http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=18194

2010-05-08
Marsinah, Potret Kelam Kehidupan Perempuan


Etika

Oleh : Febiana Rima

Tujuh belas tahun yang lalu kisah Marsinah dimulai. Sayangnya kisah perempuan 
desa yang menjadi buruh pabrik ini bukanlah kisah indah penuh keceriaan. 
Sebaliknya, kisah Marsinah merupakan kisah pilu seorang perempuan yang dipaksa 
mengakhiri kehidupannya melalui penyiksaan yang luar biasa biadab. Pada 8 Mei 
1993, Marsinah yang kala itu bekerja pada PT Catut Putra Surya, Porong, 
Sidoarjo menemui ajalnya. 


Kematiannya berkaitan erat dengan keterlibatannya dalam gerakan buruh menuntut 
kenaikan upah di tempatnya bekerja. Marsinah diculik dan disiksa selama tiga 
hari, kemudian dibunuh dengan kejam. Jenazah Marsinah ditemukan pada tanggal 9 
Mei 1993 di sebuah pos penjagaan dipinggir hutan Dusun Jegong, Nganjuk dalam 
kondisi yang sangat mengenaskan. Sebelum kematiannya, dipastikan Marsinah 
terlebih dahulu mengalami berbagai bentuk kekerasan dan penyiksaan fisik yang 
luar biasa keji. Otopsi atas jenazahnya menemukan berbagai fakta mengerikan. 


Selain luka dan lebam bekas pukulan disekujur tubuhnya, ditemukan tanda-tanda 
perkosaan dan penyiksaan yang mengakibatkan tulang kemaluan bagian depannya 
remuk dan darah mengalir dari rahimnya yang hancur akibat tusukan benda tumpul. 
Kematian Marsinah lewat jalan kekerasan merupakan bagian dari catatan panjang 
kekerasan terhadap perempuan. Tanda-tanda kekerasan yang melekat pada Marsinah 
menggunakan simbol-simbol budaya yang sangat kental dengan perendahan martabat 
perempuan. Rahim yang dirusak adalah bentuk penghukuman bagi seorang perempuan 
yang berani menunjukkan perlawanan atas persoalan yang dianggap bukan urusan 
perempuan. Perempuan dianggap sebagai bagian dari kehidupan domestik yang harus 
tetap bungkam ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan publik, bahkan jika 
persoalan publik itu menyangkut dirinya sendiri.


Marsinah tanpa disadarinya melanggar aturan tidak tertulis itu. Dengan lantang 
dia berseru tentang ketidakadilan yang terjadi pada buruh, terutama buruh 
perempuan yang diupah lebih rendah dan menuntut perubahan atas kondisi 
tersebut. Meski ajal menghentikan perjuangannya untuk sementara, namun bahkan 
kematian tidak sanggup membungkam seruannya atas ketidakadilan yang harus 
ditanggung oleh kelompok perempuan yang dimarjinalisasikan. 


Marsinah bukan hanya perempuan yang menjadi korban kekerasan, tapi dia juga 
menjadi potret nyata bagaimana perempuan ditempatkan dalam kehidupan sosial 
yang tidak adil. Melalui kematiannya, Marsinah berhasil menggugah kesadaran 
masyarakat untuk memberikan perhatian lebih pada berbagai bentuk kekerasan, dan 
ketidakadilan yang secara umum masih harus ditanggung oleh banyak perempuan di 
negeri ini.

Kekerasan dan Ketidakadilan 
Secara umum, kekerasan yang terjadi pada perempuan merupakan bagian dari 
praktek budaya kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan melibatkan pemahaman 
budaya masyarakat yang telah terbangun selama sejarah manusia. 
Dikotomi-dikotomi yang melandasi bangun kebudayaan seperti lelaki-perempuan, 
kuat-lemah, publik-domestik, menciptakan struktur masyarakat yang didasarkan 
atas dikotomi-dikotomi tersebut. Akar kekerasan terhadap perempuan tidak dapat 
dipungkiri berasal dari bagaimana perempuan ditempatkan dalam struktur 
masyarakat yang dibangun. 
Laki-laki dengan kekuatannya dianggap sebagai pelindung dari perempuan yang 
lemah dan konsekuensinya yang kuatlah yang berkuasa atas yang lemah. 
Persoalannya, kekuatan tidak selalu digunakan untuk melindungi karena tidak 
jarang kekuatan malah digunakan untuk menundukkan dan melemahkan pihak-pihak 
yang dikuasainya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa memang persoalan budaya 
masyarakat berkaitan sangat erat dengan tindakan-tindakan kekerasan terhadap 
perempuan. 
Anggapan bahwa perempuan secara kodratiah lemah dan harus dilindungi berimbas 
pada rendahnya posisi perempuan dalam banyak kultur masyarakat. Hal ini membuat 
perempuan rentan terhadap berbagai tindakan kekerasan fisik maupun psikis. 
Kekerasan fisik seperti pemukulan dan pemerkosaan serta kekerasan non-fisik 
seperti pembatasan pada akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi, merupakan 
tindakan kekerasan yang paling banyak dialami oleh perempuan di Indonesia saat 
ini. 
Pelaku kekerasan bukan hanya dilakukan oleh negara melalui aparat-aparatnya 
tetapi pelaku kekerasan terhadap perempuan yang akhir-akhir ini semakin 
mencemaskan justru paling banyak dilakukan oleh masyarakat. Tidak jarang pelaku 
kekerasan adalah orang-orang terdekat dari perempuan sendiri. 
Dalam tiga tahun terakhir ini saja, berdasarkan laporan yang diterima oleh 
Komnas Perempuan, terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan yang 
sangat tajam. Dari data yang dikumpulkan, sepanjang tahun 2009 hingga Januari 
2010, korban kekerasan mencapai 143.585 korban. Jumlah ini meningkat drastis 
dibandingkan tahun 2008 yang jumlahnya 54.425 korban. Sementara data laporan 
kekerasan di tahun 2007 hanya tercatat sebanyak 25.522 korban. 
Laporan kekerasan terhadap perempuan tersebut bisa dilihat dari dua sisi yang 
berbeda. Pada satu sisi meningkatnya laporan, bisa dimaknai positif sebagai 
meningkatnya kesadaran perempuan secara khusus dan masyarakat secara umum untuk 
tidak mentolerir berbagai tindak kekerasan, dengan cara melaporkan 
tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi. Di sisi lainnya, laporan ini bisa 
dimaknai negatif karena besarnya jumlah korban kekerasan yang terus-menerus 
bertambah setiap tahunnya.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, upaya-upaya melawan kekerasan terhadap 
perempuan di Indonesia, dalam hal membangun kesadaran masyarakat tampak mulai 
mengalami kemajuan. Meningkatnya kesadaran perempuan akan kekerasan, terwujud 
dalam bentuk intoleransi perempuan terhadap semua bentuk kekerasan yang menimpa 
dirinya, serta ketidakadilan gender yang menyebabkan kedudukannya sebagai warga 
negara sering diabaikan. 
Namun sayangnya, kesadaran tersebut masih kurang mendapat tanggapan dari 
pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang berpihak pada perempuan 
menyangkut persoalan kekerasan. Padahal, tindakan kekerasan terhadap perempuan 
merupakan bagian dari usaha untuk merendahkan dan menghancurkan kemanusiaan 
yang berakibat pada menurunnya kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, 
melepaskan perempuan dari belenggu kekerasan harus menjadi kesadaran dan upaya 
bersama yang harus dilakukan, demi membangun masa depan yang lebih baik.


Babak kegelapan dari kehidupan masyarakat yang kelam, karena catatan-catatan 
kekerasan, ketidakadilan dan berbagai tindakan dehumanisasi lainnya terhadap 
perempuan, harus segera ditutup. Lembaran baru harus segera dimulai dengan 
menempatkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan sebagai yang utama. 


Pemahaman baru harus dibangun, demi tujuan menciptakan kehidupan masyarakat 
yang adil dan sejahtera bagi semua. Kehidupan sosial tidak pernah statis karena 
ia selalu mengikuti perkembangan kehidupan manusia dan kebutuhannya. Dan 
keadilan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi dalam konteks kehidupan 
bermasyarakat yang baik. 


Mengutip Rawls yang mengatakan" Justice is the first virtue of social 
institution, as truth is system of thought. A theory however elegant and 
economical must be rejected or revised if it is untrue; likewise laws and 
institutions no matter how efficient and well-arranged must be reformed or 
abolished if they are unjust" (Rawls 1995 : 3). Keadilan merupakan nilai utama 
bagi kehidupan masyarakat. Dalam rangka memenuhi keadilan bagi setiap orang 
untuk itu, diperlukan kesadaran untuk mengubah cara hidup lama yang memuat 
berbagai bentuk ketidakadilan seperti kekerasan, pengabaian hak, dan pembatasan 
kebebasan secara paksa oleh negara dan masyarakat. Dengan demikian harapan 
kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera dan beradab mungkin tercapai. 

Penulis adalah staf inti pada Pusat Pengembangan Etika dan dosen tetap Fakultas 
Hukum 
Unika Atma Jaya Jakarta


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke