*******
Mengkritisi Ijab Kabul Pernikahan

Mengkritisi Redaksi Ijab Kabul Pernikahan
Oleh Drs. Achyar Zein, M.Ag

Memudahkan urusan dan tidak mempersulit adalah gambaran yang paling asasi dari 
ajaran Islam dan sekalipun terkesan banyaknya persyaratan maka dapat dipahami 
tujuan dimaksud adalah untuk kepentingan individu yang bersangkutan. 
Persyaratan-persyaratan yang dikemukakan baik oleh al-Qur'an maupun Sunnah 
masih pada tataran rasional sementara redaksi ijab kabul penikahan yang berlaku 
di masyarakat sangat sulit diterima akal rasional.

Lamban, bertele-tele dan terkesan mempersulit adalah merupakan gambaran dari 
redaksi ijab kabul penikahan yang terjadi selama ini. Berbagai alasan selalu 
dikemukakan untuk meligitimasi redaksi ijab kabul namun landasan filosofisnya 
masih terkesan gersang sementara penyederhanaan redaksi masih mungkin sekali 
untuk dilakukan dan bahkan sangat sesuai dengan ruh al-Qur'an dan praktek Nabi 
Muhammad khususnya ketika menikahkan Fathimah kepada Ali.

Tulisan ini mencoba menganalisis redaksi-redaksi ijab kabul pernikahan yang 
lazim terjadi di masyarakat selama ini dan sekaligus menawarkan redaksi ijab 
kabul dalam format yang sangat sederhana sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi 
Muhammad sendiri. Selain itu penyederhanaan aspek-aspek yang lain dirasakan 
sangat pernting mengingat bahwa pernikahan adalah ibadah yang tidak perlu 
ditunda-tunda. Mudah-mudahan tulisan ini dapat dijadikan referensi untuk menata 
ulang kembali lafazh-lafazh yang digunakan pada waktu ijab kabul.

Format Redaksi Ijab Kabul yang Terjadi di Masyarakat
Allah menghendaki kemudahan terhadapmu dan sama sekali tidak menginginkan 
adanya kesulitan demikian diungkapkan dalam al-Qur'an Q.S. al-Baqarah ayat 185. 
Kemudian hal yang hampir sama Nabi Muhammad memerintahkan untuk memudahkan 
urusan dan jangan mempersulit serta memberikan kegembiraan kepada otang lain 
dan jangan membuat mereka lari.

Firman Allah dan sabda Nabi Muhammad di atas pada prinsipnya dapat dijadikan 
tolok ukur khususnya dalam pelaksanaan ijab kabul sewaktu pemikahan dan bahkan 
secara praktis Nabi Muhammad telah melakukan ungkapan yang sangat sederhana 
dalam ijab dan kabul ketika menikahkan Fathimah kepada Ali. Mengingat bahwa 
pemikahan adalah ibadah maka pelaksanaannya adalah al-ittba' yaitu mengikut apa 
yang sudah dicontohkan oleh Nabi.

Ironisnya pelaksanaan ijab kabul yang dilakukan oleh masyarakat terkesan 
bertele-tele dan bahkan sangat menyulitkan dengan sebutan-sebutan yang sama 
sekali tidak mengandung makna kebaikan. Perubahan prilaku seperti ini mutlak 
diperlukan terutama pihak yang berwenang yaitu Departemen Agama seperti KUA dan 
P3N agar ijab kabul dalam pernikahan tidak lagi merupakan momok yang menakutkan.

Praktek lafazh ijab kabul di masyarakat seharusnya dapat dijadikan bahan 
introspeksi karena memakan waktu yang berjam jam dan menggunakan kaedah bahasa 
Indonesia yang tidak jelas. Kesalahan ijab kabul ini dapat saja datang dari 
pihak calon mertua sekalipun yang paling banyak datang dari pihak calon suami 
atau kedua-duanya sudah cocok namun saksi sering bertingkah untuk meminta 
diulangi ijab kabul yang kedua hanya semata-mata berdasarkan bisikan hawa nafsu.

Contoh ijab yang sering ditemui di masyarakat adalah: "Aku nikahkan akan dikau 
akan anakku Fathimah dengan mahar seperangkat alat shalat tunai". Sedangkan 
contok kabul adalah: "Aku terima nikah Fathimah binti Ismail dengan mahamya 
seperangkat alat shalat tunai". Kata tunai disini dilantunkan dengan harkat 
yang cukup panjang sementara kalimat ijab dan kabul harus diselesaikan dalam 
satu nafas sehingga tidak jarang ada kedapatan calon suami yang harus 
dimandikan.

Prilaku di atas termasuk ke dalam kategori takalluf yaitu memberat-beratkan 
diri yang sebenamya tidak diatur dalam syari'at, sementara kaedah bahasa 
Indonesia yang digunakan sama sekali tidak pernah dijumpai di dalam buku-buku 
bahasa Indonesia karena formatnya terfokus kepada susunan tata bahasa Arab. 
Nampaknya prilaku seperti ini hampir mirip dengan riya karena sang pelaku 
berkeinginan untuk disebut sebagai 'pengaji tua' yang identik dengan ketebalan 
ilmu.

Kita tidak dapat bayangkan seandainya calon suami memiliki penyakit jantung dan 
seketika mati dalam proses ijab kabul yang sulit maka pekerjaan kemuliaan 
melalui pernikahan tidak terjadi sama sekali. Fiqh adalah ilmu yang berkaitan 
dengan kehidupan masyarakat dan harus berkembang sesuai dengan perkembangan 
peradaban. Ironisnya masyarakat sekarang yang sudah hidup di abad post 
modemisme tetapi masih menggunakan fiqh klasik yang diduga kuat tidak sanggup 
menghadapi arus globalisasi sekarang ini.

Berdasarkan fenomena di atas maka seharusnya kita kembali kepada konsep-konsep 
yang sudah diatur baik dalam al-Qur'an maupun dalam hadits karena kedua sumber 
petunjuk ini akan tetap eksis dan memiliki kemampuan untuk menghadapi arus 
globalisasi. Dengan demikian kita sangat membutuhkan KUA-KUA dan para P3N yang 
memiliki pemikiran pembaharuan yang cerdas bukan KUA-KUA dan P3N yang hanya 
terpaku kepada teks-teks klasik.

Analisis Terhadap Pemyataan al-Qur'an dan Hadits
Penyataan bahwa Allah sangat menghendaki kemudahan dan sama sekali tidak ingin 
mempersulit terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 185, al-Thalaq ayat 7, alLayl 
ayat 7, al-A'la ayat 8 dan al-lnsyirah ayat 5-6. Kemudian Nabi Muhammad pernah 
juga menyatakan bahwa diutusnya beliau adalah dengan agama yang lapang 
(bu'itstu bilhanafiyyati al-samhah) cukup sudah dijadikan alasan bahwa dalam 
pelaksanaan ijab kabul dan selainnya menunjukkan bahwa kemudahan lebih 
diutamakan daripada kesulitan.

Ketika seseorang sudah melengkapi persyaratan dimaksud maka tidak ada alasan 
untuk mempersulit jalannya suatu pernikahan. Ironisnya dalam kehidupan 
masyarakat terkesan adanya pemutarbalikan yaitu dengan memudahkan proses dan 
sangat mempersulit ijab kabul.

Pemikahan yang dipraktekkan Nabi Muhammad terhadap Fathimah dan Ali sebagaimana 
yang dikutip dari buku'Kalung Mutiara' karya Prof. Dr. H.M.Qurasih Shihab, MA. 
Pada resepsi pemikahan ini Nabi Muhammad menyatakan kepada Ali: "Aku 
menikahkhan kamu berdua dengan mas kawin 400 (empat ratus) mitsqal perak". 
Kemudian Ali menjawab: "Aku ridha ya Rasulallah." Ketika Ali selesai 
mengucapkan kata'ridha' dia langsung sujud syukur, dan setelah Ali mengangkat 
kepalanya, lalu Nabi Muhammad bersabda: "Semoga Allah memberkati pemikahan ini 
untuk kebahagiaan kalian berdua".

Nabi Muhammad terkesan sangat simple, khidmat dan penuh dengan nuansa ilahiyah 
terlebih lagi ketika Ali melakukan sujud syukur. Ptaktek Nabi Muhammad ini 
seharusnya menjadi teladan bagi para KUA dan P3N yang memberikan bimbingan 
pemikahan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bukan melegitimasi apa 
yang terjadi di masyarakat yang menganut falsafah birokrasi yaitu'selagi 
mungkin dipersulit tak perlu diberikan kemudahan'. Uonisnya lagi para KUA dan 
P3N lebih banyak memberikan pertanyaan yang sebenamya kurang relevan dengan 
makna pemikahan daripada menyuruh dan memimbing calon suami untuk melakukan 
sujud syukur.

Penutup
Berdasarkan fenomena di atas ada beberapa point yang perlu di garis bawahi 
sebagai berikut: Pertama, redaksi ijab kabul yang terlalu panjang dan tidak 
sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang sebenarnya. Kedua, terdapatnya 
persyaratan yang sama sekali tidak disyaratkan baik dalam al-Qur'an, Sunnah 
maupun fiqh seperti dilakukan hanya dalam satu nafas. Ketiga, adanya kesan 
sengaja mempersulit dan mengulur-ulur waktu. Ketiga argumentasi di atas 
menunjukkan bahwa redaksi ijab kabul dalam pernikahan sebagaimana yang terjadi 
pada kebanyakan masyarakat selama ini belum sepenuhnya menggambarkan maqashid 
al-syari'ah yang terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah.
******



Reply via email to