Tajuk Harian Fajar Senin, 5 Juli 2010 ================== Pemerintah Pemalas ==================
Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang rata-rata sebesar 10 persen hingga 20 persen, mulai memunculkan indikasi gangguan laten pada ekonomi nasional dan kehidupan bangsa. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi bahwa tingkat inflasi di akhir tahun ini diperkirakan akan melampaui target. Semula pemerintah menargetkan tingkat inflasi tidak lebih dari 5,3 persen. Namun, BPS memprediksikan tingkat inflasi bisa mencapai minimal 6 persen. TDL yang baru berlaku 1 Juli dan pembayarannya baru akan dirasakan Agustus mendatang, menurut BPS, juga sudah memicu psikologi kenaikan harga bahan pokok di pasar. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang beberapa waktu lalu melakukan simulasi, menyimpulkan bahwa kenaikan TDL 10 persen hingga 20 persen, menyebabkan konsumsi listrik sektor industri akan menurun 6,70 persen sampai 13,40 persen. Kemungkinan PHK karyawan akan mencapai 1,17 persen sampai 2,36 persen. Hal itu kemungkinan besar akan terjadi, sebab kenaikan TDL sebesar 10-20 persen berpotensi menambah biaya produksi sektor utama pengguna listrik atau listrik intensif rata-rata sebesar 2,13-4,25 persen. Kenaikan ini berpotensi menambah besaran inflasi 0,63-1,36 persen. Di sisi lain, kita mendapati fakta bahwa, kenaikan TDL tersebut hanya untuk menutupi defisit anggaran pemerintah sebesar Rp 5,5 triliun. Bukan jumlah yang besar sebenarnya, terutama jika mengingat bahwa terdapat sisa anggaran APBN 2009 sebesar Rp 38 triliun yang tidak terserap. Apalagi PT PLN pada posisi untung bersih sebesar Rp 10,355 triliun, dan mengantongi uang kas sebesar Rp 13 triliun. Defisit anggaran Rp 5,5 triliun yang harusnya masuk dalam pos subsidi listrik itu, bukan jumlah yang besar jika dibanding tingkat penyerapan anggaran tahun 2010 hingga Mei lalu baru sebesar 26 persen, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Hal yang mengecewakan lagi, bahwa pemerintah dalam menyusun APBN, selalu menggunakan prinsip biaya maksimal (maximizing cost). Padahal di lain pihak, para wajib pajak; pribadi maupun usaha, yang membiayai APBN itu, selalu menyusun anggaran dengan menerapkan prinsip efisiensi. Ironis memang situasi ini. Namun dari semua fakta itu, terkesan bahwa pemerintah mau gampangnya saja untuk menutup anggaran. Kemauan politik untuk menyejahterakan rakyat, citranya jadi luntur. Pemerintah jadi terkesan pemalas dan berfoya-foya dengan uang yang dibayar oleh pembayar pajak. Belum lagi kalau kita menghitung ketidaksungguhan pemerintah mereformasi sektor energi. Jangankan persoalan minyak untuk kemakmuran rakyat, yang kian jauh dari cita-cita itu. Soal perencanaan konversi tenaga pembangkit listrik juga, agaknya tidak terlalu menarik bagi pemerintah, dibanding persoalan politik dan kekuasaan. Padahal jika 60 pembangkit listrik kita yang berbahan bakar minyak, diganti separuhnya saja dengan mesin generator batubara atau gas, HPP (harga pokok produksi) listrik bisa mencapai Rp 800/KWh. Dibanding sekarang HPP listrik kita Rp 1.203/KWh. Jika sudah demikian, di mana engkau wahai pemerintah Republik Indonesia? Engkau tanggungkan kemalasanmu di atas bahu kesabaran dan pengertian rakyatmu. [Non-text portions of this message have been removed]