JIL adalah para pemberani yang memutarbalikan ayat, sayang sekali kelakuan
mereka ini harus dibayar mahal di akhirat kelak


Mereka dengan berani mengatkan palsu sebuah hadits dengan standar hawa nafsu


Mengatakan palsu kitab para ulama islam


Mengatkan syariat islam sebagai budaya arab


Liberal adlah agama ALLAH


Tidak ada hukum islam, agama dan pemerinthan harus dipisah


Beribu ucapan dusta mereka ucapkan hanya untuk menyenangkan bigbos mereka
America walaupun harus menjual agama mereka


Sungguh kasihan mereka itu, merekalah yang menjual ayat2 ALLAH dengan dunia
ini


wallahualam


Islam Liberal : Hawa Nafsu Berkedok Ilmu


"Allah menciptakan malaikat dengan menyertakan akal tanpa hawa nafsu. Dan
menciptakan binatang dengan menyertakan hawa nafsu tanpa akal. Sedangkan
Allah menciptakan manusia dengan menyertakan akal dan hawa nafsu sekaligus.
Maka barangsiapa yang ilmunya menguasai hawa nafsu maka dia lebih baik dari
malaikat dan barangsiapa hawa nafsunya mengalahkan ilmunya maka dia lebih
buruk dari binatang." Demikian Malik bin Dinar t mendudukkan manusia.

Jika malaikat senantiasa taat, itu karena mereka diciptakan tanpa disertai
hawa nafsu yang menentangnya, tetapi manusia yang dititahkan disertai hawa
nafsu lalu dia mampu menundukkan nafsu dengan ilmunya, maka dia manusia
istimewa. Demikian pula halnya, menjadi kewajaran jika binatang hanya makan
dan menuruti syahwatnya, karena memang mereka diciptakan tanpa diberi akal. 

Tetapi manusia yang diberi akal lalu hanya memperturutkan hawa nafsunya maka
binatang lebih baik darinya. Allah berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi."
(al-A'raf: 179)
 


Ilmu VS Hawa Nafsu



Allah menghendaki agar manusia mau mengendalikan hawa nafsu dengan ilmunya,
namun setan berusaha menggiring manusia untuk memperturutkan hawa nafsunya.
Ilmu dan hawa nafsu senantiasa berebut untuk meraih hegemoni, selalu
bertarung untuk dapat mendominasi jiwa manusia. Yang paling celaka adalah
ketika hawa nafsu yang bertahta dalam jiwa manusia, menjadi raja yang
menjadi sesembahannya:

"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun." (al-Qashash: 50) 

Pertarungan tersebut bukan saja terjadi pada masing-masing jiwa manusia,
namun juga membumi. Jika hawa nafsu banyak menguasai mayoritas manusia di
bumi, maka bisa jadi hawa nafsu yang memegang kendali dan merajai. 

Ibnu Mas'ud pernah berkata di hadapan sahabat dan tabi'in: "Sesungguhnya
kalian hidup di suatu zaman di mana kebanaran yang menguasai hawa nafsu,
namun kelak akan ada suatu zaman di mana hawa nafsu yang merajai kebenaran."

Rupanya zaman itu sudah sampai. Lihat saja, setiap kali terjadi perang
opini, maka pemuja hawa nafsu lebih banyak pendukungnya, para pengumbar
nafsu paling banyak dijadikan idola.
 


Hawa Nafsu Dikemas dengan Ilmu



Proyek meng'hawa-nafsu'kan dunia ditempuh setan dengan banyak cara sekaligus
menunjuk arsitek dan para pekerjanya. Di antara cara tersebut adalah
membungkus hawa nafsu dengan kedok ilmu. Tugas ini diemban oleh 'syaithan
nathiq' (setan bicara) yang melegalkan hawa nafsu atas nama ilmu. Dengan
kemasan ini, kampanye setan untuk menggolkan hawa nafsu sebagai penguasa
sukses dengan kemenangan telak.

Kasus pornografi misalnya. Definisi dan batasan istilah ini diperdebatkan,
namun hanya satu tujuan setan, memenangkan opini bahwa 'tidak ada yang layak
dikatakan porno'. Statemen yang paling efektif untuk ini adalah pernyataan
bahwa 'batasan pornorafi itu relatif.' 

Cermatilah, bagaimana setan mengajari murid-muridnya untuk berargumen.
Ketika seorang model yang suka tampil vulgar ditanya tentang sikap
masyarakat yang memandang tabu dan mem'porno'kan gayanya, dia menjawab:
"Terserah mereka, tinggal dari sisi mana mereka menilai. Kalau mereka
'positif thinking' (husnudzhon) ya mereka menganggapnya baik, tapi kalau
sudah 'negatif thinking' (su'udzhon) duluan, ya...apa-apa dikatakan jelek."
Inilah hawa nafsu yang dikemas dengan 'ilmu'. Mereka hanya ingin berkelit
dari hukum manusia, tetapi mereka tak mungkin bisa lari dari hukuman Allah. 

Tidak jarang pula bahkan, orang-orang yang se-tipe dengannya menganggap
masyarakat yang anti pornografi sebagai kaum munafik, 'toh sebenarnya mereka
juga demen', katanya. Tetapi, munafik yang sebenarnya adalah mereka yang
tidak mau taat kepada norma yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya,
bahkan menghalangi orang-orang darinya, firman Allah:

"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang
Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu."
(an-Nisa': 61)
 


Dilegalkan Para Cendekiawan



Wajar jika pernyataan-pernyataan sumbang seperti beberapa contoh di atas
muncul dari orang-orang yang notabene memang jauh dari bangku pondok
pesantren, atau jarang mencicipi pengetahuan agama. Yang aneh adalah
orang-orang yang ditokohkan dalam hal agama ikut-ikutan pula mempromosikan
hawa nafsu berkedok ilmu. Tentunya dengan gaya yang lebih Islami,
bumbu-bumbu dalil, ramuan ushul fikih plus argumentasi yang runtut. 

Terutama mereka yang berada dalam jajaran Islam liberal. Untuk menghalalkan
segala hal, mengkampanyekan budaya serba boleh dan 'anti haram', banyak
ungkapan nyleneh yang dikuatkan dalil-dalil. Seperti pernyataan 'Fikih islam
tidak cukup untuk memahami seni', atau 'akal adalah rasul Allah di muka
bumi' atau menggunakan kebebasan dalam menafsirkan Al-Qur'an. Namun yang
dituju hanya satu 'tidak ada yang haram', karena menurut mereka keharaman
itupun juga relatif, tinggal dari sisi mana orang melihat.
 


Al-Qur'an Sesuai di Setiap Waktu dan Tempat



"Kalimatul haq uriida biha al-bathil', pernyataan yang benar namun dipakai
untuk maksud yang bathil. Ungkapan ini sepertinya pas ditujukan untuk
orang-orang Islam Liberal yang memiliki 'track record' menghalalkan yang
sudah jelas haram dengan dalih Al-Qur'an sanggup menjawab persoalan di
setiap zaman, atau Islam bisa sesuai dengan kondisi kapanpun.

Ungkapan ini benar, namun tuan-tuannya penganut JIL terbalik dalam
terapannya. Mereka merubah alat ukur sebagai yang diukur, sedangkan yang
mestinya diukur malah dijadikan alat ukur. Mereka justru memaksa Al-Qur'an
untuk membolehkan sesuatu yang haram karena sudah terlanjur mengakar dan
mengkondisi di masyarakat. Seakan mereka berkata 'karena zaman sudah seperti
ini, maka ini dan itu diperbolehkan'. Dalilnya? Islam cocok untuk setiap
kondisi dan zaman, katanya.

Padahal posisi yang tepat untuk ungkapan tersebut adalah bahwa dalam kondisi
apapun syari'at Islam secara komprehensip sesuai untuk diterapkan. Umat akan
baik selagi mereka mau mengambil petunjuk darinya dalam setiap perkataan dan
perbuatan. Inilah maksud hadits Nabi:

"Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama,
selagi berpe-gang dengan keduanya, yakni kitabullah dan sunnah Nabi-Nya."
(HR Malik)
 


Ilmu yang Sebenarnya



Gaya bicara dan retorika berargumen jubir pemuja hawa nafsu memang membuat
kita silau. Terkesan cerdas, logis dan ilmiah. Apalagi jika dalil Al-Qur'an
sesekali menjadai alat legitimasi dari pendapatnya, gelaran cendikiawan
muslim serta merta melekat di jidatnya. Fenomena ini telah digambarkan juga
oleh Ibnu Mas'ud sekaligus solusi untuk menghadapinya. Beliau katakan:
"Sesungguhnya kalian nanti akan mendapatkan suatu kaum yang mengaku menyeru
kalian kepada Kitabullah padahal sesungguhnya mereka membuang Al-Qur'an di
belakang punggung mereka, maka hendaknya kalian berpegang kepada ilmu.dan
hendaknya kalian mengikuti para salaf (sahabat hingga tabi'ut tabi'in)."

Dengan ilmu, kita mengenali kecurangan orang yang hanya menjadikan Al-Qur'an
sebagai alat legitimasi untuk melegalkan hawa nafsu sebagaiman kita
mengenali kebenaran. Ilmu yang dimaksud di sini adalah 'ulumus syar'i
al-muruts 'anin Nabi', ilmu syar'i yang diwariskan oleh Nabi saw. Sedangkan
yang paling paham tentangnya adalah para sahabat Nabi, kemudian tabi'in,
kemudian tabi'ut tabi'in dan ulama-ulama berikutnya yang setia dengan jalan
yang telah ditempuh oleh mereka. Iniah jalan selamat dari tipu daya para
'jurkam' hawa nafsu, wallahul musta'an (Abu Umar Abdillah/ Majalah
Ar-risalah) 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke