http://www.antaranews.com/berita/1278301381/muhammadiyah-di-antara-sandal-jepit-dan-songkok

Muhammadiyah di Antara Sandal Jepit dan Songkok
Senin, 5 Juli 2010 10:43 WIB | Artikel | Pumpunan | 
Edy Supriatna Sjafei
Yogyakarta (ANTARA News) - Sandal jepit dan songkok masih tetap melekat bagi 
warga Muhammadiyah yang ikut muktamar seabad organisasi Islam besar di Tanah 
Air tersebut.

Coba lihat, betapa bersahajanya peserta muktamar ketika menghadiri pembukaan 
kegiatan tersebut. 

Bagi para pengembira, masih banyak yang datang dengan mengenakan sandal jepit, 
pakaian sederhana. Berbaju batik dan songkok hitam lusuh, membawa plastik 
kresek berisi minuman air putih dalam plastik kemasan menjadi pemandangan 
menarik sepanjang hari pertama dan kedua pada pelaksanaan Muktamar Seabad 
Muhammadiyah di Yogyakarta.

Sejumlah bus pariwisata penuh ikut memacetkan sejumlah ruas di kota Yogyakarta 
. Sampai-sampai sidang pleno di kampus Univeristas Muhammadiyah Yogyakarta pun 
sempat tertunda.

Semula panitia ingin melakukan efesiensi waktu, siding pleno dimajukan sehari 
lebih cepat. Nyatanya, setelah ditunggu lebih dari dua jam, ruang siding 
melompong alias kosong. 

Kalaupun ada peserta yang datang, itu memaksakan diri setelah berjuang melawan 
kemacetan dan hujan deras.

Haedar Nashir, pimpinan sidang pleno, akhirnya memutuskan sidang tersebut 
dikembalikan seperti jadwal semula. Pelaksanaannya tetap berlangsung pada Ahad 
pagi, jam 08.00 WIB untuk memberi kesempatan kepada peserta siding agar 
seluruhnya datang.

"Karena tak memenuhui kuorum, dua pertiga dari seluruh peserta tak datang, 
sidang ditunda hingga esok?," katanya memberi penjelasan di atas podium.

Efek kemacetan di jantung kota Yogyakarta selain dirasakan bagi warga setempat 
juga bagi muktamirin yang ikut kegiatan mata acara pokok yang digelar di 
berbagai tempat di kota tersebut.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsudin, mengklaim ada sekitar 
sejuta warga Muhammadiyah tumplek ke Yogyakarta . 

Hal itu sungguh luar biasa, karena jumlah penggembiranya jauh lebih besar 
ketimbang pesertanya sendiri. Lebih-lebih, pada saat pembukaan bertepatan 
dengan libur sekolah, yakni Sabtu dan Minggu.

Pada muktamar yang berlangsung pada 3 hingga 8 Juli 2008 memang bertepatan 
dengan liburan panjang anak sekolah. Banyak orangtua mencari sekolah bagi 
putra-putrinya di kota Gudeg yang juga dijuluki sebagai kota pelajar.

Oleh karena itu, jadilah warga kota Yogyakarta seolah dikejutkan dengan rezeki 
baru, dan sejumlah pebisnis ojek laris keras, walau kota tersebut termasuk 
daerah tujuan wisata populer di negeri ini.

Tarif ojek pun mendadak mahal. Tukang becak pun tidak mau kalah, menetapkan 
besarnya ongkos seenaknya. Sementara itu, bagi warga Muhammadiyah itu sendiri, 
utamanya wong cilik, Jogja merupakan arena rekreasi baru. 

Menikmati pemandangan kemacetan kota dan banyaknya penggembira warga 
Muhammadiyah menjadi sesuatu hal yang mengasyikan.

Bagi alumni Universitas Gajah Mada (UGM), yang juga ikut kegiatan tersebut, 
maka muktamar dapat sekaligus dijadikan momen silaturahim. Beberapa tempat 
rumah makan pun diserbu menjadi tempat berkumpul, bernostalgia.

Selain itu, para pengembira muktamar juga terlihat berjalan bergerombolan di 
terotoar memberikan gambaran bahwa mereka adalah umat Muslim yang antusias 
memberi perhatian terhadap organisasi Islam tertua di Indonesia itu.

Dengan terseok-seok sambil menggendong anak, mengenakan sandal jepit, songkok 
dikenakan miring, mereka pun berjalan bergerombol di tepi jalan. 

Kadang berhenti di tempat agak lapang, kadang ada pula meneruskan berjalan, dan 
sejumlah di antara mereka membicarakan pidato Din Syamsudin.

Mengenakan bahasa daerah, para penggembira itu ada yang merasa kagum dengan 
pidato Din Syamsudin. Ketika pembukaan, Din berpidato yang menurut para 
penggembira muktamar tidak kalah penampilannya dengan seorang menteri. Ada pula 
yang menyebut, itu pidato orang gedean sehingga memang harus begitu.

Para penggembira itu agaknya tidak paham secara persis substansi pidato ketua 
umum PP Muhammadiyah. Namun, di antara mereka para orangtua terlontar ucapan 
rasa kagum bahwa pemimpin Muhammadiyah, yang ketika berpidato mengenakan songko 
hitam, punya daya pikat lataknya Presiden RI pertama, Ir. Soekarno.

Terperangah

Di kampus Universitas Muhammadiyah (UMY), Sabtu petang, segerombolan ibu baru 
saja turun dari kendaraan keliling kampus. Bagi anak kampus, kendaraan derek 
kecil yang ditarik sebuah mobil induk seperti lokomotif dan dijuluki trans UMY 
itu, menjadikan sesuatu yang menarik bagi para penggembira.

Terutama para ibu. Di antara kelompok kaum hawa itu ada seorang ibu mengenakan 
kain kebaya sambil menggendong anaknya nampak lama memandangi kendaraan 
tersebut.

Setelah itu, matanya menatap lama gedung UMY yang berdiri di ruas jalan Lingkar 
Barat kota Yogyakarta itu. Gedung megah itu seolah dikaguminya dan beberapa 
kali menunjuk ke arah keliling gedung sambil bicara kepada anak yang berada di 
pelukannya.

"Gedungnya tinggi, tinggi," katanya berulang-ulang.

Tidak lama, datang rekannya menghampiri. Mereka pun meninggalkan halaman luas 
kampus tersebut.

Bagi warga Muhammadiyah yang memiliki uang, maka kehadirannya di kota pelajar 
itu dimanfaatkan sebagai ajang silaturahim.

Ibu Yetti, misalnya, yang datang mengenakan pesawat dari Kalimantan. Setibanya 
di Bandara Adi Sucipto langsung dijemput dan kemudian diantar ke salah satu 
hotel berbintang.

Setelah melakukan kontak bertelepon, sejumlah perjanjian pertemuan pun dengan 
cepat dijadwalkan. Usai menghadiri pembukaan, ia melakukan pertemuan dengan 
korps alumni yang sama-sama juga warga Muhammadiyah.

Usai acara tersebut, ia melakukan pertemuan dengan anggota keluarga di Yogya di 
salah satu rumah makan. Kemudian sejumlah acara telah menunggu, mulai pertemuan 
bisnis hingga kegiatan social yang harus diselesaikan sebelum bulan Ramadhan 
tiba.

"Saya berada di Bantul sekarang. Nanti kita ketemu lagi," katanya.

Berbeda dengan Muhammad Zainuri, salah seorang pengurus Muhammadiyah di 
bilangan Pulo Gadung Jakarta, kedatangan ke Yogyakarta selain untuk mengikuti 
kegiatan inti dari keseluruhan acara muktamar itu sendiri, disisi lain 
dijadikan ajang silaturahim.

Harap dimaklumi pula, pensiunan pegawai negeri dan alumni Univeritas Gajah Mada 
(UGM) ini kini banyak mengeluti dunia pendidikan. Tak heran pula, Zainuri 
banyak bertemu dengan rekan-rekannya untuk membahas dunia pendidikan dan dakwah.

Bagi Zainuri, isi pidato Din Syamsudin tak perlu dikomentari berlebihan. Apakah 
retorikanya seperti penampilan Presiden RI atau bukan. 

Namun, baginya, yang penting bagaimana memajukan pendidikan di bawah 
panji-panji, bendera, Muhammadiyah yang belakangan ini mengalami tantangan 
cukup besar.

Tantangan

Bagi Muhammadiyah tantangan ke depan memang harus dijawab, seperti tatkala 
organisasi ini berdiri menghadapi sejumlah persoalan dari sekitarnya pada saat 
itu.

Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta 
pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912, dalam prespektif sejarah, 
persyarikatan ini didirikan untuk mendukung usaha memurnikan ajaran Islam yang 
dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.

Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda 
berupa pengajian Sidratul Muntaha.

Organisasi ini sangat berperan dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian 
sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School 
Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah 
(sekarang dikenal dengan Madrasah Mu`allimin khusus laki-laki, yang bertempat 
di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu`allimaat Muhammadiyah khusus 
Perempuan, di Suronatan Yogyakarta ).

Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas 
di karesidenan- karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta , Pekalongan, dan 
Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang.

Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada 
tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke 
Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam.

Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke 
seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah makin 
bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. 

Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.

Kini, dalam memperingati seabad berdirinya organisasi Islam tertua di Tanah Air 
itu, sudah saatnya Muhammadiyah membuat cetak biru, bagi sejumlah program 
kerjanya ke depan.

Kaum "sandal jepit", bersongkok hitam yang masih setia menjadi anggota harus 
menjadi bagian perhatian untuk disejahterakan. 

Terlebih, Muhammadiyah pun sudah harus menyiapkan buah pikiran yang sejalan 
dengan perkembangan zaman, arus globalisasi.
(T.E001*A025/P003)

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke