliau 
juga termasuk yang dijamin masuk surga. Umar Bin `Abdul-`Aziz, khalifah yang 
kaya raya. Tapi justeru dia termasuk orang zuhud.

Posisi harta dalam Islam sama dengan posisi kemiskinan: sebagai ujian bagi 
manusia. Dengan kekayaan orang bisa masuk surga sebagaimana dengan kekayaan 
pula orang bisa masuk neraka. Dengan kepapaan orang bisa masuk surga 
sebagaimana dengan kepapaan pula orang bisa masuk neraka. Semuanya ujian! Allah 
swt. menegaskan:

"Dan Kami coba kalian dengan keburukan dan kebaikan, (semuanya) sebagai ujian." 
(Al-Anbiya: 35)

Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya dunia itu manis dan menghijau. Dan sesungguhnya Allah mengangkat 
kalian sebagai khalifah di dalamnya untuk melihat (menguji) bagaimana kalian 
bekerja. Maka berhati-hatilah dengan dunia dan berhati-hatilah dengan wanita. 
Karena sesungguhnya fitnah Bani Israil adalah pada wanita." (Riwayat Muslim)

Jadi, orang yang saleh bukanlah orang memilih meninggalkan harta melainkan yang 
lulus dalam ujian mengelola harta itu. Seseorang dianggap lulus ujian dalam 
urusan harta manakala:

Hanya menempuh cara halal untuk memperoleh harta. 
Pada hari kiamat, setiap orang akan diminta pertanggungjawaban terkait dengan 
hartanya, dari manakah ia memperolehnya dan dengan cara apa? Ini batu ujian 
pertama. Rasulullah saw. bersabda:

Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman seperti yang 
diperintahkan kepada para rasul. Dia berfirman, `Wahai para rasul, makanlah 
dari yang baik dan beramal salehlah karena sessungguhnya Aku mengetahui apa 
yang kamlian lakukan'. Dia juga berfirman, `Wahai orang-orang yang beriman 
makanlah yang baik dari yang Kami rezekikan kepada kalian'." Lalu Rasulullah 
saw. menerangkan tentang orang yang mengadakan perjalanan panjang, kusut masai 
dan berdebu. Ia mengadakahkan kedua tangannya (berdoa) ke langit (sambil 
mengatakan): Ya Rabbi, ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, 
pakaiannya haram dan diberi makan dari yang haram, bagaimana doanya akan 
dikabulkan." (Muslim)

Harta itu tidak menyebabkan sombong 
Orang yang suksus mengelola harta adalah orang yang dengan hartanya justeru 
semakin rendah hati dan menyadari bahwa segala yang dimilikinya adalah titipan 
atau amanah dari Allah. Abdurrahman bin `Auf yang padahal termasuk orang yang 
dijamin masuk surga pernah berlinang air mata saat dirinya siap menyantap 
hidangan lezat yang ada di hadapannya. Ketika ditanya penyebab ia menangis, ia 
menjawab, "Aku takut hanya yang kunikmati di dunia inilah yang menjadi 
ganjaranku dari Allah."

Menjadi fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah. 
Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baik harta yang saleh adalah yang ada pada 
orang saleh." Beliau juga memerintahkan kepada kita, "Jauhkanlah dirimu dari 
neraka walau dengan hanya sebelah kurma."

Menjadi fasilitas untuk silaturahim. 
Infaq adalah baik. Dan infaq kepada kerabat adalah lebih baik lagi. Karena 
selain bernilai taqarrub, perbauatan itu juga merupakan upaya silaturahim. 
Rasulullah saw. bersabda, "Shadaqah kepada orang misikin adalah satu shadaqah 
dan shadaqah kepada orang yang punya hubungan rahim (kerabat) adalah dua 
shadaqah: shadaqah dan shilah (menyambungkan)." (At-Tirmidzi)

Menjadi fasilitas untuk perjuangan. 
Perjuangan Islam jelas tidak mungkin tanpa dukungan finansial. Kekuatan 
orang-orang kafir harus dihadapi dengan kekuatan optimal kaum muslimin. Dan ini 
tentu saja salah kekutan itu adalah kekuatan maliyyah (finansial).

Itulah sebagian ajaran Islam yang terkait dengan kekayaan. Jadi, menjadi orang 
kaya, siapa takut? Allahu a'lam.
 
sumber : dakwatuna.com


Kirim email ke