Sumber: 
http://www.surya.co.id/2010/08/04/pelarian-politik-65-ingin-ke-indonesia.html

Pelarian Politik 65 Ingin ke Indonesia

Bandung -SURYA - Orang-orang pelarian poltik (eksil)
 tragedi 1965 di luar negeri, masih berharap bisa menjadi warga negara 
Indonesia dan meninggal dunia di Indonesia.
Ini menjadi tugas pemerintahan sekarang untuk memberikan perhatian 
khusus, kata Dosen Universitas Indonesia yang juga staf khusus mantan 
Presiden Indonesia Megawati, Ari Junaedi, di Bandung, pekan ini.

Ia melakukan penelitian mendalam tentang para eksil di sejumlah 
negara Eropa. Hasil penelitiannya akan disidang dalam promosi doktornya 
di Universitas Padjadjaran, Bandung pada Selasa (3/8). Penelitian Ari 
berjudul `Transformasi Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian 
Politik di Mancanegara 


Menurut Ari, latar belakang para eksil 65 masih ingin menjadi 
warganegara Indonesia karena para eksil ini kewarganegaraanya dicabut 
saat itu, bukan mereka mencabut.
“Ketika peristiwa 1965 meletus, rezim Orde Baru memperlakukan 
sebagian para pelajar yang ada di luar negeri sebagai simpatisan PKI,” 
katanya.

“Rezim Orde Baru pernah mengultimatum warganegara Indonesia yang ada 
di luar negeri untuk lapor dan menyatakan kesetiaannya pada rezim 
Soeharto. Jelas mereka yang tidak tahu menahu, yang loyalis Bung Karno 
atau simpatisan PKI, menolak ultimatum tersebut. Akibatnya, mereka 
dicabut paspornya dan menjadi stateless,” ungkap Ari yang kerap 
bolak-balik ke berbagai negara untuk menemui para eksil ini.

Para eksil, kata Ari, walau sudah menjadi orang Rusia, beristrikan 
wanita Ceko atau beranak cucu campuran, namun jiwa raganya masih 
Indonesia.

Mereka ingin, jika meninggal kelak bisa dikubur di tanah air. Maka 
kasus eksil harus menjadi perhatian pemerintahan untuk menuntaskan 
status politik dengan demi rekonsiliasi, dan kemanusiaan, dengan cara 
memberi kemudahan pengurusan kewarganegaraan baru.

Dikatakan Ari, Komnas HAM sendiri bertekad akan menuntaskan persoalan
 tragedi 1965 dengan harapan terjadi rekonsiliasi di kemudian hari agar 
rasa dendam yang dipupuk sekian lama bisa teratasi.

Masih banyak eksil 65, baik pelaku langsung atau anak cicitnya yang 
tinggal di berbagai negara dan kini berstatus warga negara asing. Tidak 
ada angka yang pasti berapa jumlah eksil tragedi 1965 yang masih hidup 
hingga kini.

Namun diperkirakan jumlahnya sekitar 1500 orang baik dari generasi 
pertama hingga ketiga akibat terjadinya proses perkawinan campuran.

Peta distribusi eksil tragedi 1965 pun menyebar, terbentang dari 
Rusia hingga negara-negara pecahannya, Bulgaria, Hongaria, Ceko, 
Slowakia, Rumania, Jerman, Belanda, Perancis, Swedia, Venezuela, 
Australia, Polandia, Kanada, Cina, Kuba, Korea Utara, Myanmar hingga 
Vietnam.

Selain terputusnya kontak dengan sanak saudara di tanah air, usia 
sepuh para eksil tragedi 65 generasi pertama yang memasuki usia 68 
hingga 78 tahun.

Banyak eksil yang sukses di Eropa, seperti Saudara Manuaba di 
Hongaria, kemudian pengembang ilmu pedagogik (anak terbelakang mental) 
di Swedia, DR Sophian Waluyo. Masih ada lagi pakar koperasi di Rusia, 
guru besar ekonomi di Venezuela, pakar pertelevisian di Jerman. Namun 
ada juga eksil 65 yang hidup terlunta-lunta di Kuba. 

antnews

http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke