Pak Guru Mohammad Ihsan,

1) daripada menyerang pribadi orang yang tidak sependapat, yuk kita membahas 
kritikan, sebuah kritik analitis dari orang non HTI terhadap HTI,

2) kritik pada organisasi Islam itu jangan diidentikkan dengan anti Islam, 
karena sebenarnya Islam tidak antipati pada kritik, paling tidak bila kita 
merujuk pada qs al Ashr, maka kita akan legowo menerima berbagai kritik. Hanya 
Allah yang tidak butuh kritik, karena memang Allah serba maha termasuk Maha 
Alim alias Maha Pandai, wajar kalau Allah menyandang Maha Akbar karena memang 
Dia tidak punya kompetitor, tidak ada yang setara dengan Dia. Nah kalau kita 
masih menyandang predikat manusia apapun affiliasi organisasi/manhaj yang 
dipilih ya tidak boleh alergi kritik.

3) berikut saya copy pastekan kritik orang non HTI terhadap HTI, jangan lihat 
siapa yang mengkritik, tetapi analisis apa substansi kritikannya, selamat 
mengkaji :

Silakan kita diskusikan tulisan berikut ini :

SAYA kerap mendengar pernyataan aktivis Hizbut Tahrir (HT), gerakan Islam yang 
dikenal dengan “mimpi besar” untuk menegakkan negara Islam internasional itu 
(dikenal dengan negara khilafah), bahwa fakta sosial tak bisa menjadi dasar 
landasan penetapan hukum.

Pernyataan ini pertama kali saya dengar dari jubir Hizbut Tahrir Indonesia 
(HTI), Ismail Yusanto, saat saya dan dia berbicara dalam sebuah diskusi di 
Bogor sekitar enam tahun yang lalu. Belakangan, aktivis HTI kerap 
mengulang-ulang argumen serupa. Rupanya, statemen ini menjadi semacam “refrain” 
di kalangan mereka.

Bagi yang kurang akrab dengan ilmu ushul fikih (teori hukum Islam), mungkin 
statemen ini kurang begitu jelas. Supaya sederhana dan mudah dipahami, saya 
akan berikan contoh kecil berikut ini.

Kita tahu, bahwa Sunan Kudus membangun masjid dengan menara yang berbentuk 
seperti pura Hindu. Taruhlah, anda terlibat dalam sebuah diskusi tentang boleh 
tidaknya membangun masjid dengan arsitektur yang menyerupai tempat ibadah agama 
lain. Misalkan saja anda berpendapat bahwa hal itu boleh. Saat lawan diskusi 
anda bertanya, apa “hujjah” atau argumen anda, anda menjawab, “Tuh, buktinya 
Sunan Kudus membangun masjid dengan arsitektur yang menyerupai tempat ibadah 
agama Hindu.”

Ini hanya contoh anekdotal yang sangat sederhana. Anda bisa mengembangkan 
contoh ini dengan kasus-kasus lain.

Menurut aktivis HTI, cara berargumen seperti ini mereka anggap salah, sebab 
fakta sosial, yaitu tindakan Sunan Kudus, tidak bisa dijadikan sebagai landasan 
penetapan hukum tentang boleh tidaknya membangun masjid dengan gaya arsitektur 
yang mirip tempat ibadah agama lain. Hukum, menurut mereka, hanya bisa 
disandarkan atas dalil agama (dalil syar’i). Dalil atau teks agama mengatasi 
segala-galanya. Tindakan Sunan Kudus atau tokoh manapun, selain Nabi Muhammad, 
tidak bisa menjadi standar normatif. Yang bisa menjadi standar hanyalah teks 
agama.

Apakah argumen aktivis HTI ini tepat, terutama dilihat dari tradisi teori hukum 
Islam klasik sendiri? Esei pendek ini saya tulis untuk memberikan kritik atas 
cara berpikir aktivis HTI yang, jujur saja, merupakan ciri-khas kaum 
“tekstualis” di manapun.

Dalam pandangan saya, argumen semacam ini sama sekali tak tepat. Memang, dalam 
teori hukum Islam, dikenal empat sumber hukum utama, yaitu Quran, hadis, ijma’ 
(konsensus sarjana hukum Islam atau “juris”) dan qiyas atau analogi (dalam 
tradisi fikih Syiah, sumber keempat bukan qiyas tetapi akal).

Tetapi, sumber hukum bukan hanya empat, sebab ada sumber-sumber lain yang 
kedudukannya memang diperselisihkan oleh para sarjana Islam (al-adillah 
al-mukhtalaf fiha). Statemen aktivis HTI bahwa fakta sosial tidak bisa menjadi 
sumber hukum, sama sekali tidak tepat, sebab di luar empat sumber utama di 
atas, ada sumber-sumber lain yang diakui oleh ulama fikih, termasuk fakta 
sosial sebagaimana akan saya tunjukkan nanti.

Argumen kalangan HTI ini sengaja mereka pakai untuk menepis sanggahan yang 
diajukan oleh para pengkritik teori negara khilafah yang antara lain 
disandarkan pada fakta-fakta historis dalam sejarah Islam.

Para pengkritik teori negara khilafah, antara lain, mengatakan praktek negara 
khilafah tidak “secemerlang” yang dikira oleh para penyokong ide itu. Banyak 
“khalifah” dalam dinasti-dinasti Islam masa lampau yang bertindak otoriter, 
despotik, dan kejam. Sebagaimana dalam sejarah negara-negara kuno, pertumpahan 
darah selalu menandai peralihan kekuasaan dari satu dinasti Islam ke dinasti 
yang lain.

Terhadap kritik semacam ini, aktivis HTI akan mengatakan bahwa fakta sejarah 
tidak bisa menjadi dasar untuk menetapkan hukum. Menurut mereka, negara 
khilafah adalah satu-satunya bentuk negara yang sah menurut dalil agama; fakta 
sejarah yang menunjukkan bahwa bentuk negara khilafah tak seideal yang 
dibayangkan, menurut mereka, tak bisa dijadikan argumen untuk menyanggah dalil 
agama.

Dalam pandangan aktivis HTI, dalil agama sudah cukup dalam dirinya sendiri; 
fakta sosial harus tunduk pada dalil agama, bukan sebaliknya.

DALAM standar ilmu ushul fikih klasik, argumen ala HT ini jelas sama sekali 
salah. Dalam hukum fikih, fakta sosial jelas bisa menjadi dasar penetapan 
hukum. Karena itulah ada kaidah terkenal, “taghayyur al-ahkam bi taghayyur 
al-azminati wa al-amkan,” hukum berubah sesuai dengan waktu dan tempat.

Perbedaan mazhab dalam Islam jelas terkait dengan perbedaan konteks sosial di 
mana pendiri mazhab itu hidup. Kenapa mazhab Abu Hanifah sering disebut sebagai 
mazhab ahl al-ra’y, pendapat yang cenderung rasional, karena mereka hidup di 
Kufah, kota tempat persilangan budaya, kota di mana kita jumpai warisan dari 
banyak peradaban besar sebelum Islam.

Sementara mazhab Maliki lebih cenderung berpegang pada “sunnah” penduduk 
Madinah (dikenal dengan ‘amal ahl al-Madinah) karena memang itulah kota tempat 
Nabi dan sahabatnya hidup, sehingga sunnah penduduk Madinah dianggap sebagai 
norma.

Sudah tentu, fakta sosial semata-mata memang tak cukup untuk menetapkan sebuah 
hukum dalam pandangan teori hukum Islam klasik. Fakta sosial tetap harus 
ditimbang berdasarkan teks. Tetapi teks saja juga tak cukup, karena teks juga 
dipahami berdasarkan perubahan-perubahan lingkungan sosial yang ada. Dengan 
kata lain, ada hubungan simbiosis antara teks dan konteks sosial. Dengan 
demikian, argumen aktivis HTI itu jelas sama sekali tak benar.

Seorang ulama mazhab Hanbali, Najm al-Din al-Thufi (w. 1324 M), malah 
berpendapat lebih jauh lagi. Dalam kitabnya yang kurang banyak dibaca luas, 
“Kitab al-Ta’yin fi Sharh al-Arba’in” (komentar atas kumpulan empat puluh hadis 
karya Imam Nawawi), al-Thufi melontarkan sebuah pendapat yang menjadi 
kontroversi dari dulu hingga sekarang, bahwa jika terjadi pertentangan antara 
maslahat atau kepentingan umum dengan teks atau dalil agama, maka maslahat 
harus didahulukan.

Saya kutipkan teks Thufi yang langsung berkaitan dengan hal ini:

“Wa in khaalafaaha wajaba taqdim ri’ayat al-masalahati ‘alaihima bi thariq 
al-takhsis wa al-bayan lahuma, la bi thariq al-iftiyat ‘alaihima wa al-ta’thil 
lahuma, kama tuqaddam al-sunnah ‘ala al-Qur’an bi thariq al-bayan” (hal. 238, 
edisi yang diedit oleh Ahmad Haj Muhammad ‘Uthman, 1998).

Secara ringkas, teks itu menegaskan, jika terjadi pertentangan antara teks 
(nass) dan konsensus ulama (ijma’) dengan maslahat, maka kemaslahatan umum 
harus didahulukan di atas teks dan ijma’.

Maslahat bersumber dari konteks sosial. Jika dalil agama bertentangan dengan 
konteks sosial, maka konteks harus didahulukan di atas teks agama. 
“Mendahulukan” di sini, dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan 
menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks sosial dianggap sebagai 
“pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan” atau menerangkan teks atau dalil 
agama yang ada.

Ini memang pembahasan yang kompleks. Yang tidak pernah belajar ushul fikih, 
penjelasan ini mungkin terlalu teknis dan kurang jelas. Intinya adalah: jika 
dalil dalam Quran atau hadis mengatakan A, lalu konteks sosial justru 
menunjukkan B, maka teks Quran/hadis itu bisa “dispesifkasi” atau “diterangkan” 
oleh konteks itu. Dengan kata lain, konteks didahulukan atas teks.

Pendapat al-Thufi ini memang banyak diserang oleh ulama-ulama lain, karena 
dianggap terlalu berani. Dia bahkan diisukan sebagai seorang penganut sekte 
Syi’ah rafidah (Syi’ah yang ekstrim). Biasa, ini adalah semacam “black 
campaign“. Seolah-olah jika seseorang menganut sekte Syi’ah maka pendapatnya 
otomatis salah.

Apapun, pendapat al-Thufi ini sangat menarik dan memperlihatkan bahwa di 
kalangan ulama fikih dan ushul fikih klasik sendiri sudah ada pendapat yang 
menyatakan tentang kedudukan penting dari konteks sosial. Sekali lagi, 
pernyataan kalangan aktivis HTI bahwa fakta sosial tak bisa menjadi sumber 
hukum, sama sekali tak tepat, untuk tak mengatakan keliru sama sekali.

Sementara itu, banyak sekali ketentuan hukum dalam fikih yang digantungkan pada 
adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Itulah sebabnya, dalam fikih dikenal 
kaidah yang sangat populer, “al-’adah muhakkamah“, kebiasaan sosial bisa 
menjadi sumber hukum.

Sudah tentu adat bukan sumber hukum yang mandiri, sebab harus ditimbang 
berdasarkan parameter teks agama. Tetapi, teks agama juga tak bisa berdiri 
sendiri tanpa bantuan adat sosial. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis 
antara adat dan teks agama. Adat dan teks agama, dua-duanya menjadi sumber 
hukum.

Contoh sederhana adalah mengenai mas kawin atau mahar. Quran menegaskan bahwa 
seorang lelaki harus memberikan mas kawin kepada perempuan yang dinikahinya (wa 
aatu al-nisa’a shaduqatihinna nihlah, QS 4:4). Tetapi Quran tidak menerangkan, 
berapa jumlah mahar yang harus diberikan oleh suami kepada isterinya.

Di sini, ada ruang “legal” yang dibiarkan terbuka oleh teks agama. Adat masuk 
untuk mengisinya. Jumlah mahar, menurut ketentuan yang kita baca dalam 
literatur fikih, diserahkan saja pada adat dan kebiasaan sosial yang ada. Oleh 
karena itu, jumlah mahar berbeda-beda sesuai dengan adat yang berlaku dalam 
masyarakat. Itulah yang dikenal dalam fikih sebagai “mahr al-mitsl“, yakni mas 
kawin yang sepadan dengan kedudukan sosial seorang isteri dalam adat dan 
kebiasaan masyarakat setempat.

Fakta ini dengan baik menunjukkan bahwa kebiasaan sosial bisa menjadi sumber 
hukum. Teks saja tidak cukup kalau tak dilengkapi dengan konteks sosial.

Kalangan santri yang belajar di pesantren-pesantren NU tentu sudah terbiasa 
dengan kenyataan bahwa hukum bisa berubah-ubah karena perubahan konteks. Fatwa 
beberapa kiai berubah-ubah dari waktu ke waktu karena perubahan konteks sosial. 
Pada zaman kolonial Belanda dulu, banyak kiai yang berfatwa bahwa memakai 
celana dan jas hukumnya haram, karena menyerupai adat kebiasaan kaum kolonial 
yang “kafir”. Setelah zaman merdeka, kiai-kiai mulai berubah pendapat dan bisa 
menerima “baju kolonial” itu, karena konteksnya sudah berbeda.

Jadi, sekali lagi, apa yang dikatakan oleh aktivis HT itu sama sekali keliru![]

--- Pada Sab, 24/4/10, Mohammad Ihsan <ihsan....@gmail.com> menulis:

> Dari: Mohammad Ihsan <ihsan....@gmail.com>
> Judul: Re: [wanita-muslimah] Re: Kenapa HTI,FPI,FIU,DDII, NUR, dan Abu Bakar 
> Cs membenci USA,bukan Komunis
> Kepada: wanita-muslimah@yahoogroups.com
> Tanggal: Sabtu, 24 April, 2010, 11:32 PM
> 
> Abdul Latif sama Chodjim kok sama saja. Jangan-jangan ini
> orang yang sama, hanya emailnya saja dibuat beda, hehe... 
> 
> Yang saya minta adalah bukti: kalau HT adalah agen Inggris,
> buktinya mana? Apakah Inggris pernah transfer dana ke HT?
> Kalau iya, dimana, kapan? Kok malah ngeles. Gak mutu
> ahhh.... Lain kali kalau nggak ada data jangan asbun. Oke?
> 
> /MI
> 
> Mohammad Ihsan
> Sekjen Ikatan Guru Indonesia (IGI)
> [E]: ih...@igi.or.id
> [W]: www.igi.or.i


Kirim email ke