Al Qur’an Sumber Solusi, Mengapa Tetap Diabaikan? 

[Al Islam 521] Tak terasa, hari-hari shaum yang kita jalani sudah memasuki 
pertengahan Ramadhan. Sebagai Muslim kita meyakini, di antara malam-malam 
Ramadhan itu akan hadir Lailatul Qadar yang ditunggu-tunggu, karena nilai 
keutamaannya yang setara dengan seribu bulan. Selain itu, pada malam Lailatul 
Qadar ini pula al-Quran pertama kali diturunkan oleh Allah SWT dari Lauhil 
Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di Langit Dunia. Allah SWT berfirman: 

إِنّا أَنزَلنٰهُ فى لَيلَةِ القَدرِ ﴿١﴾ وَما أَدرىٰكَ ما لَيلَةُ القَدرِ ﴿٢﴾ 
لَيلَةُ القَدرِ خَيرٌ مِن أَلفِ شَهرٍ ﴿٣﴾

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada Lailatul Qadar. Apakah Lailatul 
Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik nilainya dari seribu bulan (QS 
al-Qadar [97]: 1-3). 

Sebagian Muslim meyakini al-Quran pertama kali turun ke bumi tanggal 17 
Ramadhan. Untuk itu, pada 17 Ramadhan mereka biasa memperingati peristiwa 
turunnya al-Quran atau mengadakan Peringatan Nuzulul Quran. Karena itu, tentu 
penting untuk memaknai kembali peristiwa Nuzulul Quran yang setiap tahun 
diperingati oleh kaum Muslim, bahkan biasa diperingati oleh Kepala Negara dan 
jajaran para pejabatnya di negeri ini. 

Makna Nuzulul Quran 

Allah SWT berfirman: 

شَهرُ رَمَضانَ الَّذى أُنزِلَ فيهِ القُرءانُ هُدًى لِلنّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِنَ 
الهُدىٰ وَالفُرقانِ

Bulan Ramadhan, itulah bulan yang di dalamnya al-Quran diturunkan, sebagai 
petunjuk (bagi manusia), penjelasan atas petunjuk itu serta sebagai pembeda (QS 
al-Baqarah [2]: 185). 

Ayat di atas tegas menyatakan bahwa al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT 
berfungsi sebagai hud[an], bayyinat dan furq[an]. Maknanya, al-Quran adalah 
petunjuk bagi manusia; memberikan penjelasan tentang mana yang halal dan mana 
yang haram, juga tentang berbagai hudud dan hukum-hukum Allah SWT; serta 
pembeda mana yang haq dan mana yang batil (Lihat: al-Baidhawi/I/220; Ibn Abi 
Salam, I/154; an-Nasisaburi, I/48; As-Suyuthi, I/381). Lebih tegas dinyatakan 
oleh Abu Bakar al-Jazairi dalam Aysar at-Tafasir, saat menafsirkan potongan 
ayat di atas, bahwa al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia yang bisa 
mengantarkan mereka untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan hidup di dunia 
dan akhirat. Maknanya, al-Quran turun dalam rangka: (1) memberi manusia 
petunjuk; (2) menjelaskan kepada mereka jalan petunjuk itu; (3) menerangkan 
jalan kebahagiaan dan kesuksesan mereka; (4) memandu mereka agar bisa 
membedakan mana yang haq dan mana yang batil dalam seluruh urusan kehidupan 
mereka (Al-Jazairi, I/82). 

Al-Quran: Sumber Solusi 

Dengan memahami maksud ayat di atas, jelas harus dikatakan bahwa al-Quran 
sesungguhnya sumber solusi bagi setiap persoalan hidup yang dihadapi manusia. 
Hal ini juga ditegaskan dalam ayat berikut: 

وَنَزَّلنا عَلَيكَ الكِتٰبَ تِبيٰنًا لِكُلِّ شَيءٍ وَهُدًى وَرَحمَةً وَبُشرىٰ 
لِلمُسلِمينَ

Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelas segala 
sesuatu; juga sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang 
Muslim (QS an-Nahl [16]: 89). 

Menurut Al-Jazairi (II/84), frasa tibyan[an] li kulli syay[in] bermakna: 
menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat (Al-Jazairi, II/84). Ayat 
di atas juga menegaskan bahwa al-Quran merupakan petunjuk (hud[an]), rahmat 
(rahmat[an]) dan sumber kegembiraan (busyra) bagi umat. 

Sayang, meski Allah SWT secara tegas menyatakan al-Quran sebagai sumber solusi, 
kebanyakan kaum Muslim saat ini mengabaikan penegasan Allah SWT ini. Buktinya, 
hingga saat ini al-Quran tidak dijadikan rujukan oleh umat, khususnya para 
penguasa dan elit politiknya, untuk memecahkan berbagai persoalan hidup yang 
mereka hadapi. Padahal jelas, umat ini, khususnya di negeri ini, sudah lama 
dilanda berbagai krisis: krisis keyakinan (misal: munculnya banyak aliran 
sesat), krisis akhlak (munculnya banyak kasus pornografi/pornoaksi, 
perselingkuhan/perzinaan, dll), krisis ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dll) 
krisis politik (karut-marut Pemilukada, separatisme, dll), krisis sosial, 
krisis pendidikan, krisis hukum, dll. Semua ini tentu membutuhkan solusi yang 
pasti, tuntas dan segera. 

Memang, para penguasa dan elit politik negeri ini bukan tidak berusaha mencari 
solusi. Namun, solusi yang mereka gunakan alih-alih mampu mengatasi berbagai 
krisis tersebut, tetapi malah memperpanjang krisis dan menambah krisis baru. 
Ini karena solusi yang dipakai selalu merujuk pada ideologi sekular, yakni 
Kapitalisme. Untuk mengatasi krisis keyakinan, misalnya, mereka malah 
mengembangkan pluralisme. Untuk mengatasi krisis ekonomi, mereka mengembangkan 
ekonomi yang makin liberal antara lain dengan mengembangkan program privatisasi 
(penjualan aset-aset negara), terus menumpuk utang luar negeri yang berbunga 
tinggi, menyerahkan pengelolaan (baca: penguasaan) berbagai sumberdaya alam 
(SDA) kepada swasta/pihak asing, menyerahkan harga barang-barang milik rakyat 
(BBM, listrik, gas, bahkan air) kepada mekanisme pasar, dll. Akibatnya, 
kemiskinan dan pengangguran justru makin meningkat, dan krisis ekonomi makin 
parah. 

Untuk mengatasi krisis politik mereka terus mengembangkan demokrasi yang justru 
menjadi akar persoalan politik. Untuk mengatasi krisis pendidikan mereka malah 
terus melakukan sekularisasi dan ‘kapitalisasi’ pendidikan. Akibatnya, sudahlah 
mahal, pendidikan tidak menghasilkan generasi beriman dan bertakwa serta 
berkualitas. 

Lalu untuk mengatasi krisis hukum dan keadilan mereka malah memproduksi hukum 
buatan sendiri yang sarat dengan kepentingan para pembuatnya. Demikian 
seterusnya. Akibatnya, berbagai krisis tersebut bukan malah teratasi, tetapi 
malah makin menjadi-jadi. Semua itu jelas, karena mereka benar-benar telah 
mengabaikan al-Quran sama sekali. 

Dosa Mengabaikan al-Quran 

Selain menjadikan berbagai krisis tidak pernah teratasi, mengabaikan al-Quran 
sesungguhnya merupakan dosa besar bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman: 

وَقالَ الرَّسولُ يٰرَبِّ إِنَّ قَومِى اتَّخَذوا هٰذَا القُرءانَ مَهجورًا ﴿٣٠﴾

Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini 
sebagai sesuatu yang diabaikan.” (QS al-Furqan [25]: 30). 

Dalam ayat ini, Rasulullah saw. mengadukan perilaku kaumnya yang menjadikan 
al-Quran sebagai mahjûr[an], yakni melakukan hajr al-Qur’ân (mengabaikan 
al-Quran). 

Dulu ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir. Namun saat ini, tidak sedikit 
umat Islam yang bersikap abai terhadap al-Quran, sebagaimana kaum kafir dulu. 
Memang mereka tidak mengabaikan al-Quran secara mutlak. Namun, mereka sering 
memperlakukan ayat-ayatnya secara diskriminatif. Misal: mereka bisa menerima 
apa adanya hukum-hukum ibadah atau akhlak, tetapi menolak hukum-hukum al-Quran 
tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, atau hubungan internasional. 
Contoh, terhadap ayat-ayat al-Quran yang sama-sama menggunakan kata kutiba yang 
bermakna furidha (diwajibkan atau difardhukan), sikap yang muncul berbeda. Ayat 
kutiba ‘alaykum al-shiyâm (diwajibkan atas kalian berpuasa) dalam QS al-Baqarah 
[2]: 183 diterima dan dilaksanakan. Namun, terhadap ayat kutiba ‘alaykum 
al-qishâsh (diwajibkan atas kalian qishash; dalam QS al-Baqarah [2]: 178), atau 
kutiba ‘alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian berperang; dalam QS al-Baqarah 
[2]: 216), muncul sikap keberatan, penolakan bahkan penentangan dengan beragam 
dalih; apalagi ketika semua itu diserukan untuk diterapkan secara praktis. 
Sikap ini jelas terkategori ke dalam sikap mengabaikan al-Quran dan karenanya 
merupakan dosa besar. 

Pentingnya Membumikan al-Quran 

Dengan mencermati paparan di atas, umat ini sejatinya segera menyadari, bahwa 
satu-satunya cara untuk mengatasi seluruh persoalan hidup mereka saat ini tidak 
lain dengan kembali menjadikan al-Quran sebagai sumber solusi. Tentu aneh jika 
selama ini banyak yang mempertanyakan peran Islam dan kaum Muslim dalam 
menyelesaikan aneka krisis, namun pada saat ada tawaran untuk menjadikan 
syariah Islam-yang notabene bersumber dari al-Quran-sebagai solusi malah 
ditolak. Bahkan belum apa-apa mereka menuduh penerapan syariah Islam sebagai 
ancaman terhadap pluralisme, Pancasila, NKRI dll. Padahal jelas, solusi-solusi 
yang tidak bersumber dari syariah (al-Quran) itulah yang selama ini nyata-nyata 
telah “mengancam” negeri dan bangsa ini, yang berakibat pada makin panjangnya 
krisis dan membuat krisis makin bertambah parah. 

Jelas, di sinilah pentingnya umat ini segera membumikan al-Quran, dalam arti 
menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab,    al-Quran memang harus 
diterapkan. Di dalamnya terdapat hukum yang mengatur seluruh segi dan dimensi 
kehidupan (QS an-Nahl [16]: 89). 

Hanya saja, ada sebagian hukum itu yang hanya bisa dilakukan oleh negara, 
semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, 
sosial, pendidikan dan politik luar negeri; termasuk pula hukum-hukum yang 
mengatur pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum syariah. 
Hukum-hukum seperti itu tidak boleh dikerjakan oleh individu dan hanya sah 
dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang olehnya. 

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang dharûrî (sangat 
penting). Tanpa ada sebuah negara, mustahil semua ayat al-Quran dapat 
diterapkan. Tanpa negara Khilafah Islamiah, banyak sekali ayat al-Quran yang 
terbengkalai. Padahal menelantarkan ayat al-Quran-walaupun sebagian-termasuk 
tindakan mengabaikan al-Quran yang diharamkan. Oleh karena itu, berdirinya 
Daulah Khilafah Islamiah harus disegerakan agar tidak ada satu pun ayat yang 
diabaikan. 

Lebih dari itu, al-Quran telah terbukti menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan 
umat manusia, terutama dalam menyelesaikan berbagai problem kehidupan mereka. 
Simaklah pengakuan jujur seorang cendekiawan Barat, Denisen Ross, “Harus 
diingat, bahwa al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi kaum Muslim 
daripada Bibel dalam agama Kristen…Demikianlah, setelah melintasi masa selama 
13 abad, al-Quran tetap merupakan kitab suci bagi seluruh Turki, Iran, dan 
hampir seperempat penduduk India. Sungguh, sebuah kitab seperti ini patut 
dibaca secara meluas di Barat, terutama pada masa kini…” (E. Denisen Ross, 
dalam buku, Kekaguman Dunia Terhadap Islam). 

Simak pula komentar W.E. Hocking tentang al-Quran, “Saya merasa benar dalam 
penegasan saya, bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk 
pertumbuhannya sendiri. Sesunguhnya dapat dikatakan, bahwa hingga pertengahan 
Abad Ketiga belas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat 
dibanggakan oleh dunia Barat.” (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461). 

Walhasil, jika al-Quran nyata-nyata merupakan sumber solusi, mengapa penguasa 
negeri ini tetap mengabaikannya dan enggan menerapkannya dalam kehidupan?! 

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [] 

Komentar al-islam: 

DPD Harap Tingkatkan Sinergi dengan Pemerintah Bahasa Amandemen UUD 1945 
(Detik.com, 24/8/2010). 

Amandemen UUD negara puluhan kali tetap sia-sia belaka jika tidak merujuk pada 
al-Quran. 
  





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke