*IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita*

*Selasa, 20 April 2010*

*----------------------------------------*

Besok Rabu DUAPULUH SATU APRIL Adalah “HARI KARTINI”


--- Memperingatinya a.l.. dengan menyiarkan tulisan LAKSMI PAMUNTJAK, 
yang disampaikannya dalam diskusi tentang Kartini dan Eropa untuk 
memperingati Hari Kartini di Teater Utan Kayu, Jakarta, 21 April 2008.


* * *

Besok 21 April 2010, adalah *“HARI KARTINI”* (Jepara, 21 April 1879 – 
Rembang, September 1904'. Setiap tahun diperingati oleh bangsa kita. Itu 
berlangsung sejak 'zaman kolonial'. Semakin lama isi peringatan HARI 
KARTINI, semakin luas arti yang diberikan terhadapnya. Entah sudah 
berapa banyak tulisan, seminar dan buku yang ditulis tentang KARTINI. 
KARTINI sendiri bicara melalui surat-suratnya. Kemudian dibukukan 
berjudul “HABIS GELAP TERBITLAH TERANG”. Lalu dipublikasikan secara 
luas, di Indonesia, maupun di Belanda.


Juga telah diterjemahkan dalam pelbagai bahasa asing.


Tak diragukan Kartini adalah tokoh wanita Indonesia yang lahir pada 
zaman kolonial Hindia Belanda, dalam lingkungan feodal Jawa, TAPI SIKAP 
DAN VISINYA mendobrak lingkungan feodal dan jauh memandang ke haridepan 
dimana perempuan Indonesia harus merebut kebebasannya.


* * *


*Laksmi Pamuntjak*, penulis dan budayawan Indonesia generasi muda, yang 
banyak menulis dan memberikan ceramah sekitar sastradan budaya 
Indonesia, menyambut HARI KARTINI 21 April besok, dengan menyiarkan 
kembali tulisan yang dibuatnya pada tnggal 20 Arpil 2008. Tulisan Laksmi 
itu UNIK. Lain dari yang lain. Namun berisi dan bermutu, mengundang 
pembaca untuk lebih lanjut 'mengenal Kartini'. Menelusuri Visi dan 
peranannya dalam proses wanita Indonesia berjuang untuk kebebasannya 
sebagai manusia yang sama-hak dengan kaum lelaki.


Aku membaca tulisan Laksmi Pamuntjak di Facebook sore hari ini. Setelah 
membacanya tergerak untuk ikut mempublikasikannya dalam 'network-ku'. 
Agar pembacaku juga bisa mengkhayati tulisan Laksmi Pamuntjak itu.


Tulis Laksmi Pamuntjak a.l.:


*Tulisnya pada Stella: “Apa peduliku soal peraturan-peraturan adat? Aku 
gembira sekali akhirnya dapat mengoyak peraturan adat Jawa yang konyol 
itu saat berbincang dalam tulisanku ini. Adat peraturan ini dibuat oleh 
manusia, bagiku itu menjijikkan.” *


*Sebelumnya kita baca dalam tulisan Laksmi: *


“*Apa yang kita lihat dalam diri Kartini adalah sebuah upaya yang 
konsisten untuk memaknai dirinya sebagai aspek perlawanan dari mimikri. “*



*Kartini dan Eropa: Sebuah Mimikri**

 *oleh Laksmi Pamuntjak *


*Tulisan ini disampaikan dalam diskusi tentang Kartini dan Eropa untuk 
memperingati Hari Kartini di Teater Utan Kayu, Jakarta, 21 April 2008.


Selama ini bila Kartini dibicarakan, ia selalu dilihat sebagai sosok 
yang utuh dan transparan. Atau ia sebagai feminis, sebagai pendekar 
emansipasi perempuan, atau sebagai pembela rakyat, pejuang anti-kolonial.

Tapi kita perlu ingat, dalam membaca Kartini, kita sebenarnya membaca 
sejumlah besar surat. Ia bukan saja berbicara mengenai “Aku” dan 
“Engkau” tapi juga kepada seorang “Engkau”, yang senantiasa harus 
ditafsirkan dan dinegosiasi. Kartini adalah contoh bagaimana “Aku” 
selalu merupakan subyek dalam proses.

Ini tampak jelas dalam surat pembuka Kartini kepada Stella Zeehandelar, 
seorang feminis dan sosialis Belanda berdarah Yahudi, jurnalis majalah 
mingguan Belanda untuk perempuan-perempuan muda progresif, De 
Hollandsche Lelie, yang mempunyai hubungan kuat dengan gerakan sosialis 
ternama di Belanda: “Panggil saja aku Kartini—itu namaku.”

Kalimat ini terkenal karena menjadi judul buku Pramoedya Ananta Toer 
tentang perempuan muda dari Jepara ini. Tetapi sebenarnya di sini 
Kartini menandaskan ke-”aku”-annya dengan memakai tatapan dan bahasa 
pihak Yang Lain, yang “bukan Aku”.

“Ketika aku memberikan alamatku kepada Mev. Van Wermeskerken tentu aku 
tidak bisa hanya menulis Kartini bukan, hal ini pasti akan mereka anggap 
aneh di Belanda dan untuk menulis “mejuffrouw” (nona) atau sejenisnya di 
depan namaku, wah, aku tidak berhak untuk itu—aku hanyalah orang Jawa.” 
tulis Kartini.

Ini bisa jadi semacam sarkasme, tapi juga bisa murni sebuah kesantunan 
terhadap seorang asing yang baru saja ia kenal. Ia juga dapat dilihat 
sebagai usaha menyesuaikan diri, agar lebih mudah dipahami orang di 
Belanda.

Surat memang berbeda dari jurnal karena ia harus selalu menempatkan diri 
dalam dialog dengan orang lain. Kadang ia berpuisi dengan liris, 
beretorika dengan mengumpat, atau berbisik dengan lirih. Kadang ia mesra 
layaknya terhadap seorang kekasih: “Nanti, nanti, Stella, pujaanku, saat 
aku sudah menggenggamnya di tanganku, erat, amat erat, sehingga tak akan 
lepas, saat itulah kau akan tahu.” Tetapi tak jarang pula ia berjarak, 
seperti pada ketakmampuan Kartini mengakui, dalam surat pertama, bahwa 
ia anak selir.

Surat berbeda dengan esai. Esai menghadirkan semacam sesuatu yang 
konstan (terutama dalam struktur, metode, kronologi dan fakta sejarah 
yang jelas), sementara surat sangat tergantung kepada pihak yang 
disurati, siapa dia, usia, ras, status sosial, ideologi dan aliran 
politiknya. Surat juga tergantung suasana hati si penulis surat pada 
saat ia menulis.



Selalu “Lain”

Bagi saya, Kartini adalah selalu “ia yang lain”. Ia selalu bukan ini 
atau itu.

Ia sosok yang selalu berada di tepi. Ia berada di tepi hierarki sosial 
Jawa, sebagai bagian dari kaum priyayi rendah. Ia berada di tepi dalam 
hubungan kolonial, sebagai kaum priyayi yang mendapatkan sejumlah 
privilese tapi juga tak bisa merealisasikannya secara penuh. Ia berada 
di tepi dalam hubungan keluarga, sebagai anak kesayangan bapaknya tapi 
sekaligus anak selir dan bukan anak permaisuri – yang menyebabkan ia 
mencintai bapaknya sekaligus membenci hubungan poligami.

Berada di tepi mengandung kepedihan tertentu. Ia menulis: “Di satu pihak 
aku tidak bisa kembali ke lingkunganku yang sebelumnya – namun di pihak 
lain aku juga tidak mungkin masuk ke dalam dunia baru itu, masih ada 
beribu tali yang mengikatku erat kepada dunia lamaku.”

Kepedihan itu lebih tersirat dalam hubungan keluarganya. Ia bercerita 
kepada Stella tentang ibunya yang “masih sangat terhubung dengan 
Kerajaan Madura”. Yang dimaksud di sini tentunya adalah ibu tirinya, 
bukan ibu kandungnya yang datang dari kalangan pesantren—sesuatu yang 
bisa kita tafsirkan sebagai gabungan rasa malunya karena bapaknya 
berpoligami, rasa cemasnya bahwa fakta itu akan mengusik sensibilitas 
seorang feminis seperti Stella atau rasa malunya bahwa ia hanyalah anak 
selir.


Kartini juga berada di tepi karena kebebasan dan pendidikan yang ia 
dapatkan sebenarnya tidak luar biasa bagi ukuran Barat tapi tetap tak 
lazim buat negerinya. Kita melihat Kartini tetap terbelenggu – ia tak 
bisa mewujudkan cita-cita tertingginya, yaitu “pergi ke Eropa.”

Ia mendidik dirinya dengan pikiran-pikiran Barat, tapi, ketika pada usia 
16 tahun mendapatkan “kebebasan” dari bapaknya untuk keluar rumah, ia 
mendengar celetukan Mevrouw Ovink-Soer, salah satu teman keluarganya: 
“Nak, nak, apakah kami sudah melakukan hal yang benar dengan 
mengeluarkanmu dari tembok kabupaten yang tinggi itu? Apakah justru 
mungkin akan lebih baik kalau kalian bertiga tetap tinggal di sana?”



Ambivalensi Wacana Kolonial

Di sini kita lihat bahwa Kartini adalah sebuah contoh ambivalensi dalam 
wacana kolonial. Kita tahu, kolonialisme (atau imperialisme) adalah 
puncak kapitalisme pada zaman itu. Kapitalisme sendiri merupakan buah 
dari Pencerahan, yaitu ide manusia sebagai subyek yang mandiri, yang 
mengalahkan alam dan yang di luar diri, yang membawa kemajuan, seperti 
yang digambarkan dalam Manifesto Komunis, akan tetapi juga penjajahan. 
Ketika Si Kolonialis berada di negeri jajahan, dia bertemu dengan “Yang 
Lain”, pihak yang dijajah yang di luar dirinya.

Harus diapakankah orang-orang ini? Karena semangat Pencerahan adalah 
membawa kemajuan maka salah satu proyek kolonialisme adalah pendidikan. 
Di Hindia Belanda itu dicerminkan dalam “Politik Etis,” untuk menularkan 
semangat kemajuan dan pencerahan pada Yang Lain.

Tetapi agenda Pencerahan seperti yang tampak dalam “Politik Etis” 
mengandung risiko: apabila proyek ini diteruskan, ia akan mengaburkan 
Yang Menjajah dan Yang Terjajah, dan berbahaya bagi identitas si 
Penjajah. Apabila proyek itu dilakukan sepenuhnya, Yang Terjajah bisa 
menuntut kesetaraan dan kemerdekaan, yang akan mengancam raison d’être 
penjajahan. Maka proyek itu dihambat sendiri “dari dalam”, oleh Yang 
Menjajah. Si Terjajah harus tetap jadi “Yang Lain”, yang berbeda. Di 
sini yang dipertahankan pada dasarnya adalah pengukuhan dan pelembagaan 
esensialisme. Esensialisme adalah sebuah sikap yang membuat setiap 
perbedaan dan identitas hakiki, tak berubah-ubah dan tak tergantung pada 
sejarah dan lokalitas.

Tapi pada saat yang sama Yang Terjajah tak jarang memakai kesempatan ini 
sebagai perlawanan. Misalnya melalui pendidikan ia mengubah dirinya, dan 
dengan mengubah dirinya ia menghancurkan esensialisme. Pengertian 
“mimikri” yang diperkenalkan oleh Homi Bhabha, tidak sekadar 
meniru-niru, tetapi mengandung perlawanan. Homi Bhabha sendiri meminjam 
ide mimikri ini dari Jacques Derrida, yang mengatakan bahwa mimikri atau 
laku meniru tak sekadar menjiplak sebuah fenomena, ide atau sosok yang 
sudah ada sebelumnya, tapi membentuk, dengan membayangkan (membawa 
“fantasme”) tentang suatu yang “asli”, dan merupakan asal usul.

Kartini fasih berbahasa Belanda, mahir memasak masakan Belanda, menulis 
resep-resep dengan cara Barat seperti yang dikemukakan oleh Suryatini N. 
Ganie dalam bukunya, Resep-Resep Putri Jepara, dan rajin membaca buku 
dan jurnal yang diterbitkan di Barat. Terkadang dilihat, sikap ini 
seperti meniru Si Penjajah – tetapi sebenarnya tidak hanya itu. Inilah 
yang menyebabkan setiap transplantasi budaya bisa mengandung sesuatu 
yang paradoksal. Tak ada lagi daya kendali yang otentik, orisinil 
ataupun murni; segala sesuatu dikontaminasi atau diberdayakan oleh daya 
subversif imitasi. Yang “Lain” telah menjadi “sesama” yang telah 
dilarutkan. Dengan demikian terjadilah hibriditas.

Bagi banyak wacana nasionalisme, hibriditas cenderung dianggap dengan 
negatif, karena tidak murni, hingga mimikri sering nampak seakan hanya 
jiplakan belaka. Padahal, seperti yang ditunjukkan Homi Bhabha, mimikri 
mengukuhkan dan mendistorsi otoritas kolonial sekaligus.

Seperti yang ditunjukkan Kartini, mimikri mewakili sebuah kompromi yang 
ironis: hampir sama, tapi tidak benar-benar sama. Simak ini: “Stella 
yang baik, aku sungguh bahagia karena kau menganggapku sama dengan 
teman-teman Belandamu dan memperlakukanku sama dengan mereka, dan juga 
menganggapku sebagai teman sepahammu. Aku tidak menginginkan hal lain 
selain kau tetap memanggilku dengan ‘namaku’ juga dengan ‘je’ dan ‘jij’. 
Kau bisa lihat bagaimana lancarnya aku meniru contohmu.”

Apa yang kita lihat dalam diri Kartini adalah sebuah upaya yang 
konsisten untuk memaknai dirinya sebagai aspek perlawanan dari mimikri. 
Tak jarang Kartini memposisikan Stella, sang “pasangan jiwa”, sebagai 
yang lain, yang tak mengerti, yang angkuh, yang hanya tahu 
sedikit-sedikit, dan yang berdiri di luar realitanya, hingga Kartini 
acap merasa perlu mengangkat ke-Jawa-an sebagai sesuatu yang luhur dan 
berbudaya. Ini agaknya semacam upaya mengkonstruksi sebuah identitas 
kolektif sebagai subyek. “Budaya Jawa,” tulis Kartini pada Stella, 
“tidak rendah dalam pendalaman rohaninya.”

Tapi kita tahu dalam kehendak menandaskan diri, Kartini – dan tak jarang 
kaum yang dijajah umumya -- mencoba menggali tradisi, bahasa, sejarah 
dan agama dan membangun ulang “sifat otentik”. Mereka melakukan ini 
karena tak sudi mengukur diri terhadap norma-norma yang dalam jargon 
Lacan dikenal (dalam bahasa Inggris) sebagai the Big Other, atau 
“Mereka” -- yaitu negara, lembaga, orang tua, yang menguasai wacana atau 
membentuk identitas “aku”. Tapi dengan menandaskan “keotentikan” yang 
nota bene artifisial, pada dasarnya kaum yang dijajah tetap berpikir 
dalam cengkeraman “Mereka”.

Dari kasus ini kita melihat bahwa Homi Bhabha hanya menyinggung satu 
bentuk mimikri, yaitu meniru untuk mengguncang esensialisme. Sementara 
itu, menurut hemat saya, bentuk mimikri yang lain, yang justru dalam 
niat melawan dengan berbeda ternyata malah mengukuhkan esensialisme.

Itulah yang terjadi ketika Kartini bebicara kepada Stella tentang 
“Jawa”, seakan-akan “Jawa” itu tidak berubah. Dalam kasus ini Kartini 
melakukan perlawanan dengan mengukuhkan identitas tapi justru dengan itu 
ia mereproduksi wacana yang berkuasa, yaitu esensialisme.

Tapi di sini juga kita melihat posisi Kartini sebagai orang tepian. Ia 
tak sepenuhnya konsisten memuja-muja kebudayaan Jawa—apalagi dalam 
memuji kebudayaan Jawa itu ia mungkin hanya melakukannya sebagai 
strategi identitas. Tulisnya pada Stella: “Apa peduliku soal 
peraturan-peraturan adat? Aku gembira sekali akhirnya dapat mengoyak 
peraturan adat Jawa yang konyol itu saat berbincang dalam tulisanku ini. 
Adat peraturan ini dibuat oleh manusia, bagiku itu menjijikkan.”

Tetapi mengapa ia butuh strategi identitas itu?



“Eropa” dalam kehidupan Kartini

Di sini kita sampai pada pertanyaan: Eropa macam apakah yang masuk dalam 
hidup Kartini, dan bagaimanakah ia masuk?

Pertama, melalui pendidikan. Ini dimulai dengan seorang almarhum kakek 
yang “progresif” untuk zamannya: bupati pertama di Jawa yang mengundang 
“seorang tamu” dari seberang lautan dan yang memberikan semua anaknya 
pendidikan ala Eropa. Kemudian, seorang bapak yang melanjutkan hal ini 
dengan memberikan pendidikan yang kurang lebih sama bagi anak-anaknya.

Kedua, melalui bacaannya atas literatur Eropa.

Ketiga, gaya hidup Eropa yang masuk ke rumahnya, termasuk dalam hal 
makanan.

Keempat, interaksi sosial, yang mencakup pergaulannya dengan orang-orang 
Eropa, baik secara langsung maupun melalui korespondensi, maupun 
amatannya terhadap interaksi orang Eropa dan kaum pribumi di negerinya.

Saya ingin sedikit membahas ketiga aspek terakhir.

Salah satu hal yang menakjubkan tentang Kartini bukan saja minat dan 
telaahnya terhadap literatur Eropa tapi juga kegigihannya menulis. Meski 
dalam surat-suratnya respons terhadap bahan bacaan tersebut tak pernah 
terlalu mendalam, ada kesan kuat bahwa ia memikirkan apa yang ia baca 
dan membiarkan mereka memicu sejumlah sikap dan keputusannya.

Kekaguman Kartini terhadap Mevrouw Geekoop De Jong van Beeken En Donk, 
penulis feminis yang sangat berpengaruh dengan bukunya, Hilda van 
Suylenburg, yang terbit tahun 1897, misalnya, adalah salah satu alasan 
mengapa ia menolak pernikahan.

Kartini juga mengagumi Multatuli, dan mampu membandingkan kondisi 
masyarakat kolonial pada zamannya dengan kondisi masyarakat kolonial 
dalam Max Havelaar.

Sementara itu, Kartini rajin menulis. Selain menyumbangkan sebuah 
tulisan tentang batik kepada Pameran Karya Perempuan di Belanda tahun 
1898, yang beberapa kali dicetak ulang, ia pun menulis sebuah buku resep 
– sesuatu yang tidak lazim pada zamannya.

Dengan demikian Eropa juga masuk ke diri Kartini melalui makanan. Buku 
yang ditulis Kartini, kumpulan resep keluarganya, adalah semacam 
testimoni atas bagaimana cita rasa dan cara hidup kaum elite kolonial 
meniru budaya si penguasa yang sebenarnya juga tidak asli.

Ritual uurtje, misalnya, atau ritual minum teh di sore hari, sama sekali 
bukan merupakan tradisi Belanda, tapi tradisi Inggris. Ritual ini hanya 
dilakukan oleh orang Belanda di Hindia Belanda, yang nampaknya kurang 
kerjaan dan hanya bisa duduk-duduk ongkang-ongkang kaki sambil minum teh 
dan makan pisang goreng di sore hari, sembari menikmati semilir angin di 
sebuah petang tropis. Sementara, kebanyakan orang Belanda di negerinya, 
yang kerja keras dan hidup tanpa pembantu, tak akan punya waktu untuk 
ritual-ritual semacam itu.

Hal semacam ini juga tak hanya melibatkan etiket dan kebiasaan makan, 
tapi juga apa yang dimakan. Apa yang dikenal di Indonesia sebagai sop 
sayur, misalnya, sebenarnya adalah apa yang di Belanda dikenal sebagai 
groenten soep; sementara itu Saus Madeira yang acap ditemukan di dalam 
bistik yang sering dihidangkan di meja makan Kartini sesungguhnya adalah 
adaptasi dari adaptasi: orang Indonesia mengadaptasi orang Belanda yang 
mengadaptasi orang Prancis.

Selat Solo—potongan sandung lamur dan pelbagai sayur rebus yang diiris 
tipis-tipis, dan disajikan dengan saus semur dan saus mayonnaise sarat 
telur—adalah contoh makanan dalam repertoar keluarga Kartini yang tak 
akan pernah ditemukan di meja makan khalayak ramai.

Dalam hal ini, kita bisa berspekulasi bahwa keputusan Kartini membuat 
buku resep adalah upaya mengkonstruksikan adat atau kebiasaan bersantap 
orang Jawa dengan paradigma Eropa sebagai semacam penyamaan martabat 
dengan budaya Si Penjajah.

Jika kita melihat adanya sikap yang bermata dua dalam kasus resep, dalam 
hal interaksi sosial juga ada ambivalensi. Terhadap Stella, yang ia 
hormati dan sayangi, dia ingin berlaku sama. Dengan Rosa 
Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan Hindia Belanda baru yang 
beraliran reformis sikapnya berbeda. Perempuan ini jadi panutan dan 
pujaan bagi Kartini dan adik-adiknya.

Begitu rupa kekaguman dan rasa takjub Kartini terhadap Rosa 
Abendanon-Mandri hingga surat-suratnya seringkali “histeris” dan terbuai 
dalam romantismenya sendiri, terutama atas kondisinya dan adik-adiknya 
sebagai makhluk jajahan yang “telah terluka berat dan hancur oleh 
kejamnya Hidup.” Ia lukiskan kebahagiaannya yang meluap-luap ketika 
pertama kali bertemu dengan Rosa dan suaminya sebagai “cinta yang 
menderu merasuki dirinya dan mengambil alih seluruh jiwa dan raganya 
tanpa ia sadari”.

Juvenilia semacam ini tak jarang ditemukan dalam orang sebaya Kartini, 
yang berbakat, menonjol dan ingin diperhatikan, dan juga yang pada usia 
itu punya kehendak untuk merasakan dan menuliskan keadaan jatuh cinta. 
Tetapi sikap ini mungkin juga mengandung sedikit pragmatisme. Rosa dan 
suaminya kuat secara politis, dan berkuasa atas nasib pendidikannya.

Amat mungkin juga karena Rosa berbeda. Latar belakang Rosa sebagai orang 
Spanyol yang lahir di Puerto Rico adalah sesuatu yang Kartini 
asosiasikan sebagai kedekatan intrinsik dengan Jawa. Ini praktis membuat 
Rosa juga sesama orang asing di tengah komunitas orang Eropa yang 
diwakili Belanda. Seperti yang Kartini kemukakan dalam suratnya: “Dia, 
Rosa, adalah orang asing, seorang dari Spanyol yang penuh kehangatan, 
yang memukau, indah, romantis.”

Pada akhirnya, Rosa tampil sebagai pribadi, bukan wakil sebuah ras yang 
superior, seperti paradigma yang ditekankan orang Belanda di zaman 
kolonial itu.

Pada titik ini, yang bisa disimpulkan adalah bahwa Eropa atau Belanda 
bagi Kartini tidak tunggal, tidak mempunyai hakikat atau esensi yang 
kekal. Kita bisa mencatat kebencian Kartini terhadap wajah Belanda yang 
zalim, yang sombong, congkak, rakus dan semena-mena, hal yang sering ia 
temukan dalam perjalanannya menemani bapaknya sang bupati Jepara yang 
peduli pada nasib rakyat kecil. Tak ada lagi Kartini si anak kecil haus 
perhatian, Kartini yang sentimental. Surat-suratnya yang menjelaskan 
hubungan kolonial yang eksploitatif itu, sungguh luas dan dalam mengupas 
anatomi penjajahan yang berujung pada kemiskinan, keterpurukan dan 
keterbelakangan.

“ … dan masih juga, sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia sebagai 
‘ladang kera yang mengerikan.’ Aku naik pitam jika mendengar orang 
mengatakan “Hindia yang miskin.” Orang mudah sekali lupa kalau “negeri 
kera yang miskin ini” telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan 
emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di 
sini.”



Nasionalisme yang universalis

Sebagai penutup, tidak berlebihan rasanya untuk mengatakan bahwa Kartini 
telah mempelopori sebuah kesadaran identitas diri yang merupakan dasar 
nasionalisme Indonesia kelak, yang tidak berdasarkan identitas etnik 
atau budaya yang permanen. Bisa jadi Kartini mendahului pemikiran kaum 
nasionalis di Indonesia yang kemudian datang: nasionalisme yang 
berdasarkan kepada sifat universal yang ada pada sesama.

Ia mengatakan pada Stella bahwa ia ingin “bekerja tidak hanya untuk 
kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas, 
bekerja untuk kebaikan sesamanya” dan “aku tak ingin apapun kecuali 
mengabdikan diriku secara utuh untuk melakukan hal-hal seperti yang 
telah dilakukan kaum perempuan di Eropa”.

Sekaligus ia menjelaskan bahwa “Bisikan itu tak hanya datang dari luar, 
dari mereka yang sudah beradab, dari Benua Eropa …”, tapi bahwa ada 
sesuatu dalam dirinya yang membisikkan keinginan itu jauh sebelum ia 
bisa mendapat akses kepada buku dan artikel Eropa tentang modernitas.

Artinya, ia melihat bahwa tuntutan untuk merdeka juga bisa datang dari 
seorang perempuan Jawa, ketika perempuan itu tertindas. Tuntutan itu 
universal, bisa datang dari semua bangsa di muka bumi.

Dan ini semua hanya bisa dikemukakan oleh orang di tepian, yang 
identitasnya tidak dikurung dalam sesuatu yang partikular.


20 April 2008





[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejaht...@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelism...@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    wanita-muslimah-dig...@yahoogroups.com 
    wanita-muslimah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke