Catatan Kecil dari Muktamar NU di Cipasung dan Makassar: Debar Muktamar Makassar
6 April 2010 13:00:28 Oleh: KH Dr. A. Mustofa Bisri SETIAP selesai muktamar NU, sejak muktamar ke-27 di Situbondo, saya selalu menulis semacam catatan akhir. Bahkan, setelah muktamar Cipasung yang batal saya ikuti pun, saya menulis catatan mengenai muktamar yang fenomenal itu. (Saya datang ke Cipasung dan pulang sebelum pembukaan muktamar karena kecelakaan yang dialami -dan merenggut nyawa- dua adik saya dan seorang santri yang juga sedang menuju ke muktamar). Ada yang menyebut muktamar ke-32 di Makassar tempo hari mirip muktamar Cipasung. Di mana letak kemiripannya? Kalau sama-sama ramai, sama-sama menguras emosi muktamirin, dan sama-sama berpotensi mengacaukan akal sehat, memang benar. Muktamar Makassar memang juga mendebarkan sebagaimana muktamar Cipasung. Namun, ada perbedaan yang sangat mencolok. Muktamar Cipasung merupakan puncak kezaliman rezim Soeharto terhadap NU. Sejak Soeharto mantap berkuasa, NU seperti terus dianggap duri. Apalagi ketika NU dalam Pemilu 1971 seperti ''melawan'' dan dipandang mengancam kekuatan buldoser Golkar. Apalagi, di NU masih ada tokoh yang tidak takut pada Golkar dan rezim Soeharto semacam almarhum Kiai Bisri Sansuri dan almarhum Subhan Z.E. Muktamar Cipasung adalah puncaknya. Soeharto sudah sedemikian gerahnya terhadap NU yang saat itu dipimpin Gus Dur. Seorang tokoh yang tidak hanya pintar dan berani, tapi juga dicintai umat. Profil yang paling ditakuti Soeharto. Maka, muktamar NU pun hendak direkayasa dengan mula-mula mendorong tokoh NU yang sudah ikut Golkar, Cholid Mawardi. Ketika tampak tak mendapat sambutan muktamar, diajukanlah orang yang tak dikenal masyarakat NU sebelumnya, Abu Hasan. Hebatnya lagi, untuk lebih menyiksa NU, rezim ketika itu juga mengadu domba. Orang dekat yang paling menghormati dan dihormati Gus Dur, Dr Fahmi D. Saifuddin -Allahu yarhamuhuma-, diajukan juga sebagai alternatif calon ketua umum. (Mereka tahu bahwa Dr Fahmi adalah kandidat pengganti Gus Dur yang didukung cabang-cabang, seandainya Gus Dur tidak dipaksa ''keadaan'' untuk maju lagi). Akibatnya, ketegangan di kalangan intern NU menjadi semakin silang-selimpat. Dari sudut ketegangan yang menguras emosi muktamirin, muktamar Cipasung mungkin tidak tertandingi oleh muktamar Makassar atau muktamar-muktamar yang lain. Namun, ada sesuatu yang membuat muktamar Makassar jauh lebih memprihatinkan. Bukan karena campur tangan pihak luar, tapi justru dipicu oleh pihak dalam NU sendiri (Kalaupun ada campur tangan, pihak luar hanyalah numpang kepentingan belakangan). Selain aroma pilkada yang kental dan berseliwerannya kepentingan-kepentingan yang nebeng, muktamar Makassar telah mengawali tradisi yang sangat tidak elok sebagai muktamarnya organisasi ulama. Baru muktamar kali ini jabatan rais am dipandang dan ditampilkan sebagai jabatan duniawiah. Diperebutkan seperti kedudukan kepala desa. Hal itu bermula dari sikap berlebihan yang bukan karakter NU. Mereka yang terpesona pada prestasi Hasyim Muzadi saat memimpin sebagai ketua umum tanfidziyah, terutama mereka yang merasakan sendiri barokah kepemimpinannya, sejak awal mewacanakan dan mengampanyekan ''Kiai Hasyim Muzadi untuk Rais Am''. Saking semangatnya, mereka sampai lupa bahwa mereka masih di bawah kepemimpinan Rais Am KH M. Ahmad Sahal Mahfudz yang mungkin hanya mereka anggap seperti incumbent dalam pilkada. *** Ketua Umum Hasyim Muzadi memang berhasil dalam banyak hal. Misalnya, melanjutkan apa yang dilakukan Gus Dur dalam ''meng-go-international-kan NU'', menyebarkan Islam rahmatan lil-'aalmiin', dan mendakwahkan bi lisaanil maqaal serta bilisaanil haal ukhuwwah nahdliyah, ukhuwwah Islamiyah, ukhuwwah wathaniyah, dan ukhuwwah basyariyah. Sebagai tokoh yang kaya wacana dan informasi, dia tanggap terhadap permasalahan-permasalahan kemasyarakatan. Dia juga dinilai berhasil mendistribusikan kader-kader NU ke dalam jabatan-jabatan politik (mulai anggota DPRD, DPR, kepala-kepala daerah, anggota KPU, hingga Dubes); mencarikan beasiswa anak-anak NU; serta memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan badan-badan otonom NU. Bahkan, tidak segan-segan membantu warga NU yang meminta bantuan dalam pencalonan kepala daerah. Boleh jadi, karena melihat prestasi ketanfidziyahan tersebut dan mengingat Pak Hasyim sudah menyatakan tidak akan maju lagi sebagai ketua umum, mereka yang tatharruf itu pun mengusungnya untuk jabatan di atas ketua umum: rais am. Untuk itu, mereka pun dengan gencar mengampanyekannya. Melihat keseriusan dan semangat mereka itu, banyak kiai yang mula-mula kaget dan prihatin dengan ''bid'ah'' dalam tradisi NU ini: kampanye untuk rais am. Masya Allah! Kemudian, beberapa kiai seperti Kiai Masruri Mughni, rais Syuriah Wilayah Jawa Tengah, dan Kiai Azhari Abta, rais Syuriah DIJ, bertindak mengajak kiai-kiai yang lain untuk ''memaksa'' Kiai Sahal yang sebenarnya sudah lelah dan ingin mundur untuk tetap kerso menjadi rais am kembali. Selain itu, kiai-kiai sepuh seperti Habib Luthfi dan Kiai Maemun bahkan siap pasang badan untuk mempertahankan tradisi kesyuriahan ini. Ternyata, keprihatinan itu juga dirasakan beberapa kiai di Sulawesi. Pada saat-saat terakhir ketika para kiai sudah tidak bisa membendung ''bid'ah'' itu, kiai sepuh Makassar, Kiai Sanusi Baco, mengundang kiai-kiai ke rumah beliau untuk diajak berdoa bersama memohon kepada Allah bagi kebaikan NU. Untunglah, Pak Hasyim Muzadi yang memang paham betul tentang NU, tradisi dan akhlaknya, segera menyadarkan mereka yang tatharruf itu dengan menyatakan tidak bersedia dicalonkan. Itu sekaligus merupakan pelajaran bahwa demokrasi di -dan menurut- NU adalah demokrasi yang berakhlak karimah. Tinggal kita menunggu rais am dan ketua umum tanfidziyah terpilih yang akan menyusun kelengkapan PBNU. Formatur yang terdiri atas beberapa perwakilan daerah itu diharapkan bisa membantu menyumbangkan nama-nama tokoh mukhlis yang dianggap dapat ikut mendukung ''kabinet'' yang disusun kedua mandataris muktamar tersebut. Semoga Allah menolong mereka dan NU ke depan akan lebih bermanfaat bagi agama, umat, bangsa, dan negara. Amin. (*) KH. A. Mustofa Bisri, budayawan, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang Tulisan ini dimuat di Jawa Pos, 6 April 2010 [Non-text portions of this message have been removed]