NU dan Godaan Pilkada

Oleh: Said Aqiel Siradj


Hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang marak saat ini cukup
berpengaruh kepada NU. Kader-kader NU bermunculan untuk tampil dan
berpartisipasi dalam pesta demokrasi lokal itu.


Sejumlah masalah muncul. Tak sedikit pula dari pilkada itu berakhir dengan
kekerasan. NU kena getahnya. Tarik-menarik kepentingan politik praktis yang
melibatkan itu pun tak terhindarkan. Pilkada riskan membawa beban polarisasi
dalam masyarakat yang menumbuhkan konflik, persaingan tidak sehat, tumbuhnya
broker-broker amatiran, serta ganasnya money politics.


Godaan politik praktis tampak masih begitu besar dan mengusik NU. Perdebatan
kalangan Nahdliyin masih panas seputar boleh atau tidaknya para pemimpin
struktural NU terjun ke dunia politik praktis. Kesalahpahaman khitah,
tampaknya berangkat dari ambiguitas konseptualisasinya ketika
dipertentangkan dengan kenyataan. Ini yang masih terasa memusingkan warga
Nahdliyin dengan kontradiksi sikap politik sebagian pengurus NU.


Di sisi lain, massa NU saat ini terlihat sudah cair, sehingga tidak bisa
diwadahi dalam satu parpol. Tidak seperti dahulu, sikap politik massa NU
cenderung ke partai tertentu saja, terutama saat NU menjadi parpol.


Tiga Pilar NU


Sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, NU harus mampu
menyinergikan antara tiga peran utamanya, yaitu menanamkan corak
keberagamaan tradisional yang moderat dan toleran, memberdayakan masyarakat
di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya serta mempertahankan dan
membangun bangsa dan negara.


Tiga pilar utama peran NU tersebut kemudian disarikan dalam rumusan strategi
politis sebagai senjata top-down, selain senjata bottom-up melalui
pemberdayaan dan pendekatan sosiokultural. Strategi politik yang dimaksud,
yaitu pertama, politik kebangsaan. NU punya tanggung jawab mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menolak bentuk disintegrasi
apa pun.


Kedua, politik kerakyatan. NU memahami agama tidak melulu sebagai "agen
surga", tetapi lebih sebagai agen perubahan sosial. Politik kerakyatan
menemukan bentuknya dalam pemberdayaan masyarakat, pendampingan dan
perjuangan atas hak-hak rakyat dan kaum tertindas. Peningkatan dan
pemerataan pendidikan, dakwah keagamaan, pemberdayaan ekonomi kecil-menengah
terus dimaksimalkan guna mewujudkan civil society. Ketiga, politik kekuasaan
atau bisa disebut politik NU. Guna memuluskan perjuangan mewujudkan civil
society dan kemajuan bangsa, NU menganggap perlu mengambil peran dalam
perpolitikan.


Dalam hal politik praktis, PB NU telah tegas menentukan aturan main buat
pengurus NU dan warga Nahdliyin. Aturan tersebut adalah bahwa warga NU bebas
memilih, institusi NU atau simbol dan fasilitas NU tidak boleh dilibatkan,
pengurus harian NU atau badan otonom harus nonaktif selama proses
pencalonan. Apabila yang bersangkutan terpilih, otomatis lepas dari pengurus
karena tidak boleh dirangkap dengan jabatan publik. Apabila tidak terpilih,
dia boleh kembali dengan persetujuan pihak yang dulu memilih.


NU sebagai organisasi tidak mungkin "menghilangkan" hak seorang warga negara
untuk berpolitik. Yang bisa adalah mengatur mekanismenya. Sehingga,
masalahnya bukanlah "syahwat" politik atau "impotensi politik", melainkan
pengaturan mekanik yang sinergis.


Banyaknya tokoh NU yang ditarik oleh kepentingan politik praktis tidak
mengindikasikan turunnya martabat NU selama aturan main dipakai. Terlalu
banyak pihak yang sangat khawatir kalau NU bersatu dalam satu titik pilihan
menciptakan keruwetan tersendiri yang kadang-kadang menggunakan orang
"dalam" NU.


Politik Kerakyatan


Jalur politik memang menjadi salah satu pintu efektif mewujudkan mimpi
terciptanya bangsa yang beradab. Politik NU adalah strategi aktualisasi
peran NU dalam ranah politik bangsa ini. Persoalan muncul dalam hal memahami
politik kekuasaan NU. Merujuk khitah pada Muktamar NU di Situbondo, Jawa
Timur (Jatim), 1984, NU sejatinya mengambil jarak dengan partai politik dan
kekuasaan. Maksudnya, kontribusi NU pada ranah politik praktis dibatasi pada
perannya sebagai kontrol dan menyumbang gagasan balik sebagai hasil
pembacaan utuh atas problem bangsa. NU semestinya mampu menempatkan diri
kapan bersinergi dan kapan membuat jarak dengan kekuasaan dan parpol.


Dengan moderasi sikap NU seperti itu, peran pemberdayaan masyarakat tidak
akan terabaikan. Kekeliruan menerjemahkan politik kekuasaan NU menghadirkan
fenomena politisasi NU. NU dijadikan kendaraan oknum tertentu untuk
memuaskan hasrat politik dan kepentingan mereka sendiri. Peran NU sedemikian
rupa ditundukkan ke dalam kepentingan yang berdimensi pribadi, kelompok, dan
golongan.


Tampaknya, perwujudan politisasi NU dalam politik praktis masih sangat
kental seperti terlihat kasatmata pada momen pemilihan kepala daerah. Murni
terjun di ranah politik praktis tanpa menanggalkan baju ke-NU-annya adalah
penyimpangan khitah NU, kalau bukan pengkhianatan.


Memilih khitah berarti tidak menoleransi "pengkhianatan" atasnya. Jangan
sampai khitah NU dituduh hanya sekadar kedok untuk melindungi syahwat
politik orang tertentu. Lebih jauh, tuntutan dipenuhinya "takdir" khitah
ialah dalam rangka mempertegas garis gerak sosiopolitik NU, demi tercapainya
pencerahan dan transparansi politik bagi bangsa. Tanpa ketegasan, khitah
akan berhenti sebatas wacana di satu sisi, dan makin meningkatnya libido
politik sebagian nakhoda NU untuk mempolitisasi NU guna kepentingan diri
sendiri.


Walhasil, NU haruslah tetap menjadi ormas garda depan yang mengukuhkan
nilai-nilai kebangsaan dan kerakyatan. Dan ini, harus diawali dengan
bersatunya warga dan elite-elite NU, menjauhi persengketaan dan perburuan
jabatan instan yang hanya menjadikan pelemahan terhadap NU. NU adalah
representasi "Islam Indonesia" yang harus mampu ikut serta membentengi
bangsa ini dari segala bentuk ancaman, termasuk soal radikalisme dan
terorisme. (*)


*) Prof Dr KH Said Aqiel Siradj, ketua umum PB NU


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke