Nikmati Kabut dan Bersihkan Paru-Paru di Manglayang
[image: mahlayang] Gunung Manglayang, Sumedang/antoix.wordpress.com Jakarta termasuk dalam lima besar kota di dunia dengan tingkat polusi udara terparah bersama Beijing, New Delhi, dan Mexico City. Fakta itu tidak mengejutkan, mengingat setiap harinya, Jakarta diasapi buangan knalpot kendaraan lebih dari 2,5 juta unit. Itu belum termasuk kontribusi polusi dari dunia industri. Dengan kondisi seperti itu, orang yang tinggal di Jakarta harus siap menghadapi ancaman gangguan pernafasan akut hingga perubahan fisiologis fungsi paru dan tekanan darah. Namun, beragam cara dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak berbahaya tersebut, misalnya wisata ke daerah berudara segar. Tidak perlu beranjak terlampau jauh dari jangkauan ibu kota, sebab Bandung, Jawa Barat, pun menawarkan obat relaksasi bagi paru-paru yang paling mujarab. Cobalah untuk menikmati kabut di Bumi Kahyangan. Menyaksikan terbitnya matahari dari sela-sela gunung Manglayang dan gunung Geulis, menikmati hadirnya bulan dari rerimbunan hutan, dan menghirup udara dingin yang menyegarkan. Setidaknya enam km dari pusat kota Jatinangor, tidak lebih dari tiga jam dari kota Jakarta, nun di kawasan kompleks Istana Mekarwangi, Bandung, seseorang dapat menyaksikan naturalnya bumi pasundan. Tinggalah sejenak di puncak salah satu lembah Gunung Manglayang, Sumedang, Jawa Barat, berketinggian 700-1.100 m dpl. Ceruk untuk memanjakan paru-paru siap menanti. Trekking Sumedang, Jawa Barat, tak pernah kehilangan pesonanya untuk menghipnotis wisatawan. Hutan Manglayang yang bernaung di kawasan itu menjadi daya tarik yang tak pernah habis direguk. Bupati Sumedang Don Murdono berulang kali menegaskan bahwa daerahnya telah siap menjadi tujuan wisata pilihan setelah Bandung. “Sumedang sudah sangat layak dikunjungi wisatawan dan kami siap menjadi daerah tujuan wisata di Jawa Barat,” katanya. Kawasan Desa Wisata Sukasari, Kecamatan Sindangsari, Sumedang, menjadi salah satu yang paling ditawarkan. Topografi yang bergelombang justru menjadi daya tawar tertinggi yang menjadikan kawasan itu paling sesuai digunakan untuk jalur “trekking”, wisata pemicu adrenalin. Setidaknya dibutuhkan waktu selama tiga jam dengan mobil “adventure” untuk mengelilingi jalur “trekking” di kecamatan Sukasari. Jalan yang terjal menjadikan hanya mobil sejenis “Land Rover” saja yang mampu melintasi jalur tersebut. “Kalau menyukai tantangan, kami bisa tawarkan kepada wisatawan untuk melintasi jalanan yang terjal bahkan hampir tegak lurus,” kata Bowo, pengemudi “Land Rover” di Desa Wisata Sindangsari. Namun, bagi pemula cukup perjalanan 10 menit saja menuju penginapan menggunakan kendaraan itu dengan medan yang terbilang ringan. Setelah kaki menginjak Jatinangor, pengunjung yang ingin menghabiskan waktu di bumi kahyangan Sindangsari, Sukasari, akan di-”evakuasi” menggunakan “Land Rover” menempuh perjalanan sekitar 6 km. Bagi mereka yang biasa berkendara di kota dengan jalan yang lurus dan mulus, pasti kaget ketika menikmati dahsyatnya jalur Sukasari. Jalur itu lebih menantang ketika dilewati pada malam hari. Jalanan bergelombang layaknya sungai kering menantang di depan. Ditambah lagi tingkah pengemudi yang kadang nekat menjalankan “Land Rover” tanpa berlampu. “Jalanan seperti ini belum seberapa,” kata Bowo. Kabut tebal Tuhan laksana telah menyabda masyarakat bumi Pasundan terlahir dengan keramahan. Menghirup udara di himpitan dua gunung Manglayang-Geulis, sama artinya menghirup keramahan masyarakat berdarah Sunda. Meski berada nun di atas ketinggian lebih dari 1.000 m dpl, masyarakat kawasan Desa Wisata Sindangsari telah mengerti betul bagaimana menyambut pendatang. Kesenian tradisional tarawangsa diperdengarkan dengan irama yang romantis. Musik adat itu bermetamorfosis dari kesenian pujian bagi Dewi Sri saat panen menjadi alunan selamat datang bagi wisatawan. Sebagai alat musik gesek menyerupai kecapi, tarawangsa mampu menghadirkan lagu-lagu yang hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dua perangkat calung rantay dan suling yang dimainkan dalam laras pelog menjadi pelengkap ditambah dengan nyanyian yang tak pernah bisa didengar di pelosok manapun selain dari tempatnya berasal. Menari dalam kesenian tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering kesurupan. Tarawangsa hanya salah satu dari sejuta lebih cerita di bumi kahyangan. Masyarakat kawasan itu kaya dengan istiadat yang tak pernah habis dipertontonkan. Dalam kabut yang terasa sulit disibakkan, masyarakat mempersembahkan domba garut hasil ternakkannya untuk diadu di hadapan pendatang. “Domba tangkas merupakan domba garut kualitas unggul yang memenuhi kriteria untuk mengikuti kontes dan seni ketangkasan domba garut,” kata Asep, salah satu anggota Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) di wilayah itu. Ia mengatakan, kontes dan seni ketangkasan domba garut telah sejak lama menjadi budaya masyarakat Sunda, bahkan sekarang ini sudah dikenal luas secara nasional. HPDKI juga mengembangkan format kontes dan seni ketangkasan domba garut menjadi kegiatan yang positif dan menarik. Bahkan kegiatan itu dapat menjadi lokomotif pendorong budidaya peternakan nasional, dan menariknya kegiatan ini dapat menjadi salah satu pilihan investasi yang memberikan hasil yang berlipat ganda. Bayangkan, harga domba tangkas papan atas bernilai puluhan juta rupiah. Dua domba diadu-tangkaskan diiringi bunyian musik menjadi pengalaman tersendiri. Kahyangan telah menawarkan sisi lain kehidupan. Sambil menononton ketangkasan domba garut, paru-paru tanpa sadar tercuci dengan bersihnya udara ketika penonton berteriak memberikan dukungan. Ketika paru-paru telah segar dan puas menikmati kesegaran udara gunung, giliran oleh-oleh khas Kota Sumedang menanti untuk dibawa pulang, seperti tahu sumedang, apak cimanggung, ubi cilembu, sale pisang, sawo sukatali, dan salak bongkot.(*Hanni S/an/z) -- Aldo Desatura ® & © ================ Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi Keberanian menjadi cakrawala dan Perjuangan Adalah pelaksanaan kata kata [Non-text portions of this message have been removed]