BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
740. Islam Phobia yang Bersifat Proaktif

Penderita Islam Phobia yang bersikap prokatif, yaitu yang berprasangka terhadap 
Islam dengan senjata "pseudo science", yaitu Orientalis seperti Samuel 
Huntington, yang berprasangka Islam mengancam demokrasi barat dengan ia punya 
wishful thinking "Clash of Civilization", dan para misionaris Kristian yang 
berprasangka bahwa "Muhammad knew all the sources: Christian, Jewish, 
Zoroastrian, Hanif and ancient Arab beliefs before he could compile the Qur'ân."

Yang pertama menjadi landasan sikap politik luar negeri Amerika Serikat dan 
yang kedua  dengan telak disungkurkan oleh Al-Quran: 
-- WMA KNT TTLWA MN QBLH MN KTB WLA TKhThH BYMYNK ADzA LARTAB ALMBThLWN 
(S.AL'AKBWT, 29:48), dibaca:
-- wama- kunta tatlu- ming qablihi- min kita-bin wala- takhuththuhu- 
biyami-nika izal larta-bal  mubthiluwn, artinya:  
-- Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu Kitabpun dan kamu tidak 
menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan 
menulis), benar-benar (tetaplah) ragu orang-orang ingkar.

Kalau dalam kolom ini saya nyatakan saya tidak pernah membaca referenspun 
sebelum saya tulis Seri 740 ini dan juga saya nyatakan pula saya tidak pernah 
menulis sebuah Seripun dalam kolom ini, apakah para pembaca akan percaya apa 
yang saya nyatakan itu? Tentu pembaca akan mendustakan saya, karena dalam 
kenyataannya saya menulis dengan membaca referens dan tidak benar bahwa saya 
tidak pernah menulis satu Seripun. 

Demikian pula halnya, andaikata Nabi Muhammad SAW sebelum menyampaikan Al-Quran 
membaca sumber-sumber dari Kristian, Yahudi, Zarathustra, dsb., maka itu akan 
ketahuan karena beliau tidak pernah hidup seorang diri bertapa di tempat yang 
terisolasi, berliau aktif bersosialisasi. Andaikata apa yang dituduhkan oleh 
para misionaris Kristian itu benar, maka tatkala beliau menyampaikan ayat 
(29:48) kepada penduduk Makkah, niscaya penduduk Makkah mendustakan ayat 
(29:48), dan akibatnya sesudah ayat (29:48) itu dikemukakan oleh beliau kepada 
penduduk Makkah, maka tentu tak seorang juapun yang akan mempercayai seluruh 
ayat Al-Quran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. Karena kenyataannya kaum elit 
komunitas Makkah, seperti Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, 'Ali dll. tidak menyatakan 
ayat (29:48) itu dusta, berarti Nabi Muhammad SAW tidaklah menulis Al-Quran, 
dan tidaklah beliau telah membaca sumber-sumber dari Kristian, Yahudi, dsb., 
Al-Quran itu bukanlah daur ulang dari sumber-sumber Kristian, Yahudi, dsb., 
melainkan bersumber dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik 
melalui Malaikat Jibril AS, maupun secara langsung.(*)

Taufik Adnan Amal, salah seorang pengagum Orientalis, yang dosen di Fakultas 
Syariah UIN (IAIN) Alauddin, Makassar, menulis: 
"Tuntutan pemberlakuan syariat Islam yang dikemukakan sejumlah daerah di 
Indonesia beberapa waktu lalu telah menarik perhatian kalangan yang 
berkepentingan dengannya. Ketidakjelasan konsep syariat di balik usulan itu 
telah menyeret masyarakat ke dalam ajang kontroversi yang akut. Kalangan (yang 
menamakan diri Islam Liberal-HMNA-) yang menduga tuntutan tersebut merupakan 
upaya pengejawantahan syariat model kaum Taliban di Afganistan atau model 
beberapa negeri di Timur Tengah, berusaha menolak dan memandangnya sebagai 
upaya mereorientasikan dan memasung masyarakat ke "masa lampau," abad ke-7 di 
Makkah dan Madinah, atau abad ke-9 di Bagdad."

Menurut ushul fiqh: bahwa hukum asal dalam bidang ibadah mahdhah adalah ikut 
pada apa yang diperintahkan Nash, tidak boleh menambahi, ataupun mengurangi, 
tegasnya semua tidak boleh kecuali atas petunjuk Nash. Sedang untuk masalah 
duniawi, ibadah mu'amalaat, menyangkut hubungan sosial/mu'amalah, kita 
berlomba-lomba untuk terus berkarya, berkreasi, tegasnya semua boleh kecuali 
yang dilarang Nash. Ushul fiqh ini amat bijak dan berwatak antroposentris. 
Allah tidak menghendaki hambaNya menambah beban berat dalam hal ibadah mahdhah, 
cukup melaksanakan apa-apa yang secara eksplisit diperintahkan Nash, sedangkan 
yang mu'amalaat, kita disuruh berpikir kreatif, tetapi tidak liberal, semua 
boleh kecuali yang dilarang oleh Nash. Alhasil Taufik Adnan Amal menderita 
Islam Phobia yang proaktif berprasangka dengan pernyataannya "memukul rata" 
bahwa pelaksanaan Syari'at Islam memasung masyarakat ke "masa lampau," abad 
ke-7 di Makkah dan Madinah. Ungkapan: "Syariat model kaum Thaliban atau 
Thalibanisasi", yang dikemukakan Taufik Adnan Amal itu sebenarnya mengandung 
stigmatisasi yang sangat keji, karena di dalamnya mengandung tudingan miring 
terhadap penerapan Syariat Islam dan sosok Negara Islam.
  
Para kaki tangan Orientalis yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL) 
dan International Center for Islam and Pluralism (ICIP), pernah mengadakan 
workshop bertemakan "Kritik Wacana Agama" di Jakarta, di mana Nasr Hamid Abu 
Zayd sebagai pembicara utama. Sementara itu Rektor UIN Yogyakarta telah 
menerbitkan buku Islamic Studies. Isinya memuja dan menjadikan pemikiran para 
pemikir liberal, seperti antara lain Nasr Hamid Abu Zayd sebagai rujukan, tanpa 
sikap kritis. Nasr Hamid yang di Mesir sudah divonis murtad, di sini malahan 
diagung-agungkan.

Menurut Dr.M. Emarah, dari sudut latarbelakang pemikiran, Nasr merupakan 
seorang kader Sosialis-Marxis Arab muda, sehingga kunci untuk memahami 
pemikiran Nasr ada pada methodologi dialektika Marxisme-Materialisme yang ia 
gunakan dalam menelaah al-Qur'an, kenabian dan wahju, aqidah, syari'ah, serta 
"historiografi" nash-nash dan hukum. 

Nasr menjelaskan bahwa bahwa Al Quran terbentuk dalam realita dan budaya selama 
dua puluh tahun, jadi budaya menjadi fa'il (subyek), sedangkan Al Quran hanya 
merupakan maf'ul (pelengkap penderita). Bahwa kenabian hanya merupakan 
tingkatan yang kuat dari ingkatan-tingkatan khayal yang timbul dari efektifitas 
daya khayal manusia. Bahwa wahyu bukanlah merupakan fenomena di luar 
undang-undang materialisme dan aqidah dibangun di atas landasan 
persepsi-persepsi "mitos", dalam kebudayaan komunitas manusia. Ini semua 
menguatkan bahwa pemikiran Nasr bertumpu pada paradigma filsafat positivisme. 

Adapun strategi untuk menyungkurkan pola-pikir Nasr adalah dengan menebas teori 
dialektika historische materialisme dengan senjata latar belakang sejarah juga. 
Artinya sejarah dipakai untuk menebas teori historische materialisme dari Marx. 
Ini telah dikupas dalam Seri 418, yang menunjukkan konsep Marx yang 
materialistik dalam mentafsirkan sejarah yang menjadi paradigma dari seluruh 
sistem pemikiran Marx, itu ditolak oleh kenyataan sejarah sendiri.

Maka pantaslah Nasr Hamid Abu Zayd di Mesir divonis murtad. Pandangannya yang 
sesat itu bertumpu di atas paradigma filsafat positivisme terkhusus historische 
materialisme dengan metode dialektika, yang ditolak sendiri oleh sejarah. 
Itulah dia Nasr Hamid Abu Zayd yang menjadi pion para Orientalis, itulah dia 
Abu Zayd yang diagung-agungkan komunitas yang menamakan diri Jaringan Islam 
Liberal (JIL) dan International Center for Islam and Pluralism (ICIP), ya 
dialah itu Nasr Hamid yang disanjung oleh Rektor UIN Yogyakarta. WaLlahu a'lamu 
bisshawab.

*** Makassar, 13 Agustus 2006
     [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2006/08/740-islam-phobia-yang-bersifat-proaktif.html
-----------------------------------------
(*)
Tambahan pula, bagaimana orang-orang Yahudi dan Kristian saat itu bisa masuk 
Islam, andaikata Muhammad SAW mencontek Quran dari kitab suci mereka ??



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke