http://www.riaupos.com/new/berita.php?act=full&id=519&kat=11


Tak Sekadar Cuci Muka
Oleh H Syafruddin Sa'an, Lc
29 Mai 2010

SEBAGIAN kita barangkali ada yang bertanya-tanya, mengapa sebuah persoalan atau 
permasalahan bisa muncul seketika di negeri ini, berada di fase pemberitaan 
yang klimaks, namun hanya dalam hitungan waktu yang tak beberapa lama kemudian 
tiba-tiba menguap begitu saja. Lumrahnya, kalau kita saksikan dalam 
cerita-cerita, setelah fase klimaks, biasanya selalu dibangun beberapa bentuk 
penyelesaian. Inilah yang membuat sebuah cerita tak kembali berulang dan 
berakhir.
  
Perhatian serupa pada pemberitaan penangkapan teroris beberapa waktu lalu. 
Barangkali tak banyak elemen masyarakat yang menganggap penangkapan tersebut 
sebagai peristiwa yang patut dikritisi dan dikawal. Ini dikarenakan kita 
terlalu mudah disibukkan dengan sebuah topik baru; dialihkan dari satu 
peristiwa ke peristiwa lainnya. Tanpa sadar substansi prioritas sebuah 
permasalahan. Sehingga tak jarang peristiwa yang pada dasarnya tidak terlalu 
berdampak luas, atau jangka pendek, justru kita besar-besarkan.

Apakah fenomena tersebut menggambarkan pola pikir masyarakat kita sesungguhnya? 
Sejatinya, masyarakat dapat dilihat dari paradigma atau kerangka berpikirnya, 
bagaimana mengurutkan suatu masalah dari yang penting ke yang lebih penting. 

Tendensi penulis menilai permasalahan terorisme beberapa waktu lalu layak untuk 
kita bahas dan dituntaskan. Ini dikarenakan peristiwa itu tak hanya mengarah 
pada keamanan negara semata, tetapi di sini melibatkan nyawa orang banyak. Dan, 
jika suatu urusan terkait nyawa maka kekritisan adalah harga mati.

Oleh karena itu, dalam konteks tulisan ini, penulis fokuskan pada dua hal 
pokok. Pertama, bagaimana upaya pencegahan yang telah dilakukan dan kesesuaian 
langkah-langkah yang ditempuh dengan prosedur, penegakan hukum yang 
sebenar-benarnya dan hak azasi manusia terhadap para pihak yang diklaim 
teroris. Apakah sudah melalui pembuktian kuat akan dugaan tersebut? Kedua, 
bagaimana peran masyarakat di sini, sejauhmana pendekatan dan kedekatan dengan 
modal sosial dijalin oleh pihak kepolisian?

Jika kita lihat setakat ini, pencegahan dan upaya penangkapan pihak-pihak yang 
diduga teroris belum berjalan maksimal. Justru yang terjadi semakin tak jelas 
arah pengungkapan jaringan yang dimaksud. Buktinya saban waktu ada pihak yang 
ditangkap, ditembak dan digerebek. Meski dalam hal ini, di satu sisi pihak 
kepolisian patut kita berikan apresiasi atas segala upaya, namun di sisi lain 
apresiasi tersebut haruslah diiringi dengan perhatian seksama. Jangan sampai 
setiap langkah yang ditempuh lepas dari kritikan. Karena kepolisian adalah juga 
sekumpulan manusia.


Teroris dari Teror

Sudah seharusnya sebagai bangsa yang beradab, penghargaan terhadap nyawa 
manusia di atas segalanya. Peristiwa-peristiwa selalu kita kawal. Bukan karena 
informasi terorisnya, tetapi lebih dari itu, dituntut kesadaran kita bersama 
akan detail peristiwa dan dampaknya. Karena, ada kekhawatiran bahwa ketika aksi 
pencegahan terorisme dikampanyekan justru membuat masyarakat menjadi intel 
amatiran. Masing-masing dipacu untuk mematai orang lain. Sehingga, prasangka 
lebih dominan daripada fakta. Implikasi yang paling dikhawatirkan, hak azasi 
seseorang dikesampingkan.

Ini tentu bukan pelajaran yang baik bagi sejarah bangsa ini, generasi yang akan 
datang dan keseluruhan entitas negeri ini. Aksi pencegahan terorisme yang 
diselesaikan lewat cara koboi sebenarnya bukan mencegah munculnya terorisme, 
satu sel terbunuh, maka akan muncul sel baru lagi. Bukan kekhawatiran yang tak 
beralasan, bahwa multiplier effect dari penyikapan dengan cara begini, yang 
paling kuat akan kembali pada tingkat lokal, tingkat terkecil dari dalam negara 
ini di mana masyarakat melangsungkan segala aktivitasnya.

Kita seharusnya belajar dari cara pemerintahan barat mengatasi dan mencegah 
terorisme. Setidaknya hingga detik ini, yang tersaji dihadapan kita bukannya 
terorisme itu makin berkurang, malah sebaliknya, semakin menjadi-jadi. Ini bisa 
jadi dikarenakan upaya atau tindakan yang mereka istilahkan sebagai pencegahan 
tersebut tidak berjalan sesuai dengan karakter manusia itu sendiri. Bisa juga 
pada pola penyelesaian masalah kita yang tidak pernah fokus antara satu masalah 
dengan masalah yang lain.

Jika didalami, upaya pencegahan terorisme akan sulit mendekati momentum 
keberhasilan jika di lapangan tidak berjalan sesuai sunattullah. Solusi-solusi 
yang ditampakkan saat ini, di mana melibatkan modal sosial yang ada di tengah 
masyarakat, semisal para ulama, tokoh masyarakat, lembaga adat setempat, RT dan 
RW cenderung bukan pada pakemnya. Kasus di tengah kita, modal sosial tersebut 
cenderung dimanfaatkan hanya sekadar untuk memata-matai seseorang, sebuah rumah 
yang dicurigai, dan saat sebelum penyergapan akan dilakukan.

Pemanfaatan ini tentu malah membawa dua efek negatif secara langsung. Pertama, 
memberi elemen masyarakat kekuatan yang tak terlembaga untuk menilai pihak 
lain. Kedua, jika tidak terbukti seseorang yang dicurigai sebagai seorang atau 
terlibat dalam jaringan terorisme, atau dalam versi menakutkan dipaksa mengakui 
keterlibatannya, maka justru melahirkan teroris sesungguhnya. Ini bukan kajian 
akademis. Telah banyak pengakuan dari orang-orang yang ditangkap karena 
dicurigai terorisme, justru semakin menyangkal semakin kuat diduga 
keterlibatannya.

Terorisme tidak saja karena cara pandang seseorang. Terorisme bisa juga 
dibentuk oleh lingkungan, karena tekanan situasi yang tidak menyajikan pilihan 
dan ruang yang lebih bagi yang bersangkutan untuk memilih. Artinya, apabila 
seseorang didesak oleh perlakuan lingkungan bahwa seolah-olah ia adalah 
teroris, akibatnya ia berkemungkinan besar menjadi teroris sebenarnya. Ibarat 
adagium: takdir pun memenuhi nubu'atnya sendiri. Terorisme hasil terpaan 
lingkungan ini bahkan bisa membentuk pribadi yang lebih ekstrim. 

Terutama jika dimanfaatkan pihak-pihak yang berkepentingan buruk terhadap 
negara ini. Untuk itulah, seluruh elemen vital di tengah masyarakat, mulai dari 
pemimpin opini secara personal dan kelembagaan, terutama media massa, harus 
dapat menjaga pengetahuan publik berada pada tempatnya. Sehingga masyarakat 
kita tidak hanya sebagai penikmat informasi pasif, yang dampaknya sangatlah 
mengkhawatirkan.

Khusus bagi penegak hukum, hubungan dengan modal sosial tadi harus diperkuat, 
tapi secara sosiologis. Idealnya, masyarakat dalam hal ini tidak diikutsertakan 
dalam lingkar agen yang semata-mata mencari dan melaporkan ada pihak yang 
dicurigai. Karena, ini bisa menjadi bumerang bagi kepolisian, di mana akan 
tersebar ketakutan massal. Dengan penyikapan seperti ini, aksi pencegahan 
terorisme pun tak bisa maksimal. Dengan keseriusan ini, niscaya berimbas pada 
keterhindaran dari upaya cuci muka dari persoalan lainnya. Wallahu a'lam.*** 

H Syafruddin Sa'an, Lc, 
Anggota FPKS DPRD Provinsi Riau

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke