Semoga bermanfaat.

 By : Dr. Christina Siwi Handayani, Staf Pengajar Fakultas Psikologi, 
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 



      Jumat, 26 September 2008 | 04:34 WIB 
      Di sebuah shopping arcade di pusat kota Kyoto, saat sedang menikmati 
segelas cappucino sambil mengamati orang berbelanja, tiba-tiba saya dikejutkan 
suara keras tangisan anak kecil. Rupanya ada gadis kecil berumur 4 tahunan 
tersandung dan jatuh. Lututnya berdarah. Kami heran ketika melihat respons 
ibunya yang hanya berdiri sambil mengulurkan tangan ke arah gadis kecilnya 
tanpa ada kemauan untuk segera meraih anaknya. Cukup lama. Beberapa menit 
adegan ini berlangsung. Si ibu tetap sabar dan keras hati untuk menunggu 
anaknya menyelesaikan sendiri rasa shock dan sakitnya. Setelah beberapa menit 
berlalu, akhirnya si gadis kecil mulai berusaha berdiri lagi, dan dengan 
bantuan kecil tangan ibunya dia kembali berdiri. Masih sambil terisak-isak ia 
pun berjalan lagi. 

      Dalam benak saya waktu itu, kok tak punya hati ibu si gadis kecil ini? 
Tega membiarkan anaknya dalam kondisi kesakitan. Ingatan langsung terbang ke 
Indonesia . Jika kejadian yang sama terjadi di Kota Jakarta ataupun Yogyakarta 
, saya yakin si ibu pasti akan langsung meraih dan menggendong untuk 
menenangkan anaknya. 

      Dari adegan itu, bisa kita bayangkan perbedaan cara pengasuhan anak 
Jepang dan anak Indonesia . Dari pengamatan saya selama hampir setahun tinggal 
di Jepang, anak Jepang cenderung dibiasakan dari kecil untuk mengatasi berbagai 
kesulitan sendiri, sementara anak Indonesia selalu disediakan asisten untuk 
mengatasi kesulitannya. Babysitter atau pembantu rumah tangga pun tidak ada 
dalam kebiasaan keluarga-keluarga di Jepang. Sebaliknya di Indonesia, khususnya 
di kota-kota besar seperti Jakarta , Bandung , Yogyakarta dan lain-lain 
kehadiran mereka wajib ada sebagai asisten keluarga maupun sebagai asisten 
anak-anaknya. 

      Dalam sebuah studi perbandingan yang dilakukan oleh Heine, Takata dan 
Lehman pada tahun 2000 yang melibatkan responden dari mahasiswa Jepang dan 
mahasiswa Kanada dinyatakan bahwa mahasiswa Jepang lebih tidak peduli dengan 
inteligensi dibandingkan orang Kanada. Hal ini disebabkan orang Jepang lebih 
menghargai prestasi didasarkan pada usaha keras daripada berdasarkan kemampuan 
inteligensi. Artinya, bagi orang Jepang kemauan untuk menderita dan berusaha 
keras menjadi nilai yang lebih penting daripada kemampuan dasar manusia seperti 
inteligensi.

      Dalam keseharian dengan mudah kita dapat menyaksikan mereka selalu 
berjalan dalam ketergesaan karena takut kehilangan banyak waktu, disiplin dan 
selalu bekerja keras. Suasana kompetitif dan kemauan untuk menjadi yang lebih 
baik (yang terbaik) sangat menonjol. Studi ini juga menemukan bahwa orang 
Jepang memiliki budaya kritik diri yang tinggi, mereka selalu mencari apa yang 
masih kurang di dalam dirinya. Untuk kemudian mereka akan segera memperbaiki 
diri. 

      Lain lagi Indonesia , yang saat ini terjebak dalam kesalahan umum di mana 
hasil akhir menjadi segala-galanya. Hasil akhir lebih dihargai dibandingkan 
usaha keras. Tengok saja kompetisi yang terjadi dari anak usia sekolah tingkat 
SD hingga perguruan tinggi untuk mendapatkan nilai kelulusan yang tinggi. Guru, 
orang tua maupun masyarakat umum selalu menekan anak untuk mendapatkan nilai 
kelulusan yang tinggi, sehingga mereka pun menghalalkan segala cara. Kita baca 
di koran polisi menangkap para guru karena berlaku curang dalam ujian nasional, 
sementara di tempat lain orang tua membeli soal ujian, siswa menyontek dan lain 
sebagainya. 

      Pola pengasuhan ini, pada gilirannya pasti berperan besar dalam 
pembentukan karakter anak dalam perkembangan berikutnya. Oleh karenanya, 
memberi kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mengembangkan semua 
potensinya adalah satu prinsip dasar dari satu pola pengasuhan yang sangat baik 
bagi pembentukan karakter anak. Orang tua, asisten, atau pun orang yang lebih 
dewasa jangan mengambil alih tanggung jawab anak. 

      Sebagai contoh, beri kesempatan pada anak untuk belajar makan secara 
benar dengan tangannya sendiri sejak dia mampu memegang sendok. Jangan diambil 
alih hanya karena alasan akan membuat kotor. Atau beri kesempatan pada anak 
untuk menghadapi dunia sekolah pertama kali tanpa banyak intervensi dari 
pengasuh maupun orang tua. Memberi rasa aman pada anak memang penting jika 
diberikan pada saat yang tepat. Tetapi menunggui anak selama dia belajar di 
sekolah adalah pemberian rasa aman yang tidak perlu. Momen ini adalah momen 
penting bagi anak untuk belajar menghadapi dunia di luar rumah tanpa bantuan 
langsung orang-orang di sekitarnya. 

      Pengalaman anak merasa mampu menghadapi persoalan dengan kemampuannya 
sendiri akan menumbuhkan kepercayaan diri. Oleh karena itu, orang tua sebaiknya 
membatasi diri hanya menjadi partner diskusi yang membantu anak menemukan 
berbagai kemungkinan solusi. Orang tua kadang harus berteguh hati membiarkan 
anak mengalami rasa sakit, menderita, dan rasa tertekan dalam isi dan porsi 
yang tepat, karena hal itu akan sangat baik untuk perkembangan mental anak. 

      Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang siap menghadapi tantangan hidup dan 
tidak mudah menyerah. Hargai anak bukan dari hasil akhirnya melainkan dari 
proses perjuangannya. Anak perlu diberi pembelajaran (dan juga orang tua perlu 
belajar) untuk bisa menikmati dan menghargai proses, meskipun proses seringkali 
tidak nyaman. 


      Dr. Christina Siwi Handayani, Staf Pengajar Fakultas Psikologi, 
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 
     

Kirim email ke