Apakah Bangsaku Tidak Lagi Diperhitungkan?
December 20, 2008

    Kali ini wajahnya bersungut-sungut. Dari kejauhan dia melihat
kami. Begitu melihat kami, dia langsung berlari menuju kami dengan
wajah yang tiba-tiba kesal begitu. Terus, langsung menemui kawan saya
yang tempo hari ngasih. Dengan kasarnya, uang 200rb itu dipulangin.
Katanya, sambil marah, dia mengatakan, ini toilet paper! –Ust Yusuf
Mansyur–

2004 saya jalan ke Brunei. Karena saya pikir dkt, saya cuma bawa 1
kantong plastik saja. Ternyata di perjalanan, bawaan saya bertambah.
Begitu masuk bandara Brunei, saya berniat membli tas. saya tawarlah 1
tas di 1 toko. Setelah dikurskan ke rupiah, angkanya jd 4,2jt. saya
terbelalak, dan setengah bercanda saya bilang bahwa di Indonesia, tas
kayak gini palingan 300-400rb atau paling mahal 1jt dah. Eh, si
penjaga toko memasang muka merendahkan gitu, dan bilang: "No no no…
Bukan tas kami yang mahal, tapi you punya rupiah yang tak ada harga!".

Ya Allah, seperti ditampar rasanya muka saya. Segitunyakah rupiahku?
Segitunya kah negeriku? Mata uangnya tak ada harga. Lalu, pegimana
bangsanya? Bagaimana negerinya? Adakah martabatnya?

2008 ini entah yang keberapa kali saya mengadakan prjalanan keluar
negeri. Sudah tidak saya hitung lg saking seringnya, he he he. Nikmat
ini saya syukuri. Saya tringat, dulu saban saya dimandiin dan
dipakaikan pakaian oleh ibu saya, ibu saya hampir selalu berdoa dg doa
yang relatif sama. Ya, hampir selalu. Doanya biar saya, katanya,
gampang bulak balik ke mekkah, seperti ke pasar. Terus biar bisa
keliling dunia. Yusuf kecil saat itu, sempat pula bertanya sambil
ketawa, masa iya ke mekkah segampang ke pasar? Lagian mana mungkin sih
keliling dunia? Ibu saya menjawab, eeeehhhh… Allah Punya Kuasa. Kalo
DIA mau, gampang buat DIA mah. Nabi Muhammad aja diterbangin isra
mi'raj.

Ya itulah doa ibu saya. Alhamdulillah. Ternyata betul. Sekarang saya
alami sendiri. Pergi haji buat saya pribadi udah benar-benar gampang.
Alhamdulillah. Biar pintu pendaftaran dah ditutup, saya masih bisa
pergi dengan undangan kerajaan punya, atau dengan cara-cara yang
tahu-tahu saya udah di sana! Subhaanallaah memang. tapi saya ga aji
mumpung. Waktu ibu saya, mertua dan rombongan keluarga ga dapat nomor
haji, banyak orang dekat bilang, pake dong power ente. Ah, saya mah
malah bilang, sabar ya bu. Sabar ya wahai keluargaku. Pergi haji mah
urusan Allah. Ga usah dicari-cari. Kalo dah waktunya, ya waktunya.
Dan alhamdulillah, pergi ke luar negeri pun sekarang ini saya yang
susah payah menolak undangannya. Masya Allah. And I speak not only in
bahasa; but both in arabic and english as an international language.

Saya bersyukur dengan keadaan ini, tapi sekaligus ada yang membuat
saya menjadi tertegun. Betapa "Jakarta" dah ga dianggap. Di hampir
semua bandara internasional; baik asia, maupun non asia, nama
"Jakarta" ga ada lagi di board penunjuk waktu. Yang ada: London,
Paris, New York, dan kota-kota besar dunia. Bahkan ada nama Kuala
Lumpur! Sedang Jakarta, yang mewakili satu nama besar: Indonesia, ga
ada lagi di board tersebut. Apa yang sedang terjadi dengan bangsa
kita, kita semua tahu…

Setiap kali keluar kota dan keluar negeri, saya termasuk yang langka
punya. Ga bawa duit, dan ga bawa kartu kredit. Bukan apa-apa, sebab
biasanya saya dijemput langsung di pintu pesawat. Atau kalaupun tidak,
dijemput di setelah lolos imigrasi. Oleh para penjemput di kota-kota
atau negeri-negeri orang, saya sudah ditanggung beres. Jadi, uang yang
saya bawa, benar-benar ga laku, he he he. Pengertian ga laku ini,
hanya untuk menunjukkan ga terpakai. Sebab kalaupun saya bawa dollar,
mereka-mereka menahan saya untuk bayar. Mereka saja yang berkhidmat.

Hingga satu waktu, saya jalan ke Singapore untuk keperluan pribadi.
Berangkatlah saya sendiri, sebagaimana biasanya. Ya, saya senang
berangkat sendirian. Sebab simple. Enteng. Ga banyak-banyak orang.
Paling banter, berdua dg istri atau anak-anak. tapi ini pun jarang.
Dan sampe di Singapore juga sendiri. Ga ada yang jemput. Sebab saya
pun tidak memberitahu kawan-kawan di sana. Sampe di Changi saya baru
ingat, saya hanya bawa 2jt. Dan itu rupiah. Belum saya tukerin.
Menjelang keluar bandara, saya laper, pengen cari cemilan dan kopi.
Bergegaslah saya ke salah satu sudut, untuk beli yang saya maksud.
Saya pikir, bisa lah skalian nuker seperti kalo belanja di Bangkok,
Thailand. Eh, ternyata saya salah. "Indonesia?" , tanya pelayan toko.
Ya, saya bilang. Indonesia. "Oh, sorry," katanya sambil muka nya ga
enak gitu. "Your money didn't accepted here". Masya Allah! Lagi-lagi
kayak ditampar saya ini. Uang rupiah ga diterima di sini. Selanjutnya
dia menunjukkan money changer di bandara. Saya mengurungkan niat saya
untuk nyemil dan ngopi. tapi saya pura-pura mengiyakan akan menuju
money changer. Dan subhaanallaah, kekagetan saya belom selesai. Si
pelayan ini masih bersorry-sorry ria. Katanya, jagan kaget, rupiah
rendah sekali katanya nilai tukarnya. Waaah, entahlah apa yang ada di
benak saya…

Bahkan pengemispun tidak menerima rupiahku! Ya, itulah yang saya
alami. satir. Mirip komedi satir. Lucu, tapi getir.
Antara 2004-2005, dalam 1 lawatan ke Eropa. Saya dkk turun di
Frankfurt, German. Dari sini perjalanan ke beberapa negara di Eropa,
dimulai. Sekian waktu , sampe lah kami di Belanda. Ada salah satu
kawan di rombongan yang memberi tahu betapa Indonesia sudah tidak ada.
"Hatta," katanya, "Di tempat pelacuran, ada pengumuman agar para
pelacur tidak menerima mata-mata uang yang ditaroh di list. Salah
satunya rupiah!". Kawan saya ini berkata geli. Saya pun ikut tertawa.
Tapi ngebatin. Ada segitunya ya.

Dari Belanda, kami pergi ke Belgia dan kemudian ke Perancis. Naik
kereta super cepatnya Eropa. Enak, nyaman, dan menyenangkan.
Turun di stasiun Perancis, kami dicegat oleh 1 pengemis perempuan.
Cantik menurut ukuran saya mah. Sampe saya geleng2 kepala, kenapa dia
mengemis. Kalo boleh saya bawa, mending saya bawa ke Jakarta, he he
he. Trnyata dia mengaku Bosnia punya. Maksudnya, orang Bosnia. Sdg
hamil pula. Entah bohong apa tidak. Salah satu kwn, memberinya rupiah.
200rb. Di Indonesia, 200rb ini bukan cuma besar. Tapi sangat besar.
Niscaya kalo pengemis di tanah air diberi 200rb, akan sujud2 rasanya
kpd yang mmberi. Dia pun saat itu trsenyum. Barangkali dia merasa kwn
saya itu sdh mmberinya uang besar. Kwn saya pun senang melihat
pengemis itu senang.

Lusanya, kami langsung balik ke Amsterdam, Belanda. Naik kereta lagi.
Sampenya di stasiun, ketemu lagi dengan pengemis perempuan muda
tersebut. Kali ini wajahnya bersungut-sungut. Dari kejauhan dia
melihat kami. Begitu melihat kami, dia langsung berlari menuju kami
dengan wajah yang tiba-tiba kesal begitu. Terus, langsung menemui
kawan saya yang tempo hari ngasih. Dengan kasarnya, uang 200rb itu
dipulangin. Katanya, sambil marah, dia mengatakan, ini toilet paper!
Gila, saya bilang, uang kita disebutnya kertas toilet. Dia bercerita
sambil membuat kawan-kawan terbahak-bahak. Katanya, dia berusaha
menukar uang kita itu, tapi ga ada yang nerima. Barangkali semua kawan
sama dengan saya, di selipan tawa kami, ada satu kegetiran,
segitunyakah rupiah saya? Rupiah kita? Sampe pengemis saja ga
menerimanya? Masya Allah. Bangkitlah wahai negeriku. Bangkitlah wahai
negeriku.

Hampir di setiap events internasional, perhatian kita (untuk saya
tidak mengatakan perhatian pemerintah), sangat-sangat kurang.
Terbilang lumayan sering anak-anak Indonesia berprestasi memenangkan
kompetisi-kompetisi internasional semacam olimpiade fisika,
matematika, sains, bahasa dan lain-lain. Tapi sepi benar dari
pemberitaan. Berita-berita buat bangsa kita tidak lagi ada, atau
sedikit, yang mmbuat kita sendiri bangga. Barangkali seperti tulisan
saya ini, he he he. Maaf ya. Tapi emang kenyataannya begini.

Saya pernah membaca ada seorang yang sangat pintar di negeri orang.
Tapi katanya dia ga merasa dihargai di negeri sendiri. Akhirnya hasil
penemuannya dipatenkan di negeri di mana dia belajar dan mengabdi, dan
kemudian dia mendapatkan permanen residence dari negeri tsb.
Sekelompok kawan TKI di salah satu negara tujuan TKW, mengeluhkan juga
tentang "perwakilan" mereka di negeri itu. Katanya, kita punya gedung
sekian belas lantai. Tapi nothing buat kita! Begitu katanya. Wuah,
miris juga saya dengar. Lihat terusan kalimatnya. "Sedangkan
Philipina, hanya 2 lantai, itu pun ngontrak, tapi bangsanya bangga
dengan kerja perwakilannya. Puas". Sedangkan kita, benar-benar payah.
Kalau kita lapor (maksudnya itu TKW2), kita ga diperlakukan dg ramah.
Malah jadi kayak jongos benar-benar. Mereka kemudian cerita, bangsa
aslinya sendiri, ketika mereka datang mau mengadu, mereka duluan yang
menyapa: What can I do for you…?". Ramah bener.
Yah, itu barangkali sekelumit hal-hal yang tidak menyenangkan. Tapi
saya percaya, negeri kita masih diperhitungkan di dunia ini. Benarkah?

Siapa yang tidak bangga dengan Garuda? Maskapai Penerbangan Nasional
yang menginternasional. Bangga. Sejarah Garuda demikian mengagumkan.
Hingga ketika diri ini yang bangga dengannya menerima satu kenyataan.
Kata seorang petinggi wilayah ketika saya menginap di kediamannya di
Amstelvein, Belanda, Garuda tidak lama lagi tutup. Bukannya ga boleh
terbang loh. Tapi tutup. Sebab tidak laku atau gimana lah. Ga ngerti.

Beberapa tahun setelahnya, saya dikagetkan lagi dengan berita bahwa
Garuda tidak diperkenankan melewati Eropa karena satu dua alasan.
Bahkan di wilayah saudi pun bermasalah. Entahlah apa yang sedang
terjadi. Saat tulisan ini dimuat, Garuda sudah berhasil melewati
masa-masa sulit itu. Bahkan Garuda sudah menangguk keuntungan dari
yang tadinya merugi. Dan Garuda pun menerima penghargaan
internasional. Namun, ketika ada berita bahwa Garuda tutup dan Garuda
dilarang terbang, rasanya teriris-iris hati ini. Tarbayang Garudaku
yang gagah, yang jadi perlambang negeri ini, harus "menerima
perlakuan" tidak hormat seperti itu. Terbanglah lagi Garudaku.
Mengangsalah ke seluruh penjuru dunia. Supaya dunia tahu betapa
gagahnya lambang negaraku.

Saya tersenyum kecut dengan dua berita yang turun dengan rentang waktu
yang tidak berapa lama. Yaitu berita tentang petinggi kita yang
kamarnya digeledah ketika berada di negeri orang. Dan yang satunya
lagi, ketika diperiksa berlama-lama di imigrasi satu airport
internasional. Lepas dari kenapa dan bagaimananya kisah di balik dua
berita itu, bagi saya ya sekali2 memang petinggi kita kudu merasakan.
Merasakan apa? Merasakan jadi warganya. Tidak jarang kami-kami juga
diperlakukan demikian. Seenaknya saja mereka masuk kamar hotel kami
dan memeriksa kami dengan satu alasan sederhana saja: Kami harus
memeriksa Anda! Begitu saja. Ga ada penjelasan.

Di Australia, berapa kali saya harus melewati pemeriksaan yang —
hingga — ikat pinggang saya pun hrs ditaroh di pemeriksaan. Tas-tas
saya pun hrs dibuka dan cenderung bahasa seharusnya: diobrak-abrik.
Lagi-lagi alasannya sederhana: Kami harus memeriksa Anda. Satu yang
menyakitkan, mereka melihat wajah saya: Asia. Asia harus diperiksa.
Lalu ditanyalah saya, darimana? Saya jawab dengan gagahnya: Indonesia.
Eh tanpa dinyana, petugas membuka lembaran petunjuk, dia urut dengan
jarinya, ketemu! Ya, katanya, Indonesia harus diperiksa. Ooo, rupanya
dilembar cek-list itu, nama Indonesia masuk daftar negara yang
orang-orangnya harus diperiksa. Subhaanallaah. Geram juga saya. Nanti,
kata saya, kalau saya udah jadi Presiden, saya gituan dah dunia, he he
he. Untunglah saya jauh jadi presiden. Kalo iya, udah perang terus
kali bawaannya, ha ha ha. Perang urat syaraf. Betapa tidak, Bali saya
periksa ketat seperti mereka memeriksa kita. Kamar-kamar mereka, tak
geledah di sembarang waktu. Dan saya instruksikan supaya mata uang
yang dipakai, hanya rupiah. Tak bikin peraturan, dolar dan
lain-lainnya, kecuali real barangkali karena negeri dengan mekkah dan
madinah, he he he, ga boleh masuk ke Indonesia. Mereka sudah harus
nuker di negaranya masing-masing. Bakal dimusuhin sih, tapi biar saja.
Wong presidennya kan saya, ha ha ha. Negara juga negara saya. Kalo ga
suka, ya jangan masuk negara saya. Cuma, saya akan bikin dunia juga
jadi perlu sama saya, jadi perlu sama Indonesia. Sehingga pasti mereka
akan susah payah nurut, seperti hebatnya kita diam dan nurut
diperlakukan oleh mereka!

------------------------------------

Gabung, Keluar, Mode Pengiriman: wismamas-h...@yahoogroups.com
                        
Database Warga Wismamas: http://www.wismamas.tkYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wismamas/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wismamas/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:wismamas-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:wismamas-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    wismamas-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke