http://salihara.org/event/2010/07/06/negara-islam

Musyawarah Buku
Rabu, 28 Juli 2010 19:00 WIB
Diskusi Buku "Negara Islam" karya Musdah Mulia
Serambi Salihara

Pengulas: Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe (Ketua Umum PGI), Imdadun Rakhmat (PBNU) 
dan Dr. Musdah Mulia (Pengarang)
Moderator: M. Hasibullah Satrawi (Alumnus Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir)

Terbuka untuk umum & GRATIS


Komentar untuk buku ini:

Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution: 

Saya angkat topi pada Musdah Mulia yang dengan kejelian intelektual dan 
komitmennya senantiasa berjuang untuk kesetaraan, keadilan, dan hak asasi 
manusia. Ia dengan gigih menolak pembajakan interpretasi ajaran Islam dalam 
makna sempit. Dengan mengangkat pemikiran Muhammad Husain Haikal, seorang 
doktor ilmu hukum yang progresif dan pemikir politik Islam dari Mesir, Musdah 
menyampaikan pesan bahwa seorang yang bertauhid justru harus terus berikhtiar 
bagi persaudaraan, persamaan, dan kebebasan.

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ:

Sejak 65 tahun debat tentang negara Islam tetap berlangsung di Indonesia. 
Karena itu sudah waktunya disertasi Musdah Mulia yang membahas pemikiran M. H. 
Haikal tentang negara Islam dibuka bagi publik lebih luas. Haikal termasuk 
pemikir Muslim abad ke-20 paling tajam dan menantang. Pemikirannya tentang 
Islam dan demokrasi perlu diperhatikan oleh siapa saja yang mau bicara secara 
bertanggung jawab tentang kenegaraan Islami.

Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis:

Buku Negara Islam karya Musdah Mulia ini seperti sebuah novel—mengalir dan 
lugas sehingga mudah ditelaah dan dipahami orang awam. Buku ini sarat pemahaman 
bagaimana seharusnya suatu negara diselenggarakan dengan berpedoman pada 
prinsip dasar kenegaraan yang merupakan seperangkat norma dan etika yang 
mengacu pada prinsip tauhid, sunatullah, dan kesetaraan relasi sosial 
antarmanusia; dengan mengakui adanya pluralisme dalam suatu negara dan 
kehidupan yang egaliter, meniadakan kebedaan status, ras, kesukuan dan jenis 
kelamin.
Tuntutan perubahan zaman, perkembangan sains dan teknologi, bukanlah sesuatu 
yang harus ditakuti atau dihindari, tapi perlu disiasati dengan semangat 
persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan. Buku ini patut dan perlu dibaca tidak 
hanya oleh negarawan, tapi juga oleh kalangan akademisi dan masyarakat yang 
belum sempat mendalami pemahaman negara dalam konteks Islam.

Prof. Dr. Bahtiar Effendy:

Salah satu persoalan yang hingga kini belum selesai bagi sebagian komunitas 
Muslim adalah hubungan antara Islam dan negara. Sudah banyak pandangan diajukan 
mengenai hal ini, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim: pola hubungan 
tradisionalis, sekularis, dan reformis. Buku Musdah Mulia, dengan membahas 
pemikiran Muhammad Husain Haikal, memperkaya pengetahuan kita tentang persoalan 
tersebut.

Luthfi Assyaukanie, PhD.:

Sepanjang sejarah, pemahaman tentang nagara Islam tidak pernah seragam karena 
rujukan untuk konsep ini tidak pernah satu. Konsep negara-bangsa adalah sebuah 
kreasi baru orang-orang modern, padahal Islam lahir jauh sebelum konsep ini 
dikenal. Akibatnya, rujukan terhadap konsep Negara Islam berpindah-pindah dan 
tumpang-tindih antara dua peradaban: Islam dan Barat. Buku Prof. Dr. Musdah 
Mulia ini memberi uraian gamblang tentang konsep negara Islam dan perdebatan di 
seputar gagasan kontroversial ini. Dengan merujuk Muhammad Husain Haikal, 
seorang pembaru Muslim dan penulis produktif asal Mesir, Musdah menyimpulkan 
bahwa negara Islam adalah sintesa kreatif antara bentuk negara sekular dan 
negara teokrasi.

Prof. Dr. Toeti Heraty:

Inilah yang perlu kita pahami dari ulasan Musdah Mulia: politik Islam 
kontemporer sebenarnya menyajikan tiga alternatif hubungan negara dan agama. 
Yang telah ditolak NKRI (Piagam Jakarta) adalah pola tradisionalis, yang 
dikhawatirkan adalah pola sekularis, dan jalan keluar adalah pola reformis. 
Memang pemahaman ini memberi kelegaan, sesuai gagasan Haikal, budayawan Mesir. 
Islam tidak semata-mata tentang manusia dan Tuhan, bukan pula agama paripurna 
yang rinci mengurus kenegaraan, tapi kembali pada tiga prinsip dasar 
persaudaraan, persamaan, dan kebebasan yang memadai sebagai landasan pengaturan 
hidup kenegaraan.



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke