*IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
Jum'at, 16 Juli 2010
------------------------------------------
**
MEMPERINGATI HARI ULTAH JUSUF ISAK *

*<Bg 2, Selesai> **
*
Sahabatku Umar Said, Paris, rekan Jusuf Isak di Sekretariat Persatuan 
Wartawan Asia-Afrika <PWAA), Jakarta, telah menulis sebuah artikel 
berkenaan dengan Hari Ultan Jusuf Isak. "Website Umar Said", membuat 
ruangan khusus sekitar Hari Ultah Jusuf Isak. Dalam Website tsb 
disiarkan esay Wilson Obrigados.


* * *


Menarik sekali dan penting sekali kesimpulan yang ditulis Wilson 
mengenai JUSUF ISAK dan AJARAN-AJARAN BUNG KARNO.

Tulis Wilson: *"Joesoef juga menjadi membela Soekarnoisme yang gigih. 
Bahkan kesan saya, beliau lebih militan dan paham Soekarnoisme ketimbang 
banyak orang yang kerap mengaku-ngaku dan menyitir nama Soekarno untuk 
kepentingan pragmatis dan politik kekuasaan belaka. Ia memperlakukan 
Soekarno sebagai negarawan, baik dalam pikiran dan tindakan. Dalam 
berbagai kesempatan berbicara Joesoef mencela orang-orang yang mengaku 
Soekarnoisme tapi ANTI KOMUNISME. Bagi Joesoef seorang yang anti 
komunis, otomatis bukan Soekarnois." Mereka tidak tahu bahwa nasakom itu 
adalah pondasi politik Soekarno untuk mempersatukan dan membangun bangsa 
Indonesia." ucap Joesoef." *



Berikut ini adalah bagian penutup esay WILSON OBRIGADOS, memperingati 
Hari Ultah JUSUF ISAK. Bagian pertama esay Wilson telah disiarkan kemarin.

* * *
*
" Selamat Ulang Tahun, Selamat Tidur Panjang" : *

*<Joesoef Isak 15 Juli 1928-15 Juli 2010>*


Akhirnya, saya memberanikan diri menerima tugas membuat pengantar untuk 
buku Revolusi Agustus.

Beberapa hari kemudian saya ditelepon mba Panti, anak Soemarsono bahwa 
"bapak" ingin bertemu sambil makan siang bersama disebuah restoran di 
Pondok Indah Mall.
Dengan gugup dan kagum saya untuk pertamakalinya secara fisik bertemu 
dengan Soemarsono, salah seorang tokoh dalam peristiwa Madiun 1948. 
Pertemuan itu berdampak positif, saya mulai memahami cerita di balik 
naskah tersebut. Setelah buku ini terbit, saya dan keluarga Soemarsono 
tetap menjalin komunikasi. Bahkan kami sempat napak tilas sejarah 
Soemarsono dijaman revolusi di Surabaya dan Madiun. Sekarang saya punya 
obsesi untuk membuat dokumenter tentang Soemarsono untuk peristiwa 10 
November 1945 di Surabaya dan Peristiwa Madiun 1948.

Akhirnya, selama bulan puasa saya mengumpulkan seluruh buku yang berkait 
dengan Peristiwa Madiun. Bahkan waktu mudik lebaran di Pekalongan saya 
habiskan untuk membaca naskah Soemarsono dan beberapa buku lainnya. 
Setelah lebaran dan pulang mudik dari Pekalongan pengantar itu-pun kelar 
dan langsung saya antar kepada Joesoef Isak di Duren Tiga. Joesoef akan 
membaca dan mengirimnya kepada Soemarsono.

Beberapa hari kemudian Joesoef menelpon saya bahwa mereka berdua tak ada 
soal dengan pengantar tersebut. Jadi naskah sudah bisa dicetak. Setelah 
naik cetak buku dilaunching dan disiskusikan di dua tempat yaitu di 
Gedung Joang 45 di Cikini dan di Teater Utan Kayu. Dalam kedua acara 
tersebut saya hadir sebagai pembicara. Sementara di Utan Kayu saya, 
Soemarsono dan Romo Baskoro dari Sanata Darma sebagai narasumber.

Bulan Agustus 2009, keluarga Soemarsono diundang Pemimpin Redaksi Grup 
Jawa Pos, Dahlan Iskan untuk napak tilas sejarah Soemarsono di jaman 
Revolusi. Saya ikut dalam rombongan keluarga sekaligus membuat 
dokumenter. Selama napak tilas memang tak ada persoalan. Namun persolan 
muncul ketika kami sudah kembali ke Jakarta. Sebuah kelompok yang 
menamakan dirinya Front Anti Komunis melakukan demo membakar buku itu 
dan menolak Soemarsono di kantor Jawa Pos.

Aksi pembakaran itu ternyata mengkonsolidasikan dukungan untuk menolak 
aksi tak beradab membakar buku. Bonie Triyana, Goenawan Muhamad, Andreas 
harsono dan saya lalu menggalang petisi publik dan jumpa pers menolak 
pembakaran buku. Ribuan orang dalam waktu beberapa hari mendukung petisi 
tersebut.

Kerjasama saya dan Joesoef juga berlangsung ketika saya menerbitkan 
memoar penjara saya "Dunia Di Balik Jeruji; Catatan Perlawanan" pada 
tahun 2005. Saya meminta Joesoef Isak memberi pengantar pada buku 
tersebut. Joesoef lalu memberi pengantar pada buku itu bersama Xanana 
Gusmao, yang kini menjadi Perdana Mentri Republik Demokratik Timor Leste.
Hubungan saya dan Joesoef sebetulnya lebih cocok sebagai 'guru' dan 
'murid' atau sebagai seorang 'junior' yang awam dengan 'senior' yang 
sarat pengalaman. Meskipun mungkin Joesoef, karena sikap egaliternya 
tidak memandang dalam relasi seperti itu.

Kemudian kami jadi sering bertemu karena saya sering berkunjung 
kerumahnya, baik datang sendiri, maupun dengan teman seperti Bonie Triyana.
Kunjungan yang paling membuat gundah adalah ketika ia sakit dan harus 
dirawat dirumah sakit pada awal tahun 2009. Usai dirawat inap, Joesoef 
berobat jalan dirumahnya. Saya mengunjungi Joesoef Isak bersama Nor 
Hiqmah istri saya, Irina 'Nyoto dan Faizah istri Max Lane penerjemah 
tetralogi Pramoedya edisi Inggris.

Pertemuan tersebut membuat saya sangat sedih. Ini untuk pertama kali 
saya bertemu dengan Joesoef bukan diruang kerjanya, ruang tamu atau 
ruang tengah keluarga. Juga tanpa kepulan rokok jarum filter dari 
mulutnya. Joesoef Kami temui dikamarnya dengan alat bantu pernafasan dan 
gas oksigen yang siap siaga disamping tempat tidurnya. Dia mencoba 
bicara dengan tetap bersemangat, tapi penyakit membuatnya 
tersengal-sengal dan harus bersuara lirih.

Tidak seperti biasanya, Joesoef membuka obrolan dengan menceritakan 
sejarah penyakitnya dan beberapa kejadian dimana ia sempat pingsan 
karena sesak nafas dan terkena serangan jantung. Gaya berceritanya 
seakan hendak mengatakan kepada kami. " Jangan kuatir ! Penyakit sudah 
sering datang, tapi saya tak pernah kalah, saya masih hidup dan berkarya 
sampai sekarang."

Hari terakhir bertemu dengan beliau, ia masih tampak mencoba 
bersemangat. Seolah penyakit tak hinggap dibadannya. Joesoef sempat 
mengajak saya untuk ikut diskusi di majalah Tempo tentang tokoh PKI 
Nyoto. Kebetulan Tempo akan membuat edisi khusus tentang Nyoto. Dengan 
telpon genggam, Joesoef berkali-kali meminta pada pihak Tempo agar 
diskusi diadakan dilantai bawah. Dia menolak untuk diskusi kalau harus 
naik lantai segala. "Saya sudah ngak kuat naik-naik tangga."

Saya sebetulnya tertarik untuk hadir, namun terpaksa tak bergabung 
dengan diskusi Nyoto di majalah Tempo, karena ada rapat di sekretariat 
JAVIN di Manggarai.
Sebelum pulang bu Asni muncul. "Besok ketemu Sitor Situmorang sekalian 
makan siang. Sitor ada pantangan makan tidak? Tanyanya pada saya.

Kebetulan pada tanggal 16 Agustus saya berencana akan membawa Sitor 
Situmorang ke rumah Joesoef Isak sebagai bagian dokumener tentang Sitor 
Situmorang untuk memperingati hari ulangtahunya. Pertemuan itu memang 
akhirnya terjadi. Tapi Joesoef tak bisa lagi diajak diskusi. Beliau 
sudah wafat ketika Sitor Situmorang datang kerumahnya diantar oleh 
Dolorosa Sinaga, pematung yang menjadi sehabatnya.

Sekitar jam 2 subuh, 16 agustus saya menerima sms yang mengabarkan 
tentang wafatnya Joesoef Isak dari Bonie Triyana. Joesoef wafat sekitar 
jam 11 malam, 15 Agustus 2009. Hape saya yang kehabisan baterai baru 
saya buka sekitar jam 05.00 WIB usai azan subuh.

Saya gemetar dan terhening beberapa saat. Kekuatiran saya bahwa Joesoef 
Isak akan pergi menuju perjalanan abadi akhirnya terjadi juga.

Sekitar jam tujuh pagi saya sudah datang di duren tiga, rumah duka 
keluarga Joesoef Isak.
Saya digandeng Desantara menuju Joesoef Isak yang berbaring ditengah 
ruangan. Ibu Asni saya peluk dan membimbing saya mendekati jenazah 
Joesoef. Saya menangis. Ketika berdiri, ibu Asni berbisik.

"Bapak wafat ketika sedang tidur...coba lihat dia seperti sedang tidur..."
* * *
Sejak pertemuan pertama pada awal tahun 1990-an, saya sudah mempunyai 
kesan yang dalam atas orang ini. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya 
kami lebih sering berdiskusi. Joesoef bukan tipe pendominasi. Ia mau 
mendengar beragam informasi tentang gerakan dan pendapat anak muda 
tentang isu yang sedang berkembang.

Bila Joesoef mempunyai analisa tertentu ia akan mengatakan diakhir 
penjelasan. "Silakan bung boleh terima atau tidak. Bung boleh punya 
pendapat sendiri. Tapi inilah pendapat saya."
Biasanya lebih sering saya setuju dengan pendapatnya. Berdiri dalam 
pendapat yang berseberangan boleh dikatakan hampir tak pernah. Bagi saya 
Joesoef adalah seorang 'guru politik' terbaik yang pernah saya kenal. 
Pengetahuan dan jaringannya sangat luas.

Hal paling kuat dari Joesoef ketika memberikan analisa adalah pendekatan 
historis nya dalam memahami dan menganalisa peristiwa politik. Metode 
historis ini sangat memberi pengaruh dan menjadi acuan dalam 
tulisan-tulisan saya. Joesoef sering mengutip ucapan terkenal Bung Karno 
untuk metode itu "Jasmerah" akronim dari "jangan sekali-kali melupakan 
sejarah."

Joesoef juga saya kagumi karena dapat diterima luas dikalangan jaringan 
dan lingkaran politik yang beragam. Sahabat dan tamu-tamunya di Duren 
Tiga datang dari lintas generasi, lintas ideologi, lintas kebangsaan dan 
lintas politik. Joesoef bisa dekat dengan Soebadio dan Goenawan Muhamad, 
dua orang intelektuil dari lingkaran PSI yang berpengaruh.. Dulu ia 
pernah dikira sebagai aktivis PSI oleh kawan-kawan PKI-nya.

"Bung kira gampang apa masuk PKI. Bung kira PKI itu toserba. Kibas dulu 
itu bung punya kelakuan borjuis kecil," demikian ujar Joesoef mengenang 
sikap kawan-kawan PKI nya diawal tahun 1960-an.

Memang gaya Joesoef saat itu dianggap mirip dengan gaya aktivis PSI. 
Kalau bicara diselingi dengan ceplas ceplos bahasa Belanda, berdandan 
necis dan gemar musik klasik. Untuk musik klasik, justru Joesoef cocok 
dengan Nyoto. Pimpinan PKI yang mulai tersingkir menjelang peristiwa 30 
september 1965. Namun sebaliknya, Joesoef juga menganggap orang PSI 
punya potensi untuk masuk PKI. Misalnya Goenawan Muhamad. Dalam sebuah 
percakapan dikatakan tentang Goenawan

"Bila bung kenal dengan Nyoto pada saat itu. Saya yakin bung akan masuk 
LEKRA. Bukan saya yang akan dipenjara tapi bung yang seharusnya dikirim 
ke Pulau Buru," ujar Joesoef, entah serius atau mau meledek Goenawan.

Hal lain yang PALING SAYA TELADANI adalah sikapnya yang 'low profile' 
dan sangat rendah hati. Ia tak mau menonjol dan menampak diri sebagai 
'aku' yang dominan. Ia mengatakan tentang dirinya. " Saya ini hanyalah 
non-person."

Bila sosok Pramoedya begitu kuat dengan ke 'aku-an' dan bahkan 
menyatakan bahwa ideologinya adalah "Pramisme", maka Joesoef berdiri 
dalam posisi sebaliknya. Ia menganggap pengabdian, dedikasi dan apa yang 
ia kerjakan selama ini untuk Hasta Mitra dan kebudayaan adalah semacam 
'pelayanan' dan 'sumbangan tanpa pamrih' untuk peradaban yang tak perlu 
disebut-sebut, apalagi dihargai secara materi. Perpaduan kedua watak ini 
menjadi kekuatan dalam Hasta Mitra.

Bagi saya, Joesoef seperti sudah mencapai tahap marifat eksistensi. 
Dimana 'aku' sebagai diri sudah melenyap. Seperti yang ia ucapkan 
setelah keluar dari penjara Salemba.

" kawan
walau lambat terekam dalam hidupku
renungan menahun di sel salemba
nalar mulai mengembara sedalam-dalam pedalaman
politik, ideologi, cinta gairah menjadi serba usang
seketika cerah merekah gemerlapan."

Sikap rendah hati ia tunjukan secara total dalam Hasta Mitra. "Bila 
Pramoedya mendapatkan penghargaan, maka saya merasa itu juga penghargaan 
buat Hasta Mitra dan saya pribadi." Joeosoef memang patut bangga sebab 
memang ada kerja keras Joeosoef Isak sebagai editor atas naskah-naskah 
Pramoedya dari Pulau Buru dan naskah lainnya yang kemudian diterbitkan 
oleh Hasta Mitra. Bahkan ketika mendapat jari Laber International 
Freedom to Publish Award di New York, 2004, ia menerimanya sebagai Hasta 
Mitra, mewakili ketiga pendirinya dan 'staf-staf' yang membantu Hasta 
Mitra seperti Bowo, Kasto dan Sugeng. Bukan untuk dirinya pribadi.

Ketika saya, Bonie Triyana dan Irina 'Nyoto' menyiapkan acara peringatan 
ulang tahun ke 80 Joeosoef Isak, 13 Juli 2008 pada awalnya Joesoef 
menolak. Joesoef merasa dirinya tidak pantas dibuatkan acara dan merasa 
malu dengan konsep acara yang kami rencanakan.

Bonie Triyana akhirnya meyakinkan Joeosoef Isak. "Acara ini adalah 
persembahan dari generasi muda dan sahabat pak Joesoef untuk memberi 
apresiasi atas apa yang bung lakukan selama ini. Kami yang akan 
menyiapkan semuanya. Pak Joesoef dan keluarga tinggal datang saja." 
Penjelasan Bonie akhirnya diterima. Acarapun kami persiapkan.

Diantara berbagai sikapnya yang juga menurut saya langka adalah filosofi 
untuk menganggap hal-hal material-ekonomis, BUKAN sebagai ukuran dan 
motif utama dalam sebuah pencapaian. Filosofis ini yang saya anggap 
sangat kental dalam memperlakukan Hasta Mitra. Pencapaian tertinggi 
Hasta Mitra bagi Joeosoef bukanlah karena rekor tiras dan penjualannya, 
tapi karena terbitan-terbitanya memberi inspirasi bagi perjuangan 
demokrasi, kemanusiaan dan mencerdaskan bangsa.

Karena itu adalah SANGAT KELIRU bila ada pihak-pihak yang memberi ukuran 
'material-ekonomis' dalam memandang Hasta Mitra dan relasi diantara 
ketiga pendirinya. Pemberian nama Hasta Mitra juga mempunyai makna untuk 
membedakan diri dengan 'penerbitan profit' yang berorientasi pasar 
semata. Saya kuatir analisa yang memandang Hasta Mitra sebagai suatu 
unit ekonomis, sebetulnya telah membunuh esensi dari pendirian Hasta 
Mitra yang digagas oleh tiga orang sahabat pendirinya. Pemahaman ini 
yang tampaknya gagal di tangkap, sehingga 'beberapa' orang tak paham 
dengan sikap 'diam' Joesoef Isak mengenai 'nasib' Hasta Mitra belakangan 
ini.

Joesoef juga dikenal sebagai orang yang sulit mengatakan "tidak" kepada 
orang lain yang minta bantuan.Setiap kali buku Hasta Mitra terbit, buku 
yang bertumpuk dirumah dengan gampang ia bagikan kepada kawan-kawannya 
yang datang, baik sesama mantan tapol atau aktivis dan tamu-tamu yang 
datang kerumahnya berkunjung. Semuanya diberikan secara cuma-cuma.

"Bahkan terkadang Ayah tidak punya copy aslinya. Semuanya ia bagikan 
kepada orang-orang," ujar Desantara sambil mengambil contoh kasus buku 
"Liber Amicorum; 80 Tahun Joeosoef Isak".

Saat itu ada sekitar 300 buku yang ditaruh dirumahnya. Dalam waktu 
seminggu tumpukan buku itu lenyap. Bahkan Joeosoef pun tak sempat 
menyimpan satu copy-pun untuk dirinya. Kasus yang sama terjadi dengan 
buku-buku Hasta Mitra lainnya yang ditumpuk di Duren Tiga Kalibata.

" Buat saya yang penting buku itu cepat dibaca orang dan isinya berguna. 
Jadi makin cepat terdistribusi makin baik, "ujar Joesoef Isak. Bagi 
Joesoef peran dari sebuah buku dan penerbitan adalah 'mencerdaskan dan 
memberi penyadaran'. Karena itu wajar bila ia tak pernah meletakan buku 
terbitan Hasta Mitra sebagai 'barang dagangan'. Ini mungkin kelemahan 
sekaligus kekuatan dari orang 'padang' yang tak pintar berhitung 
ekonomis ini. Karena itu setelah Hasjim Wafat di tahun 1999, Hasta Mitra 
tak lagi mengurus soal-soal distribusi dan penjualan. Joeoseof tak 
sanggup dan menganggap itu sebagai hal yang kurang penting. "Itu urusan 
Hasjim lah", kilahnya.

" Saya ini paling tak bisa ngurus uang. Berapapun yang masuk pastilah 
menguap. Karena itu untuk urusan duit saya serahkan sepenuhnya pada 
Hasjim Rachman."

Karena sikapnya yang tak ekonomis ini, Joesoef kadang sering disalah 
pahami olah orang lain. Karena itu wajar bila ada distributor yang 
berkesan memanfaatkan kelemahan ini secara tak beretika. Tindakan itu 
menurut saya telah mencederai nama baiknya. Namun Ia seperti membiarkan 
itu semua, tak mau meresponya. "Peran Hasta Mitra menjadi kerdil bila 
soal-soal tetek bengek seperti itu juga diurus. " ujar nya.

Saya dapat memahami sikapnya. Namun tak dapat menyembunyikan kekecewaan 
dan kadang rasa jengkel kepada pihak-pihak yang kurang memahami 
persoalan ini dari cara pandang seorang Joesoef Isak.

Dan hal terakhir hal yang juga membuat saya tak habis kagum adalah 
KETEGUHAN nya pada ideologi tanpa harus bersikap dogmatis dan kaku. Ia 
mampu menggunakan berbagai pendekatan dan bahkan 'retorika' dan 'teori' 
untuk membela sosialisme. Kemampuan ini tentu saja berbasis pada 
kapasitas intelektual Joesoef dan pengalamanya dalam melihat politik 
sebagai sebuah 'seni' yang memberi ruang-ruang untuk kreatifitas. 
Joesoef dapat berada dalam ruang 'ideologi lain' namun justru untuk 
mencerahkan ideologi lawan atau paling tidak membuat respek dan menaruh 
hormat pada ideologi yang di bawa Joesoef. Secara simbolis ia menunjukan 
kepada berbagai piagam yang ia terima dan dipajang di ruang tamu.

" Ini semua piagam penghargaan mayoritas diberikan oleh negeri-negeri 
Barat yang berideologi Liberal. Mereka tahu bahwa diatas kepala saya ini 
telah dicap Komunis oleh penguasa orde baru !"

Joesoef juga menjadi membela Soekarnoisme yang gigih. Bahkan kesan saya, 
beliau lebih militan dan paham Soekarnoisme ketimbang banyak orang yang 
kerap mengaku-ngaku dan menyitir nama Soekarno untuk kepentingan 
pragmatis dan politik kekuasaan belaka. Ia memperlakukan Soekarno 
sebagai negarawan, baik dalam pikiran dan tindakan. Dalam berbagai 
kesempatan berbicara Joesoef mencela orang-orang yang mengaku 
Soekarnoisme tapi ANTI KOMUNISME. Bagi Joesoef seorang yang anti 
komunis, otomatis bukan Soekarnois." Mereka tidak tahu bahwa nasakom itu 
adalah pondasi politik Soekarno untuk mempersatukan dan membangun bangsa 
Indonesia." ucap Joesoef.

Dalam pengantar buku Bob Herring terbitan Hasta Mitra tahun 2005 " 
Soekarno Bapak Indonesia Merdeka; Sebuah Biografi 1901-1945," dikatakan 
oleh Joesoef bahwa banyak karya tentang Soekarno tidak menggambarkan 
siapa itu Soekarno secara utuh.

"Obyeknya memang Soekarno, tetapi pertama-tama stempel selera dan 
warna-politik penulis sendirilah yang dapat kita detect, dapat langsung 
kita lihat belang penulisnya, "tulis Joesoef.

* * *
Pada 15 Juli 2010 ini, Joesoef akan berulangtahun yang ke 82. Tapi ulang 
tahun kali ini pasti tidaklah sama lagi. Joesoef telah wafat pada 
tanggal 15 Agustus 2009 dengan tenang dirumahnya. Bulan depan juga akan 
genap satu tahun kepergianya.

Satu tahun kepergiannya seperti menjadi titik akhir perjalanan Hasta 
Mitra. Keberlanjutan penerbitan ini sepertinya akan sulit 
direalisasikan. Meskipun banyak pihak yang akan menyayangkan, namun kita 
sepertinya 'terpaksa' menerima kenyataan bahwa Hasta Mitra telah menjadi 
tonggak historis bagi ketiga pendirinya, juga dalam mencerdaskan bangsa 
ini. Jadi, biarlah ia akan terus dikenang demikian.

Joesoef Isak dan semua gagasannya akan terus hidup. Sekarang beliau 
sedang menjalani istirahat yang panjang, seperti ucapan bu Asni di hari 
wafatnya. "Dia seperti sedang tidur..."

Wilson
Citayem, 15 Juli 2010



* * *







[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to